“
Aku akan membawanya pulang, pikir Baba Ayub ketika itu juga. Inilah yang paling diinginkannya, bersama setiap tarikan napasnya. Bukankah ini telah dibayangkannya dalam seribu mimpinya? Memeluk si kecil Qais lagi, mengecup pipinya dan merasakan kelembutan tangan kecil bocah itu dalam genggamannya? Tetapi .... jika Baba Ayub membawanya pulang, kehidupan macam apakah yang menanti Qais di Maidan Sabz? Sebaik-baiknya adalah kehidupan keras kaum petani, seperti yang dijalaninya, tidak lebih. Itu pun jika Qais tidak meninggal akibat kekeringan seperti begitu banyak bocah lainnya di desa. Kalau begitu, bisakah kau memaafkan dirimu sendiri, Baba Ayub membatin, mengetahui bahwa, demi kepentinganmu sendiri, kau telah merenggutnya dari kehidupan sarat kemewahan dan kesempatan? Sebaliknya, jika meninggalkan Qais di sini, bagaimana dia bisa menahan perasaannya, mengetahui bahwa bocah itu masih hidup, mengetahui di maa dia berada, tetapi dilarang menjumpainya? Bagaimana dia akan tahan?
”
”