β
Bunda,
engkau adalah puisi abadi
yang tak pernah kutemukan dalam buku...
β
β
Abdurahman Faiz (Untuk Bunda dan Dunia)
β
JARAK
dan Adam turun di hutan-hutan
mengabur dalam dongengan
dan kita tiba-tiba di sini
tengadah ke langit; kosong sepi
β
β
Sapardi Djoko Damono (Hujan Bulan Juni)
β
Dan bibirnya adalah sepotong puisi yang belum selesai. Aku yakin, hanya bibirku yang bisa menyelesaikannya menjadi sebuah puisi yang lengkap.
β
β
Leila S. Chudori (Pulang)
β
Tuhan, di dunia dan akhirat
aku ingin mengabdi
pada api Islam abadi
pimpin aku!
berkati perjuanganku!
Tuhan, aku ingin maju
menerjang rintangan engkar
di dadaku biar menggema
Allahu Akbar!
Allahu Akbar!
β
β
Hamka (Cermin Penghidupan)
β
Buku yang kubaca
selalu memberi sayap-sayap baru.
Membawaku terbang ke taman-taman pengetahuan paling menawan,
melintasi waktu dan peristiwa,
berbagi cerita cinta, menyapa semua tokoh yang ingin kujumpai, sambil bermain di lengkung pelangi.
β
β
Abdurahman Faiz (Aku Ini Puisi Cinta)
β
ke Lethe, murung penuh hantu memandang
bintang dan neraka
menjemur mereka dan aku.
β
β
Bagus Dwi Hananto (Dinosaurus Malam Hari)
β
Yang indah memang bisa menghibur selama-lamanya, membubuhkan luka selama-lamanya, meskipun puisi dan benda seni bisa lenyap. Ia seakan-akan roh yang hadir dan pergi ketika kata dilupakan dan benda jadi aus.
Tapi apa arti roh tanpa tubuh yang buncah dan terbelah? Keindahan tak bisa jadi total. Ketika ia merangkum total, ia abstrak, dan manusia dan dunia tak akan saling menyapa lagi.
β
β
Goenawan Mohamad (Tuhan & Hal-Hal yang Tak Selesai)
β
Kesusastraan adalah hasil proses yang berjerih payah, dan tiap orang yang pernah menulis karya sastra tahu: ini bukan sekadar soal keterampilan teknik. Menulis menghasilkan sebuah prosa atau puisi yang terbaik dari diri kita adalah proses yang minta pengerahan batin.
β
β
Goenawan Mohamad (CATATAN PINGGIR 3)
β
Waktu berjalan ke Barat di waktu pagi hari matahari mengikutiku di belakang.
Aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan.
Aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang,
aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan.
β
β
Sapardi Djoko Damono
β
Kenapa selama ini orang praktis terlupa akan burung gereja, daun asam, harum tanah: benda-benda nyata yang, meskipun sepele, memberi getar pada hidup dengan tanpa cincong? Tidakkah itu juga sederet rahmat, sebuah bahan yang sah untuk percakapan, untuk pemikiran, untuk puisiβseperti kenyataan tentang cinta dan mati?
β
β
Goenawan Mohamad (CATATAN PINGGIR 2)
β
Kau hampir tak pernah menghubungiku via ponsel, tapi setiap saat aku selalu saja melihat ponsel itu berkali-kali. Berharap ia berbunyi dan namamu yang tertera di sana. Lalu dengan agak menggigil aku berusaha melawan keinginanku sendiri, menyusun rencana-rencana tak selesai... untuk menjawab sapamu sedingin mungkin. Tapi tak ada bunyi. Tak. Kemudian pandanganku beralih pada blackberry dan lagi-lagi berharap kau pecahkan resah dalam sekali bip, padahal kau tak ada dalam kontak-ku. Maka bersama angin aku menggiring jeri, menyekap batin sendiri, memilin-milinnya menjadi puisi yang paling setia pada sunyi.
β
β
Helvy Tiana Rosa
β
Setelah punya rumah, apa cita-citamu? Kecil saja: Ingin sampai rumah saat senja, supaya saya dan senja sempat minum teh bersama di depan jendela.
β
β
Joko Pinurbo (Baju Bulan: Seuntai Puisi Pilihan)
β
Betapa pukimak hidup itu! Tuhan-tuhan
timbul-tenggelam mirip popok bayi di sampah,
dan cinta, bila terlalu hanyut kau, maka bisa
membunuh!
β
β
Bagus Dwi Hananto (Dinosaurus Malam Hari)
β
Seseorang pernah mengatakan, guna puisi adalah dengan hadir tanpa guna. Ia tak bisa dijual. Ia menegaskan tak semua bisa dijual.
β
β
Goenawan Mohamad (Pagi dan Hal-Hal yang Dipungut Kembali)
β
Dan akhir adalah permulaan
kau aku tak pernah menapaki mula
juga mungkin tak pernah sampai
pada selesai
seperti puisi yang kutanam
di kuntum hatimu
β
β
Helvy Tiana Rosa (Mata Ketiga Cinta)
β
Mencintai itu anugerah, meski tak berbalas. Lewat rasa itu kau bahkan bisa membangun istana megahmu sendiri dari kepingkeping puisi dan prosa.
β
β
Helvy Tiana Rosa
β
sejarah menjadikan orang bijaksana, puisi menjadikan orang fasih lidah, matematika menjadikan orang cerdik, filsafat menyebabkan orang berpikir dalam, moral menjadikan orang bersikap sungguh-sungguh, logika dan ilmu berpidato menjadikan orang berani mengeluarkan pendapat.
β
β
Francis Bacon
β
Senja melarutkanku di batas waktu
Ketika ada dan tiada sejenak menyatu
Ada yang beringsut menjauh
Ada yang perlahan merengkuh
Bayanganku mengais sisa terang
Sebelum terkubur malam panjang
β
β
Sam Haidy (Nocturnal Journal (Kumpulan Sajak yang Terserak, 2004-2014))
β
Kau membuatku percaya bahwa keajaiban itu ada. Kau membuatku merasa bahwa tidak ada salahnya menulis puisi cinta dan menyimpannya dalam botol kaca. Aku datang hanya untuk mengatakan itu. Karena selanjutnya, aku akan selalu membencimu di sisa hidupku.
β
β
Devania Annesya (X: Kenangan yang Berpulang)
β
Mereka yang terbiasa dengan kekuasaan dan aturan memang umumnya sulit memahami puisi.
β
β
Goenawan Mohamad (CATATAN PINGGIR 3)
β
Memang sulit menulis puisi. Dan untuk apa mempersulit diri sendiri.
β
β
Danarto (Berhala: Kumpulan Cerita Pendek)
β
Hidup terentang antara lahir dan mati. Jarak, hanya sebatas sehembus nafas.
β
β
Titon Rahmawan
β
penawar
daripada
segala penawar
hanya hidayah
dan makrifat-Mu
menjadi penyembuh
kepada sekalian
penyakit
denyut zikrullah
berdetaklah di pembuluh
jantung hatiku.
(Jantung Hati)
β
β
Rahimidin Zahari (Kumpulan Puisi: Sehelai Daun Kenangan)
β
Di baris ke tujuh sebelah kiri, empat kursi dari
ujung, Tuhan duduk dan menangis. Di
tangannya tergenggam sebuah dadu. Pada
semua sisinya tertulis: dosa.
β
β
Avianti Armand (Perempuan Yang Dihapus Namanya)
β
Misi yang dimaksud adalah ketika kalian melakukan sesuatu hal positif dengan kualitas sangat tinggi dan di saat yang sama menikmati prosesnya. Bila kalian merasakan sangat baik melakukan suatu hal dengan usaha yang minimum, mungkin itu adalah misi hidup yang diberikan Tuhan. Carilah misi kalian masing-masing. Mungkin misi kalian adalah belajar Al-Quran, mungkin menjadi orator, mungkin membaca puisi, mungkin menulis, mungkin apa saja. Temukan dan semoga kalian menjadi orang yang berbahagia.
β
β
Ahmad Fuadi (Negeri 5 Menara)
β
PERCAKAPAN DUA RANTING
kalau pernah kamu bertemu dulu, apa yang
kau inginkan nanti? sepi. kalau nanti kau
dapatkan cinta, bagaimana kau tempatkan
waktu? sendiri. bila hari tak lagi berani
munculkan diri, dan kau tinggal untuk
menanti? cari. andai bumi sembunyi saat
kau berlari? mimpi. lalu malam menyer-
gapmu dalam pandang tiada tepi? hati.
baik...aku tak lagi memberimu mungkin?
kecuali. baik..baik, aku hanya akan menya-
pamu tanpa kecuali? mungkin. dan jika
tetap seperti itu, embun takkan jatuh dari
kalbumu? sampai. akankah kau patahkan
tubuhmu hingga musim tiada berganti?
mari. lalu kau tumbuhkan bunga tanpa
kelopak tanpa daun berhelai-helai? kemari.
juga kau benamkan yang lain dalam jurang
di matamu? aku. katakan bahwa kau mene-
rimamu seperti aku memberimu?...
kau? ya. kau?...aku.
Besancon, oktober sebelas 1997.
β
β
Radhar Panca Dahana (Lalu Batu: Antologi Puisi)
β
tapi, anakku, hidup senantiasa mengembara
β
β
Usman Awang (Duri Dan Api)
β
tetapi kali ini
maaflah ya,
pintu 40 yang kututup
tak akan kubukakan
kembali
tidak,
untuk sesiapa pun
tidak juga untukmu.
(pintu 40)
β
β
Rahimidin Zahari (Kulukiskan Engkau Biru Dan Engkau Bertanya Kenapa Tidak Merah Jambu Seperti Warna Kesukaanku?)
β
Ini jelas puisi kehidupan. Menyedihkan. Di bumi kita ini, yang kaya memang semakin kenyang dan yang miskin makin tenggelam.
β
β
Gola Gong (Balada Si Roy 1: Joe)
β
Kopi dan perempuan, mereka saudara kembar. Dua-duanya keras kepala perihal rasa.
β
β
Ilham Gunawan
β
Waktu kecil saya sering berpikir tentang sesuatu yang bisa melestarikan kenangan. Begitulah mulanya saya mengakrabi musik, aroma dan puisi.
β
β
Helvy Tiana Rosa
β
mistikus pernah berkata begini pada seluruh
patung yang tak bisa diraba:
βdi kehidupan sebenarnya, sesuatu yang kau
torehkan ini hanyalah fana!β
tapi makhluk imajiner apa yang merangkak
dan memiliki tempat-tempat luas seakan
sabana Afrika telah muntah garingnya demi
menangkup ia yang tak berjenis apa-apa.
ia yang dinomori sebagai sang satu. yang
penuh totem warna-warni di sekujur
dagingnya. menebarkan piuh dingin yang amis
dan luka terjerat kekosongan tanda sebelum
bukit pasir menghisap tubuhnya atau warna
pasir yang menggerus tubuhnya?
β
β
Bagus Dwi Hananto (Dinosaurus Malam Hari)
β
Ada yang perlahan binasa setiap kali puisi tercipta.
Ia selalu meminta nyawa dari kenangan atau impianmu.
Ia tak segan merampas tidurmu dan meretas bangunmu.
Kelak, ia akan terus bersuara dari dalam kuburmu....
β
β
Sam Haidy (Malaikat Cacat)
β
Kita adalah sepasang resah yang menyembunyikan hati ke dalam pasrah
Mengoleksi kenangan dan meyelundupkan diri dibalik ingatan
Mengapa kita terus meratapi keadaan dan mengoreksi Tuhan?
Tidak ada cara merevisi takdir jika keterpisahan adalah ketetapan
11/10/2017
β
β
firman nofeki
β
Jangan salahkan hujan saat ia turun dan membuatmu pilu sebab rindu. Hujan sudah menanggung rindu yang lebih berat dan banyaknya melebihi rintiknya sendiri.
β
β
Alfin Rizal
β
Aku di sini kamu di sana, tapi kita tetap bisa berpelukan dalam doa dan puisi.
β
β
Helvy Tiana Rosa
β
Sebuah puisi adalah suatu pengalaman kehidupan yang terungkap - betapapun sukar dalam kesakitan; dan dalam kesempatan.
β
β
Leo AWS (Gelombang Cengkerama dan Tsunami)
β
Tak banyak yang orang mengerti dari puisi. Ia hanya mengekalkan waktu, perasaan cinta menjadi keabadian dan kata kata bertemu dengan jati diri manusia. Tapi ia tak selamanya dimengerti.
β
β
Titon Rahmawan
β
Seribu slogan dan sebuah puisi: manakah yang lebih perlu? Kedua-duanya. Tapi apabila kita sadari bahwa yang menjadi tujuan bukanlah sekadar kebersamaan yang dipergunakan untuk kekuasaan, puisi akan lebih berarti. Karena puisi memungkinkan percakapan yang bebas, ia memustahilkan kekompakan yang munafik. Seorang tiran atau seorang Hitler setiap hari bisa saja membuat seribu slogan, tapi ia tidak akan sanggup membuat sajak yang sejati.
β
β
Goenawan Mohamad
β
Puisi yang ditulis dengan hati tak pernah mati, puisi yang ditulis dengan peristiwa kelak jadi kenangan atau bahkan hilang dari ingatan, puisi yang ditulis dengan cinta ia akan mencipta, tercipta dan juga menjadi kata-kata yang tak lapuk dimakan usia~~
β
β
Arif Saifudin Yudistira
β
Tugas utama para penyair adalah memberikan dan mempertahankan kehidupan dan bukannya tunduk pada kekuatan kematian atau tekanan kekuasaan manapun yang hendak mengkerdilkan makna dari puisi itu sendiri.
β
β
Titon Rahmawan
β
merdekakan jiwa
merdekakan pikiran
dari penjajahan pribadi yang kita buat sendiri-sendiri
dari amarah dan dendam
maafkan, maafkan, maafkan
lalu mungkin lupakan
β
β
Ahmad Fuadi (Anak Rantau)
β
Seperti katamu, cinta tak sesederhana puisi. Bukan sekedar kata kata dan saran keindahan.
β
β
Titon Rahmawan
β
ditembakkan dari pelir barracuda yang lolos
api, tubuhnya penuh runcing seperti penggaris
16 centi ke atas terus ke atas melewati loronglorong
rusak yang pengap akan tetesan air
amis. terbuka menganga, lurus terus maju
tanpa mundur memasuki sorga yang hilang di
Bermuda kecil warna-warni logo bungabungaan
yang diracuni bensin dan mungkin
sundutan rokok tengik. owalah...rambutrambut
keriting siapa ini disepahkan mulut
lebar ikan lonte di danau sebelah utara?
β
β
Bagus Dwi Hananto (Dinosaurus Malam Hari)
β
Aku tak ingin seperti hujan
Hanya dirindukan pada waktu tertentu
Dan selebihnya mengganggu
Aku tak ingin seperti matahari
Hanya disukai saat datang dan pergi
Sedang tengah hari disumpah-serapahi
Aku ingin seperti bulan
Penuh atau separuh tetap dicintai
β
β
Sam Haidy (Malaikat Cacat)
β
kepada sisa kata mu yang masih bungkam, dan dilema pada ujung pena mu, lirih saja berbisik ; tundukkan segala riuh perkara hati mu
~andra dobing
β
β
andra dobing
β
kau bukan gula-gula kapas,
yang bagiku cuma lembut,
kau terlahir sebagai popkon,
yang rangup dan manis,
yang aku nikmati dalam gelap,
menghadap pelbagai genre,
dilayar panggung.
β
β
Salleh Razak (Popkon)
β
Aku tertawan
Tanpa gerak
Lalu tertawa
Tanpa gelak
Aku dan sepi
Seredup semati
β
β
Sam Haidy (Nocturnal Journal (Kumpulan Sajak yang Terserak, 2004-2014))
β
Jangan cari aku
Jika aku pergi ke hutan
Dan lama tak kembali
Aku tak tersesat
Tapi menemukan Diri
β
β
Sam Haidy
β
Berdosakah aku menjadi penyair
kalau yang aku dambakan
adalah hikmah berduri mawar
dan bijaksana berbuah takwa.
β
β
Shamsudin Othman (Kumpulan Puisi Taman Maknawi)
β
anjing-anjing buta melolong menangisi
lobang-lobang di tembok. melodi, tak lebih
dari dalih kesunyian dan cinta. erangan yang
memuakkan. percakapan itu terkesan mewah:
penyair yang lupa membawa topinya, dan
lintingan lisong yang tak mungkin mengerti
puisi bila disandingnya bukanlah kopi. oh,
betapa luka 300.213 centi itu melebar makin
timur, menorehkan nganga tempat nanah
menggembung dengan lapisan perih dan bau
amis.
mobil pikap tua, penuh kangkung dan ibu yang
tidur di atasnya, setenang Buddha. jalan terus
ke kiri, menyempil di antara truk-truk besar
yang tak mau kalah, tetap ngotot meski makin
di pojok. masih saja setenang Buddha: tidur
yang penuh rahma
β
β
Bagus Dwi Hananto (Dinosaurus Malam Hari)
β
Kamu menulis: "Kita sudah mengatakan A, maka kita harus menyebutkan seluruh huruf." Namun masalah itu sekarang sudah sedemikian luar biasa hingga aku menjadi ragu. Maka, kukutipkan puisi singkat dari Jan Erik Vold mengenai hal itu:
"Siapa yang mengatakan A
Telah mengatakan A"
Kamu mengerti yang kumaksud, kan? Kalau kamu telah mengatakan A, maka kamu telah mengatakan A dan harus menjalani segala resiko yang mengikutinya. Tapi, itu tak berarti bahwa kamu juga harus mengatakan B.
β
β
Jostein Gaarder (Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken)
β
Rindu adalah perkara ruh, bukan perkara jasad. Merindukanmu barangkali omong kosong yang masuk akal. Sedangkan, perpisahan hanyalah perkara mata dan ingatan, sama sekali tak berlaku pada hati dan jiwa.
β
β
Ilham Gunawan
β
Rindu tidak tersusun dari batas peta. Tetapi, dari seberapa luas kau mengingatnya.
Rindu tidak diciptakan oleh jarak. Ia lahir sebab keberadaan. Sedekat apapun jarak kalian, selama tidak pernah tinggal di hati dan ingatan, rindu tidak akan pernah ada.
β
β
Ilham Gunawan
β
Cinta didapat dengan perjuangan,dipertahankan dengan perjuangan.selama proses itu,mungkin akan ada pertengkaran,teriakan satu sama lain,tangisan dan hati yang terluka,tetapi kemudian ketika mendapatkan kekuatan untuk berdiri lagi,mungkin kamu akan tahu,mengapa syair cinta,puisi cinta,lagu cinta atau cerita dibuat.
A Perfect Love
β
β
Yuchita Erayani
β
Namun cinta tak pernah hilang harapan
Akan datang lengkung pelangi setelah hujan
Menghubungkan rasa kehilangan dan sakitnya perpisahan.
β
β
Lee Risar (Kata: Antologi Puisi)
β
Kau;
Sebuah kota yang hanya dapat kukunjungi di malam-malam seperti ini,
Rambutmu lampu-lampu,
dan wajahmu adalah lukisan yang akan memaksaku untuk selalu kembali.
β
β
Sobih Adnan (Lamar)
β
Aku ingin berhenti menuliskanmu.
Bosan aku dengan pena, dan enyah saja kau kertas!
Seperti mengerami mimpi yang tak kunjung menetas...
β
β
Sam Haidy
β
Remukkan aku, Tuhan
remukkanlah aku;
hingga taat tanpa tapi
dan patuh tanpa nanti.
β
β
Stebby Julionatan (Di Kota Tuhan Aku Adalah Daging yang Kau Pecah-pecah: Sekumpulan Puisi)
β
ayat-ayat suci adalah jeram yang dingin
mengalir dan menempuh hutan liar
hutan liar adalah diriku
ayat-ayat suci adalah jeram yang bening
aku bercermin membasuh hatiku
(Di Depan Rehal)
β
β
T. Alias Taib (Opera)
β
Aku masih mencari, hendak kata ingin kutebas. Gelas kopi tinggal ampas. Malam tak lagi sisakan jejak. Suara adzan subuh memanggil, tapi kertas masih tinggal kosong. Dan hampa kian menebal.
β
β
Titon Rahmawan
β
Aku adalah dongeng sebelum tidur
yang setia mendaur diri
meski selalu terpenggal
oleh gilotin matamu
Aku adalah kisah tak tuntas
yang berulang kali kau tebas
hanya untuk kembali
bertunas dan bertunas lagi
β
β
Sam Haidy (K(a)redo(k) Puisi Jaman Now)
β
jalan pulang berada djauh di belakang waktu
yang lama telah engkau tinggalkan. tiada
esak tangis dan kepiluan untuk engkau luahkan
di pintu angan kerana segala yang bermula
telah pun berakhir.
(Pintu Angan)
β
β
Rahimidin Zahari (Kumpulan Puisi: Sehelai Daun Kenangan)
β
Dan pancaran matamu adalah syair ribuan hari yang menyihir airmata jadi kuntumkuntum asa. Tubuh kita menjelma rumahrumah pasi di dada jalan yang selalu setia menampung sejarah, kenangan atas perjumpaan dan perpisahan berkali kali
β
β
Helvy Tiana Rosa
β
Apakah aku masih mengharapkan sesuatu dari ibuku selain apa yang sudah ia berikan kini? Tak juga senyum samar, airmata atau kesedihan yang ia sembunyikan dari diriku. Itu seperti kerinduan yang tidak terlukiskan. Kerinduan yang tak bisa terungkap lewat kata, lagu atau bahkan puisi.
Ia selalu seperti itu. Seperti mendung yang tak membawa hujan. Angin sepoi sepoi yang kadang meninabobokkan diriku. Masih ia mengirim cintanya tatakala tahu bila aku terlambat pulang. Atau saat ia termangu di depan pintu ketika aku terlanjur tenggelam dalam lamunan kamar buta.
Ia tetap saja rajin mengoleskan mentega ke atas roti yang aku santap buat sarapan pagi. Dan air panas yang ia jerang di atas kompor tak lebih hangat dari bisikannya menjelang waktu waktu di mana aku tengah sibuk memikirkan diriku sendiri.
Ia tetap saja ibu, lebih dari semua ibu ibu lain yang aku kenal. Hanya kepadanya aku sanggup menangis. Seperti hujan yang tak lagi mengenal musim.
β
β
Titon Rahmawan
β
Waktu itu Minggu malam. Aku tersentak bangun pada pukul satu dini hari. Sayup-sayup terdengar dari jauh peluit kereta. Nguuuoooong. Dalam kondisi kesepian dan merasa seperti ada yang hilang, aku yang tetap tidur telentang tanpa bergerak-gerak mengeja puisi βSaddest Poemβ milik Pablo Neruda dalam patahan-patahan bait yang tidak berlompatan.
β
β
Desi Puspitasari (The Strawberry Surprise)
β
Duhai Pemilik waktu
dari arusMu usiaku terlahir dan mengalir
pada muara mautMu aku berakhir dan menyerah''
Engkaulah dermaga
tempat ikrar perjalananku melunasi batas
rantau pulang kala jiwa tersesat di pintu dunia
Engkaulah samudera
tempat senjaku membenamkan usia
melarungkan maut yang membadai di pantai jiwa
Tuhan....
jagalah hati dan jiwa ini
seperti telah Engkau jaga planet-planet yang beredar pada tiap galaksi
menurut keteraturannya
biar tiada berbenturan akhiratku dengan dunia
sebelum akhir masa nyaris menyelesaikan lahat
sebelum aku dan waktu menyeduh pamit dari secangkir hayat
di perahu sepi
kuamini gelombang maghfirahMu
Di kedalaman sujudku
kuselami putihnya do'a
menghanyutkan dosa yang mnghitami muara ruhku
di rimba raka'atku, ada rindu yang merimbun sebagai Kamu
Engkau geriap hujan di kemarau tubuhku
akulah kegersangan angin yang memanjati tebing-tebing grimisMu
Tuhan...
di hujan ampunan tak henti kuburu gemuruhMu
kupaku telinga di pintuMu
moga kudengar Kau mengetuk
bertamu ke bilik sepi sunyiku
β
β
firman nofeki
β
Demi kopi yang mencintai pahit atas dirinya, aku rela membunuh malamku meski harus dikutuk kantuk; dan dipenjara insomnia.
β
β
Ilham Gunawan
β
Di malam saat semua orang sibuk, menguap dan meninabobokkan rasa kantuk, kita malah asik saing mengusik, di atas mimpi-mimpi malam ini.
β
β
Alfin Rizal (Kesengsem)
β
Puasanya orang kasmaran, tak mengenal kata berbuka dan lebaran. Mereka menyebutnya: Rindu.
β
β
Ilham Gunawan
β
Apa yang kau lihat di layar yang berpendar ini, Kay? Serupa senja yang tumbuh dari sebatang pohon di sebuah tempat yang kau bayangkan seperti surga.
Cahaya lampu itu menyapu wajahmu dengan warna lembayung dan berkilau seperti sayap kupukupu. Tapi tak ada apapun yang kutemukan pada seri wajahmu selain nafsu yang tertahan dan seulas senyum kemesuman.
Persis di puncak penantian dari segala perhatian yang tertuju pada dirimu. Mata yang tak pernah menyadari, bahwa mereka tengah tersesat dalam raga belia yang entah milik siapa. Pada aura kemudaan yang berasa sia sia.
Benarkah, telah kau reguk semua kebahagiaan dari wajah wajah tolol yang ditunggangi oleh nafsu alter egonya? Atau barangkali, telah habis kau hirup wangi dari kelopak mawar hitam yang tumbuh di ranjangmu setiap pagi?
Sudah lama sekali rasanya waktu berlalu. Seperti ketika kau masih suka nongkrong di cafe sambil meneguk cappucino dari cangkir yang perlahan mulai retak. Sementara laju usia terus mengalir dari tenggorakanmu yang bening bagai pualam.
Waktu meninggalkan jejak buta di dalam hand phonemu. Menyisakan tatap mata orang orang yang tak lagi mampu memahami atau menafsirkan apa yang tengah engkau lakukan.
Bukankah, mereka tak lagi melihatmu sebagaimana adanya dirimu saat ini atau sepuluh tahun dari sekarang. Tak satu pun dari mereka yang percaya, bahwa saat itu usiamu masih belum lewat dua puluh tahun.
Mereka hanya mendamba merah muda anggur kirmizi yang tumbuh di dadamu. Tetapi tak ada satu pun telinga yang sanggup melawan sihir dari gelak tawamu yang terdengar getir. Mata mata bodoh yang tak sanggup melupakan bayangan pisang yang dengan brutal kau kunyah sebagai kudapan di tengah jeda pertunjukan.
Benarlah, hidup tak seperti kecipak ikan di dalam aquarium transparan yang tertanam di dinding. Atau air kolam di pekarangan yang seakan menjelma jadi bayangan jemari yang tak henti menggapai gapai. Menjadi gelembung gelembung kekhawatiran yang seakan tak sanggup memahami makna puisi yang sengaja ditulis untuk mengabadikan namamu.
Ketauilah Kay, taman yang kau bayangkan itu bukanlah surga yang sesungguhnya. Di sana tak ada sungai keabadian atau pangeran tampan yang sengaja menunggu kehadiranmu. Yang ada cuma kelebat kilat dan hujan airmata hitam. Mengucur seperti lendir laknat yang mengalir dari hidungmu saat kau meradang karena influensa.
Di sana tak ada satu hal pun yang menyenangkan, Kay. Hanya sedikit saja tersisa hal hal yang busuk dan menjijikkan, sebagai satu satunya bahan obrolan untuk perintang waktu.
β
β
Titon Rahmawan
β
Senja yang jatuh di atas pantai ini
Seperti cinta yang terperangkap dalam kerinduan
Berkeredapan kemilau cahayanya
Menguning seperti sajak-sajak yang matang
Dan kata-kata yang ranum
β
β
Lee Risar (Kata: Antologi Puisi)
β
Kedua tanganku adalah sepasang jarum dan benang yang diciptakan Tuhan, untuk menjahitmu dari kesepian.
Sekujur tubuhku adalah pakaian yang ditenun Tuhan, untuk kau kenakan sebagai pelukan.
β
β
Ilham Gunawan
β
Bagaimana ia bisa mencintai diriku sebegitu rupa. Bukan atas apa yang orang lihat pada diriku. Pada rupa pesona kecantikan yang lugu, polos dan sederhana ini. Pada kecerdasan yang alami, atau kebaikan hati, atau keceriaan yang tidak pernah dibuat buat. Tapi, bagaimana ia bisa merasakannya? Seperti sejuk embun yang mengecup keningnya di waktu subuh. Kehangatan mentari yang bersinar menembus punggung bukit, rimbun dedaunan, dan menembus kisi kisi jendela. Ditingkah riuh suara burung dan kokok ayam jantan menyambut pagi. Perasaan yang barangkali hanya dia yang tahu. Serupa rasa haus yang hanya mungkin terobati oleh kehadiran senyum yang tulus. Yang tidak menjanjikan apa apa, selain daripada cinta dan mungkin juga keabadian. Itulah yang kemudian dinyatakannya padaku lewat sebuah puisi, "Sekiranya kau ijinkan aku mencintai empat orang sekaligus, maka orang itu adalah dirimu, dirimu, dirimu dan dirimu.
β
β
Titon Rahmawan
β
inilah gua segiempatku:
tingkap yang sentiasa menadah udara,
langsir yang menapis cahaya,
meja yang dikepung buku
dan dinding yang menampung
empat lima keping harapan
masa tuaku.
inilah dunia resahku
aku hidup di cahaya separuh terang
mengetam dan melicinkan puisiku
pada kertas yang berselerak.
(Gua)
β
β
T. Alias Taib (Petang Condong)
β
Selalu saja ada sosok yang dituju
di setiap kata "Engkau" dalam sajakmu.
Selalu saja ada satu nama,
yang disamarkan dengan kopi, malam, senja, dan hujan.
Selalu saja ada sosok palsu,
dalam setiap ungkapan majasmu itu.
Selalu ada sesuatu dibalik kisah pilumu, ketika engkau berurusan dengan rindu.
Ceritanya akan tetap seperti itu,
hingga engkau tutup buku,
kecuali jika kau memutuskan untuk berhenti mengurusi rindu.
β
β
Robi Aulia Abdi (@aksarataksa)
β
KHASIDAH KHAFI
Sungguh di dalam atmaku yang paling debu, aku tak layak mendamba dirimu sebagai kekasih hatiku.
Karena engkau kelopak angsoka tumbuh kejora di mataku, dalam bius pesonamu aku tidur dan terlelap.
Sementara debu, tak kutahu dengan apa aku harus nyatakan diriku kepadamu? Dalam balut ungu kelam sayapmu kau sembunyikan rembulan.
Adakah kupahami engkau di balik hijau sihir kata-kata? Adakah kutangkap dirimu dalam misteri hitam sebait puisi?
Seperti lenitrik sungai Alkausar menjangkau jerau jantungmu. Mengalunkan barzanji jauh ke dalam lubuk hatiku.
Sekiranya ia mencipta rimbun semak lantana, perih luka atau sepoi pawana. Aku insaf, aku tak pernah memintamu jadi halimun atau kelam bayang-bayang.
Ia yang dengan sengaja menyamarkan dirimu dari cerlang bintang atau benderang wajah mentari.
Betapa cinta di ujung lidahku luluh untuk apa yang mungkin tak terucap. Biarlah engkau tetap menjadi apa yang tak mungkin aku mengerti.
Yang tak terganti oleh rangkaian kata atau untaian sajak. Saat hasrat hati menembus nisbi ruang dan waktu.
Merengkuh, mencekau sunyi, mengemas rindu atau redam masa lalu. Menjadi mekar mawar ahmar atau jingga semburat fajar.
β
β
Titon Rahmawan
β
dari tembok tua dan rumah bisu penuh anggota
keluarga: ayah, ibu, kakek,nenek, bayi-bayi
menggelantung kera dengan bau dupa yang
lapar. Dari sorga yang tak mungkin dicapai
kecuali kau Buddha Gautama. Dari Yesus
yang tangannya terkulai dipasak dan menangis
merasa ditinggalkan bapaknya. Dari
Muhammad yang kedinginan menggigil dalam
selimut di goa sunyi berharap ada laba-laba
membikin pintu bagi rumah barunya. Dari
cintaku padamu yang tak pernah renta. Dari itu
semuaβ
kata-kata terus terumbar, jauh melayang
melewati pasar modern jam 5 pagi.
β
β
Bagus Dwi Hananto (Dinosaurus Malam Hari)
β
Kita semangat mengaku cinta kepada Tuhan, sementara kapitalis terhadap nikmat dan kebaikanNya.
Jika beragama sebatas dianggap sebagai transaksi membeli surga, lantas, di mana letak kesaksian kita menyatakan cinta kepadaNya?
β
β
Ilham Gunawan
β
Di dalam dunia yang cenderung tidak memiliki tradisi membaca dan
tidak cukup memahami makna puisi, maka status kepenyairan tidak
mungkin bergantung atau diserahkan sepenuhnya kepada penilaian dan
pandangan pembaca. Otoritas atas kepenyairan ada pada tangan penyair
itu sendiri, yaitu pada keadaan di mana seorang penyair dapat
menggali seluruh potensi yang dimilikinya untuk melahirkan dirinya
sendiri.
β
β
Titon Rahmawan
β
Uang, berilah aku rumah yang murah saja,
yang cukup nyaman buat berteduh
senja-senjaku, yang jendelanya
hijau menganga seperti jendela mataku.
Sabar ya, aku harus menabung dulu.
Menabung laparmu, menabung mimpimu.
Mungkin juga harus menguras cadangan sakitmu.
Uang, berilah aku ranjang yang lugu saja,
yang cukup hangat buat merawat
encok-encokku, yang kakinya
lentur dan liat seperti kaki masa kecilku.
Kepada Uang
β
β
Joko Pinurbo (Selamat Menunaikan Ibadah Puisi: Sehimpun Puisi Pilihan)
β
PUISI CINTA
Apakah ia akan mengingat diriku, atas semua potret yang tak pernah usang yang sengaja ia kumpulkan dalam setiap momen kebersamaan kami? Lebih dari semua angka yang aku sendiri tak mampu menghitungnya. Waktu seperti butiran pasir yang merangkai semua kata kata yang di tuliskannya di dalam sebuah buku diary yang ia simpan sendiri.
Waktu berjalan seperti tak pernah mengenal masa lalu. Seperti ikan ikan yang bebas berenang di lautan. Burung burung terbang di langit, dan satwa liar yang mabuk di rimba. Waktu yang terhenti pada satu satunya peristiwa, di mana ia menyatakan segenap rasa cintanya hanya padaku.
Kepastian yang menghapus semua kebimbangan musim. Ketidakpedulian sejarah. Semua kata kata yang dikumpulkannya menjadi ungkapan abadi dalam hati yang tak mengenal rasa duka atau luka, amarah dan juga kesedihan.
Ia tak pernah menghentikan hasratnya untuk terus mencintaiku. Meskipun malam berganti ganti. Hari berubah. Tanggal, bulan dan tahun berlalu. Dan keriput mulai menghantuiku. Mengelupas kemudaanku. Melemparkan hujatan pada semua peristiwa yang seperti ingin menyakiti perasaannya. Menciderai pikirannya dengan semua kemesuman, kejijikan dan ketidak senonohan yang sengaja aku ciptakan untuk membuatnya pergi.
Bayang bayang di mana ruang dan cahaya tak lagi hadir pada dirinya.
Cakrawala yang perlahan mulai menua, tapi tetap saja setia menunggu cinta yang ditinggalkannya hanya untuk diriku.
β
β
Titon Rahmawan
β
Sekalipun pertemuan itu bukanlah sebuah kesengajaan, tapi bagaimanapun telah menjadi sebuah peristiwa yang berkesan bagi diriku. Dan terlebih lagi, setelah kemudian aku tahu, bahwa ia adalah seorang penulis. Dengan diam diam pula aku mencari tahu apa saja yang sudah ditulisnya. Namun tidak sebatas mencari tahu, aku pun terpanggil untuk mengoleksi karya karyanya, membaca puisi puisinya dan mengkaji cerpen cerpennya. Melahap semua tulisannya yang sudah termuat di media massa, maupun juga yang telah ia himpun di dalam blog pribadinya. Termasuk pula di dalamnya ada kumpulan esay dan juga novel novelnya yang telah terbit. Meskipun semua itu harus aku lakukan dengan susah payah. Aku tahu, aku telah menjadi fansnya yang nomor satu. Aku rasa, apa yang ia suarakan lewat tulisan tulisannya itu tidak saja merefleksikan buah pemikirannya namun juga kepribadiannya. Menurutku ia adalah seorang yang baik, dan lebih daripada itu ia adalah seorang yang hebat, dan diam diam aku telah jatuh cinta padanya.
β
β
Titon Rahmawan
β
Oh Kay kau seperti kunci yang membuka pintu hatiku. Pesonamu meremukkanku.
Seperti golok yang berdencing mengiris ngiris dagingku memotong tipis jantungku. Biar kau tetak leherku dengan rindu yang kau ciptakan tanpa iba dan belas kasihan.
Kay oh Kay tak ada yang menyerupaimu di dunia ini.
Sebab bagimu, aku adalah bocah nakal yang boleh menangis demi sebuah boneka mainan. Kemana kau berlagu, irama musik kan menyertaimu. Dan biarkan lantai dansa mendatangimu, memutar dan meninggikanmu dalam tarian yang membuat semua orang tergila-gila.
Kay oh Kay kau gobang pedang parang celuritku. Kau belati yang menikam nikam, kau rajam aku dengan jarum manis lugu senyumanmu. Kau mulut manis yang mendesah yang mengerang yang tertawa yang membuat jiwaku resah gelisah.
Kau Kay oh Kay. Ludahmu yang manis menetes bagai madu yang paling gula di benakku yang kehausan. Kuhasratkan engkau dari sarang yang paling mesum, jalan yang paling ingkar dan pikiran yang paling lancung. Kuingin kecap nektar bungamu yang paling nikmat.
Oh betapa kau nodai aku dengan apimu. Kau jerat aku dengan kepolosanmu. Dengan ketelanjanganmu yang membuatku sesat. Betapa kau memberi asa yang tak kumiliki. Kau menangkan hati yang tak kuperjuangkan.
Kay oh Kay engkau satu satunya jawaban yang tak pernah kupertanyakan. Tujuan yang tak pernah aku duga tapi menyambutku dengan riang gembira. Kaulah kenyataan yang tak pernah aku mimpikan namun terwujud dengan sendirinya.
Bagaimana aku menerimamu sebagaimana engkau menerimaku dengan segenap pesona kegilaanmu. Kay oh Kay rembulan matahariku. Kaulah sungai sekaligus lautku. Hanya padamu mataku tertuju, hanya padamu hatiku tergetar.
Kau biarkan aku menjadi kunci yang memasuki lobang jiwamu yang paling gelap. Bukan dalam keagunganmu anganku mengembara, melainkan dalam kemolekanmu yang memabukkan. Kau telah memenjara jiwaku yang paling celaka.
Oh Kay kau pisau dapurku, kapakku, gergajiku, palu obengku. Kau perbudak aku dalam nafsu tak terlerai ini. Padamu aku menghamba bagai seorang pelayan yang bodoh. Kambing tuli dan buta yang cuma mengabdi pada satu tuan. Kaulah majikan dari semua hasrat dan kedegilan ini.
Semua yang aku ketahui tentangmu adalah palsu. Bagaimana engkau berkenan mengijinkan aku mencintai orang lain selain dirimu? Kay oh Kay bila sungguh memujamu akan memberiku makna hakiki sebuah puisi, lalu bagaimana engkau bisa memberiku cinta sejati yang tak pernah engkau miliki?
β
β
Titon Rahmawan
β
Jangan beri aku apapun
Meski itu perhatianmu
Meski itu kasih sayangmu
Meski itu air matamu
Jangan beri aku kesedihanmu
Jangan beri aku amarahmu
Jangan beri aku dahagamu
Jangan kau beri aku apapun
Sebab masih kuorak langit demi menemukan seluruh jejak petilasanmu Bunda."
Tapi Nak, bagaimana engkau bisa berucap serupa itu?
Bukankah sudah aku beri engkau bunga? Sudah aku beri engkau matahari. Sudah aku beri engkau rumput dan dedaunan. Sudah aku beri engkau laut dan pasir pantai. Mengapa masih?
Tak cukupkah kau cucup air susu dari sepiku? Kau kecap nyeri dari lukaku, sebagaimana dulu kau terakan kebahagiaan di bawah perutku serupa goresan pisau yang menyambut kehadiranmu. Betapa semuanya masih. Aku berikan lagi engkau api, aku berikan lagi engkau pagi, aku berikan lagi engkau nyanyi tualang dari hatiku yang engkau tahu menyimpan sejuta kekhawatiran. Bagaimana engkau masih berucap serupa itu?
Aku masih berikan engkau suar hingga separuh umurku. Aku berikan engkau tawa dari separuh mautku. Aku berikan engkau kekal ingatan dan sekaligus mimpi abadi. Aku beri semuanya, walau itu cuma sekotak bekal sederhana yang semoga engkau terima untuk mengganjal rasa laparmu.
Betapa aku selalu ingin ada untukmu, Nak. Sebab cuma satu permintaanku tak lebih. Ijinkan aku jadi teman seperjalananmu, sahabat di waktu gundahmu, pembawa kegembiraan di kala senggangmu. Sebagaimana dulu kutimang dirimu dan kunina bobokkan engkau di pangkuanku. Ijinkan aku jadi roti yang mengenyangkan laparmu, pelipur hati di kala sesakmu, panasea ketika kau sakit.
Bukankah aku ada ketika kau belajar berdiri dan aku di sana saat kau jatuh? Aku setia menungguimu saat kau berlari mengejar bulan dan matahari. Dan sekalipun waktu merambatiku dengan galur usia, hingga mungkin aku tak lagi mampu berdiri tegap seperti dulu. Aku tak akan pernah menyerah padamu Nak. Tidak, Bunda tak akan pernah menyerah. Sebab bagiku, cukuplah dirimu sebatas dirimu saja.
Akan tetapi, sanggupkah kau cukupkan dirimu dengan semua kebanggaan? Cukupkan dirimu dengan apa yang engkau punya. Cukupkan dirimu dengan semua doa doa yang tak henti kutitikkan dari sudut hatiku yang semoga jadi asa yang paling surga. Surgamu Nak. Walau kutahu itu akan mengusik nyenyak tidurmu. Walau itu akan menambah resah waktu kerjamu.
Sebab kutahu seberapa keras engkau berjuang. Pada setiap tetes keringat yang engkau cucurkan mana kala engkau harus berlari mengejar bus yang datang menjemput. Manakala pikiranmu tak bisa lepas dari layar lap topmu yang tak henti berkedip. Manakala pagi datang dan sibuk pekerjaan hadir serupa hujan tak kunjung usai mendera. Cukupkan dirimu dengan cinta Bunda Nak. Sekalipun nanti, tak ada lagi ucapan nyinyir bergulir dari bibir Bunda yang mulai keriput ini. Yakinlah, pintu rumah hati Bunda akan selalu terbuka buatmu, kapan pun engkau ingin pulang.
β
β
Titon Rahmawan
β
Kebahagiaan Abadi
Entah siapa dirimu...
Saat kurangkai kata-kata ini, jantungku berlarian..
Air mataku tak dapat kubendung..
Aku hanya dapat melihat bayanganmu melalui layar laptop
Hasil upacara sakralmu yang kau upload ke situs jejaring sosial
Hakikatnya ku sangat merindukan sosokmu untuk menjadi pendampingku..
Biarlah mereka menganggapku melow
Semuanya terasa sangat singkat...
Dengan mata yang berkaca-kaca ku ungkap tabir cakrawala
Semoga bahagia..
dan Aku dengan sejuta bintang
menembus atmosfer untuk mencari ..
Kebahagiaan Abadi...
Dalam Naungan Rabb..
β
β
Hilaludin Wahid
β
Kekasihku
Kami bertemu lagi di taman.
Dulu ia bilang ia yang menciptakan langit biru,
tukang susu yang setiap pagi lewat depan rumahku,
tukang pos yang tak pernah mampir,
anak-anak kecil yang bermain burung dara bersama senja,
suara anjing hansip di tengah malam sunyi.
Semuanya dari tiada.
βKenapa kita harus melalui hidup ini sendirian?β tanyaku.
Ia diam. Padahal biasanya langsung
berbicara panjang lebar.
βKamu dan aku. Begini parah kita kesepian.β
Aku ingat ceritanya tentang cinta yang tak berbalas,
yang ia tanggung selama beribu-ribu tahun.
Tentang pengirim pesan yang ditimpuki batu,
dan ia yang kesepian di atas gunung.
Kakiku mulai kesemutan, dan ia tak juga bicara.
βDi gunung, kamu menulis untuk siapa?β
Ia tak juga bicara.
Langit biru agak berawan hari ini.
β
β
Norman Erikson Pasaribu (Sergius Mencari Bacchus: 33 Puisi)
β
HIKAYAT ADAM
Sebab bagiku kau masih serupa ibu yang melahirkanku yang menuntunku berjalan dan mengajariku berlari. Namun mengapa tak juga lepas dahagaku daripadamu? Meski telah kureguk engkau hingga tumpas tandas.
Hingga kempis payudaramu hingga perlahan surut laut dan air matamu. Hingga padam langit dan seluruh jagat raya.
Hingga kalam sang malaikat diam-diam merenggut segenap kejahatan dan dosa-dosaku. Meski kutahu belaka, betapa sia-sia seluruh perjalanan ini.
Bukankah engkau sendiri yang waktu itu menghalangi diriku memakan buah yang ranum dari perbendaharaanmu yang sengaja tak kausembunyikan?
Buah syajarah yang kautanam di taman purbawi. Kebun yang telah berabad jadi rumahku tapi tak pernah sungguh-sungguh aku miliki.
Mengapa kaularang aku memetik khuldi yang kausediakan bagiku di taman itu? Apakah demi menguji kesetiaanku pada dirimu? Sementara kauijinkan sabasani itu tumbuh menjulang tinggi dan berbuah lebat.
Sekalipun engkau masih menerimaku sebagai buah kandung yang engkau lahirkan sendiri dengan kedua tanganmu.
Dan tidaklah aku engkau turunkan dari patuk taring si ular beludak. Ia yang telah membuatku terusir dari rumah. Sepetak tanah yang memang kauperuntukkan bagi diriku sejak mula pertama kauhadirkan aku ke dunia ini.
Sungguhpun harus kuarungi samudra duri ini sekali lagi, sebagai si alif dari golongan yang paling daif. Sebagaimana perempuan penerbit nafsi itu kaucuri dari tulang rusukku saat aku lelap tertidur.
Sepanjang pasrah kasrah telah mengubah rambut di kepalaku menjadi setumpukan uban. Sepanjang kematian demi kematian sengaja kau timpakan di atas kepala anak cucuku. Adakah sempat kaudengar aku berkeluh-kesah?
Meski aku mahfum belaka, ya bila karena semua itu aku tak akan pernah kau perkenankan singgah ke rumahmu lagi. Kecuali kau biarkan aku datang sebagai perempuan lecah, jaharu yang paling hina atau fakir papa yang kelaparan.
Sekalipun telah letih jiwaku meretas sepi, hingga percik lelatu itu menitik sekali lagi dari ujung jarimu. Bukan sebagai yang garib, yang gaib atau yang hatif. Melainkan karena semata-mata semesta cinta.
Cinta yang sekalipun tak akan pernah mengubah diriku menjadi zaim, zahid atau zakiah. Namun sungguh, cuma itu satu-satunya cinta yang berani menentang tajam mata pisau sang mair.
β
β
Titon Rahmawan
β
Gadis Peminta-minta
Setiap kali bertemu, gadis kecil berkaleng kecil
Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa
Ingin aku ikut, gadis kecil berkaleng kecil
Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok
Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan
Gembira dari kemayaan riang
Duniamu yang lebih tinggi dari menara katedral
Melintas-lintas di atas air kotor, tapi yang begitu kau hafal
Jiwa begitu murni, terlalu murni
Untuk bisa membagi dukaku
Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil
Bulan di atas itu, tak ada yang punya
Dan kotaku, ah kotaku
Hidupnya tak lagi punya tanda
β
β
Toto Sudarto Bachtiar
β
Imaji-ku.
Cermin dari malam.
Sepasang bola mata hitam menyelinap diriku.
Terpaan angin menghela pelan menyentuh kulit epidermisku.
Kau hinggap dalam ruang-ruang penuh suara dalam bayang dalam cahaya.
Kau perpaduan angka-angka,
seakan kaulah lakon utama dalam hidup.
Memahami garis-garis yang membentuk gerak-gerik bayang.
Tindakanmu mengembara di seluruh ruang dan menggapai sel-sel dalam tubuhku yang adalah bintang-bintang yang kemudian menuju padamu β cahayaku.
β
β
silviamnque
β
Waktu, bukan gugur daun daun yang meninggalkan jejak luka pada ranting yang ditinggalkannya. Juga bukan duri yang menusuk jari dan kemudian meneteskan darahnya ke rerumputan. Engkau tak semestinya menyematkan bekas hangat bibirmu di bibirku lalu pergi dan tak pernah kembali. Adakah cinta yang serupa itu?
Masih basah trotoar itu oleh jejak sepatu hujan yang mengenangkan pertemuan kita di alun alun kota. Meski sewindu telah berlalu dan mengubah semua perasaan tersembunyi di dalam lipat sapu tanganmu. Bukankah masih tertera namaku di sana? Tapi sepertinya hujan sudah mengguyur habis semua pikiran, perasaan dan pertanyaan tentang kita.
Tak ada lagi kita. Melainkan aku sendiri saja. Berjalan di atas sepatu hujan, menyusuri jalan jalan lengang di tengah kota. Kota kita yang sunyi. Membaca dinding dinding terjal yang membatasi pandangan. Hanya jarak yang tak lagi menyerupai jembatan yang justru memisahkan engkau dariku. Aku di Utara dan kau jauh di Selatan.
Jembatan yang dulu kita bangun dari pengharapan dan juga mimpi, terlanjur runtuh ke dalam jurang yang tak terselami oleh kata kata dan tak termaknai oleh puisi. Seperti lukisan pagi yang dulu pernah kukirimkan kepadamu, telah kau buang entah kemana? Dan cinta. Adakah cinta yang seperti itu?
β
β
Titon Rahmawan
β
Kau terhenti.
Tergagu kau bertanya.
Mungkin pada diri sendiri, mungkin kepadaku.
βSiapaβ¦ kamu?β
Namaku Bumi, ketika langitmu perlu wadah untuk menangis.
Namaku Bulan, saat kau terlelap, kujaga duniamu dalam gelap.
Namaku Telaga, kan kubasuh lusuh di sekujur tubuhmu itu.
βUntuk apa?β
Untuk partikel udara yang kau hirup dengan cuma-cuma.
Untuk desau angin yang bisiknya kau halau dengan daun pintu.
Untuk kepul terakhir secangkir kopi yang kau hirup sebelum mendingin.
Kau kembali berjalan.
Aku kembali diam.
Kita tak lagi berbincang.
Aku tetap menjadi bumi, bulan, dan telagamu.
Kau masih menghirup udara, menghalau angin, dan menyeduh kopi.
Kita masih melakukan hal yang sama, masih di tempat yang terpisah.
Dan tak pernah kau pertanyakan lagi keberadaanku.
Sebab bagimu aku selalu ada.
β
β
Devania Annesya (Elipsis)
β
Sunyi seperti senyap malam yang gelap gulita. Di mana tak ada siapa pun selain gigil kesendirian yang larut dalam basah gerimis hujan. Ia tahu, sebab kesepian bukanlah perasaan yang diinginkan rembulan.
Demikian pula cinta, bukanlah perasaan yang diharapkannya. Suara jengkerik dan katak adalah ngilu. Seperti bulan yang tak mempercayai cinta, lagu pungguk itu terdengar seperti suara sumbang yang menyebalkan di telinganya.
Desau angin jahat dan risik dedaunan hanya mengundang kepiluan di hati. Kalau saja ia bisa menangis, tapi siapa mau peduli?
β
β
Titon Rahmawan
β
# Dulu, Kini dan Waktu yang Telah Hilang
Seperti geletar semu yang kaukirimkan padaku lewat layar ponselmu, haruskah kusambut dengan rasa haru? Sebab dulu, senyummu adalah rembulan yang menumbuhkan cinta di dadaku. Tapi kini, ia tak lagi berseri seperti kelopak melati yang layu di ujung hari.
Aku berharap, mungkin masih akan datang lagi waktu yang akan menyambut kehadiranku seperti dulu. Seperti penyair remaja, yang berusaha keras menciptakan beribu ribu mimpi demi menghidupkan cinta yang telah lama mati. Cinta yang pernah jadi milik kita dan kemudian pergi entah kemana?
## Perjalanan, Harapan dan Mimpi yang Tak Pernah Terkubur
Tetapi masih kuingat perjalanan itu, yang mengantarkanmu kepadaku. Kepada ciuman musim penghujan yang menumbuhkan pokok pohon kol banda di halaman rumah. Masih serupa mimpi yang datang lagi menghampiri. Penuh, seperti lembut bibirmu yang lekat menempel di bibirku, akankah ia abadi? Tapi itu ternyata cuma ingatan sekilas saja.
Sungguh, betapa kita pernah jalan berdua. Dari pintu gerbang sekolah sampai ujung jalan terjauh dari kerinduan kita pada puisi puisi yang ingin kita tulis bersama. Pada lukisan hujan yang akan menghidupkan semua ingatan yang kemudian kita jalin menjadi sebuah novel atau mungkin juga bahtera. Tak sebesar milik nabi Nuh, tapi cukuplah ia mengantarkanmu ke negri jauh. Negri harapan, di mana mimpi itu tak akan pernah terkubur.
### Waktu yang Tiba Tiba Menua dan Mimpi yang Telah Mati
Lalu, siapa yang telah menua di antara kita? Cuma kol banda yang masih tegak kokoh di depan rumah.
Atau barangkali cuma mimpi, yang terlanjur melupakan semua kisah yang telah dirajutnya sendiri. Mimpi yang dulu pernah menyatukan kita dan lalu mati. Terkubur entah di mana?
β
β
Titon Rahmawan
β
Engkau Tak Pernah Pergi
Suatu hari ia menemukanmu dalam lembar kenangan di dalam saku kemeja yang terlipat rapi di almari.
Semestinya kau tak datang lagi setelah bertahun ingatan berusaha menghilang seperti hantu yang menolak untuk dicintai.
Tapi ternyata engkau tak pernah pergi. Dan setelah itu, ia mendapatimu hadir di mana- mana. Sebagai rasa sakit yang bersikeras ingin membuat perhitungan yang tak kunjung selesai.
Seperti pintu amarah yang digedor orang di malam hari hanya untuk mengambil kembali rahasia-rahasia yang dulu pernah di sembunyikannya.
Mengapa engkau tak mau pergi, sebagai orang yang dicintai laut? Bukankah laut itu pula yang dulu menerima semua keluh-kesahmu tanpa pernah bertanya-tanya?
Bukankah ia pula muara sungai yang sama yang mengantarkan dirimu menerjemahkan arti sebenarnya dari kata kebahagiaan?
Tapi engkau tak mau pergi dalam wangi bunga arum dalu yang ingin di ingatnya selalu setiap jelang sore tiba.
Atau sebagai tetes air hujan yang ingin disimpan dan diabadikannya sebagai kenangan di dalam pikiran yang senantiasa resah.
Bukan pula butiran tasbih yang didaraskannya sebagai doa yang tak henti diucapkannya saat matanya terjaga sementara tubuhnya terbuai di dalam mimpi.
Engkau tak pergi sebagai perempuan yang pernah mengisi hatinya dan selamanya akan terus dicintainya, sekalipun puisi-puisi yang dituliskannya atas namamu tak pernah lagi kaubaca.
Sementara ia seperti sengaja membiarkan kebodohannya sebagai ungkapan perasaan cinta. Perasaan yang ia agungkan sebagai anggur penawar lupa, yang sesekali ia minum sebagai satu-satunya pengobat sepi.
Kau tidak pergi sebagai kerinduan yang menghantui perasaan-perasaan yang tidak mampu ia terjemahkan selain sebagai penderitaannya sendiri.
Dan ia masih menyimpan kesedihanmu, sayu tatap matamu, sikap diammu agar tak pernah terusik waktu. Walau engkau terus saja memberinya luka-luka baru, yang entah mengapa tak pernah dapat ia sembuhkan.
β
β
Titon Rahmawan
β
Ia dan Pohon
Siang itu ia meminta maaf kepada satu-satunya pohon
di tepi lahan parkir kantornya, yang memayungi mobilnya
dari terik. Ia minta maaf untuk kakeknya yang adalah
pengusaha kebun sawit, untuk keluarga mereka yang
turun-temurun meyakini seorang tukang kayu sebagai anak tuhan.
Pohon itu meratap, teringat dengan kawannya
yang dicabut dari tanah ketika mereka kanak-kanak,
dengan alasan βterlalu dekat dengan bangunanβ. Dari kejauhan
mereka biasa saling tatap dan berkedip, dan berpikir ketika
dewasa kelak dan burung atau kupu-kupu mulai hinggap sebentar
pada cabang serta pucuk mereka, mereka bisa saling menitipkan pesan.
Pohon itu menyesali tak sempatnya ia mengatakan
ia mencintai kawannya itu; ia ingin membawa kawannya itu
ke gereja, dan di depan altar mereka bisa dipersatukan di
hadapan tuhan yang bercabang tigaβseperti pohonβ
dan anak-anak mereka bisa memenuhi lahan parkir itu,
sepetak demi petak, hingga kelak orang-orang lewat
mengira ada hutan di tengah kota. Pria itu pun memeluk pohon itu,
dan pohon itu memeluknya.
β
β
Norman Erikson Pasaribu (Sergius Mencari Bacchus: 33 Puisi)
β
Kita bercakap
sepanjang sore itu
dan berharap gerimis hujan
akan berjatuhan dari langit.
Agar kerinduan dapat melekapkan tubuhnya
di dalam pelukan
kita masing masing.
Aku ingin
menggandeng tanganmu sebagaimana angin
meniup dan membelai
anak-anak rambutmu.
Aku menduga
kau juga
ingin melakukannya sebagaimana kebahagiaan seolah membuncah
dari setiap langkah
kaki kita.
Apakah kita
akan saling menunggu
dingin hembusan angin merebak di dalam
sesat pikiran
hingga membuat
tubuh kita
menggigil?
Atau hanya aku
sendiri yang tengah
berandai-andai?
Sekiranya saja
tanganku adalah
ritmis gerimis
yang mendadak turun
dan berniat hendak
memeluk tubuhmu.
Kalau saja
bibirku adalah
gumpalan
awan kelabu
yang berarak
di langit
dan seperti ingin
membulatkan
keberanian
demi mencium
bibir indahmu.
Seandainya
tubuh kita
menyatu dalam
degup hujan
yang rinai ini
dan hasrat kita
melebur dalam
dekapan waktu
yang menjadikannya
kenangan abadi.
Tapi harapan
mendadak saja
ingkar dari kenyataan
seperti gelegar halilintar
di kejauhan.
Apakah salah
telingaku mendengar
desah bisikanmu?
Melihat bagaimana
bibirmu gemetar saat mengucapkan
kata-kata
perpisahan.
Gugur daun-daun
dan kelam malam
perlahan datang beringsut memayungi
hati kita.
Lalu, siapa yang akan mencatat waktu
dan mengabadikan
sisa peristiwa
sesudah ini?
Bulan meremang oleh
nyeri dukanya sendiri.
Akankah tasbih
yang baru saja
aku berikan padamu
akan jadi
tandamata terakhir
di antara kita?
Apakah aku
mesti menyimpan
sapu tangan
yang kini basah
setelah menyusut
air matamu?
Cuma ada gelap
yang kini
jatuh sempurna.
Gulita
yang menanggalkan
satu demi satu peristiwa
yang dulu pernah
hadir bersama.
Hilang musnah
dari seluruh
penggal ingatan.
β
β
Titon Rahmawan
β
POHON HAYAT
Demikianlah, ia melekapkan bunga pada malainya, putik pada tangkainya, daun pada rantingnya dan buah-buah berwarna kuning cerah pada setiap cabang dari dahan pohon pengetahuan itu. Sebagaimana ia melekatkan putih yang semenjana pada paras wajah perempuan yang ia ciptakan dari tulang rusukku.
Sedemikian rupa, ia pulaskan secebis rona apel merah pada keluk bibirnya untuk menyenangkan hatiku. Lalu ia gabungkan kilau cahaya Sirius, Canopus dan Arcturus pada bening biji matanya agar aku dapat berkaca di kedalamannya yang hijau lumut.
Dan kemudian, dibuatnya sepasang lengkung alis mata dari iring-iringan semut gajah agar menjadi taman tempat aku bermain-main. Sementara pada gerai rambutnya dibalutkannya hitam yang berombak seperti laut yang di dalamnya aku bisa bersembunyi.
Tapi melampaui semua itu, dibuhulnya rimbun semerbak semak lantana tepat pada pangkal pahanya, yang padanya aku akan jatuh berahi. Dan lalu dipahatnyalah sepasang tempurung pembangkit nafsi yang kenyal mengkal, serupa tatahan sempurna ranum buah mangga pada busung dadanya. Tak lupa ditambahkannya puting anggur kirmizi pada puncak susu perempuan itu, agar nanti ia bisa menjelma sempurna menjadi ibu dari anak-anakku.
Namun aku sengaja tak memberinya nama, sampai semua yang lain selesai aku beri sebutan. Pada yang hijau aku beri nama hujan. Pada yang biru aku beri nama langit. Pada yang kelam aku beri nama malam. Pada yang terang aku beri nama siang.
Demikian pun pada mereka yang mengeriap. Pada mereka yang berjalan dengan empat kaki. Pada mereka yang melata dengan perutnya. Pada mereka yang terbang di langit. Pada mereka yang berenang di dalam air serta pada segala yang berkilauan di angkasa raya. Bahkan pada semua jenis kerikil dan batu-batu, aku menyematkan nama mereka satu persatu.
Begitulah, segala sesuatu memperoleh nama dan sebutannya masing-masing. Supaya kepada setiap nama itu aku dapat memanggil dan di dalam nama itu mereka dapat dikenal. Akan tetapi, khusus bagi perempuan itu (sebab ia adalah satu-satunya yang tercipta dari tulang rusukku) maka aku hendak memberinya nama yang teristimewa. Sebuah nama yang paling indah dari semua nama yang telah aku berikan.
Akan tetapi, aku tak kunjung menemukan nama yang sesuai bagi dirinya. Sampai kemudian, tepat di mana bertemu empat buah sungai, kulihat ia sedang memintal air matanya hanya sepuluh langkah dari pohon pengetahuan itu.
Aku mendapati perempuan itu tengah duduk bersimpuh mengaduk-aduk tanah dan membuat adonan lempung dengan air matanya.
"Apa yang sedang engkau perbuat, wahai Perempuan?" Tanyaku pada dirinya.
"Aku sedang membuat ramuan cinta, untuk membuhul ikatan abadi di antara kita berdua..." demikian ia menjawab pertanyaanku.
Dan pada saat itulah aku mendapatkan sebuah nama yang tepat untuk dirinya. Eva, itulah nama yang kemudian aku berikan padanya. Sebab ia adalah ibu dari semua kehendak alam dalam diriku. Aku persembahkan baginya nama yang paling indah, tepat di muara pertemuan empat buah sungai; Gihon, Pison, Eufrat dan Tigris.
Jadilah ia lelai akar untuk menyempurnakan suratan tangan kami. Ia adalah telur kesunyian di mana aku akan menyemai seribu benih. Semenjak pertama kali aku menatap wajahnya saat aku terjaga dari tidur yang panjang dan mendapati dirinya berbaring telanjang di sebelahku. Aku tahu, ia telah ditakdirkan untuk menjadi pohon kehidupan. Ibu dari semua ibu yang akan melahirkan anak cucu keturunanku.
β
β
Titon Rahmawan
β
MaghfirahMU
Titip rindu untuk RasulMu..
Dengan sejuta shalawat dalam keheningan malam..
Airmataku terlalu keruh untuk diusap...
Setidaknya ini sebagai ungkapan taubatku yang tersirat....
Sembari melantunkan kata-kata ini..
Diriku seperti senyap dalam ruang sempit penuh hewan yang tak kukenal...
Mungkinkah itu cerminan amalku...???
Ya Rabb........
Betapa congkaknya Aku dalam nestapa..
Sombong menembus atmosfer batas aturan-aturan....
SyariahMu menuntunku ..
Kenapa diriku masih bergelayutan dalam hiruk-pikuk hedonisme..
Detik-detik sakral telah Kau buka..
Segenap jiwa dan raga kini kupasrahkan...
Aku tak sanggup lagi bersua.. Bahkan berkutik mencari oksigen dunia..
Ya Rabb...
Ceburkanlah diriku dalam lautan MaghfirahMu...
Astaghfiruka Waatubu ilaik....
β
β
Hilaludin Wahid
β
Kalau ada yang aku inginkan selain membahagiakan dirimu, itu adalah menata kembali perasaanku dari banyak peristiwa yang ingin aku lupakan. Tapi perasaan bukanlah pikiran yang bisa aku ajak kompromi. Ia seringkali berbicara dengan caranya sendiri.
Seperti menata taman yang berantakan di halaman. Membersihkan belukar dan rumput rumput liar atau sekedar mengecat pagar agar bisa kembali indah seperti dulu.
Menambahkan sesuatu pada yang tak ada atau tak pernah hadir dalam hubungan kita. Seperti mengharap yang hampa dari sebuah kekosongan yang tanpa makna. Betapa banyak sudah kebohongan yang kita reka-reka agar kita tak saling menyakiti.
Bukankah kita pernah menjadi begitu dekat dan jauh sekaligus dalam kesempatan yang sama? Bukankah kita pernah saling mencintai?
Tapi waktu seperti melupakan perannya dalam kehidupan. Ia seperti tak pernah memihak kepada kita. Ia seperti kendaraan yang berjalan sendiri tanpa orientasi. Tak tahu mau apa atau kemana.
Aku hanya ingin berhenti memelihara rasa sakit dari ingatan akan cinta yang tak mau pergi. Sebagaimana aku merasa, betapa sia-sia menunggumu untuk mengisi gelas kosong di dalam hatiku lagi.
Hanya bisa menduga-duga, apakah kau masih akan menungguku untuk membawamu pulang? Ternyata, teramat susah menjaga dan memelihara perasaan.
Lalu, apa yang masih bisa kita ingat dari percakapan yang hanya hidup dalam imajinasi? Raut wajahmu, senyummu atau hangat ciuman bibirmu adalah kesedihan yang bersikeras tak mau pergi.
Tapi sudahlah, kita sudahi saja semuanya. Sebab aku hanya ingin berhenti. Aku tak ingin lagi tinggal dalam rumah yang hanya mendatangkan rasa sakit
dan kepedihan.
β
β
Titon Rahmawan