“
Helianthus
“The sadness will last forever.”
― Vincent van Gogh
Sebuah ingatan tak mampu menangkap geletar sebatang kuas.
Jari-jemari gagal menangkap rona mata kepedihan
membayang kabur di atas kanvas.
Pucat tube cat menelan harga diri
ekspresi beku palet kosong.
Seekor singa diam-diam mengeram,
mencabik daging sepotong demi sepotong.
Langit penuh bintang tertawa
menggigilkan telinga.
Tawa gila perempuan sundal
di perempatan jalan.
Telinga mengucur darah
oleh tajam sembilu
tak lagi goreskan biru
ke atas gaun malam.
Hutan terbakar.
memberang oleh kalut pikiran.
Kelopak matahari luruh
memenuhi liang lembab dan dingin.
Sernak hujan memutar masa lalu, melaknat pias rembulan.
Tapi ia belum mati, belum lagi.
Ada sisa asap
dari pistol teracung ke atas jidat mencabar benak.
Serpihan ngeri mengiris telinga terbungkus sehelai sapu tangan
berenda—
sebuah tanda mata.
Langit yang tak kunjung mati.
Langit yang melaknat diri sendiri.
Sebuah pusara, dalam keranjang
penuh kentang.
Malam penuh bintang dan sansai
sepasang sepatu bot usang—
kamar sunyi lengang.
Tertumpah gentong anggur
dalam perkelahian tak terkendali
bersama Theo dalam café penuh pelacur.
Almanak yang menyimpan ingatan semua nama: Gachet dan Gauguin
menambal luka meliang di sekujur tubuh;
maut yang menolak mencium busuk bau napasnya.
Rembulan mabuk di sepanjang jalan
dari Borinage, Antwerpen hingga ke Paris.
Jiwa yang menolak mati,
sampai Arles memangilnya kembali
Muram wajah rumah kuning itu,
taman bunga Irish layu
pohon Cypres menari-nari.
Dan Saint Remy
menunda kepulangannya sekali lagi.
Jemari gemetar mengulang
sketsa pada cemerlang warna
bunga mataharinya
dalam sebuah pot oranye
tetap seperti dulu juga.
Lelaki malang
yang mencintai kepedihan
begitu rupa
sebagaimana ia
mencintai cahaya
lebih dari jiwanya sendiri.
April 2014
”
”