“
sesungguhnya hati manusia itu berkarat seperti berkaratnya besi.
sahabat bertanya : apakah pengilapnya wahai Rasulullah?
Rasulullah menjawap: membaca alQuran dan mengingati maut
”
”
Hlovate (Anthem)
“
Kelak ia sadar, bahwa perasaan takut terhadap maut, berarti berani terhadap hidup.
”
”
Remy Sylado (Kembang Jepun)
“
Seperti manusia, kelak berakhir sendiri dalam maut yang sangat pribadi. Kesendirian tak pernah menakutkanmu, kau lebih takut pada ketiadaan kata berpisah.
”
”
Nukila Amal (Cala Ibi)
“
Di balik setiap kehormatan mengintip kebinasaan. Di balik hidup adalah maut. Di balik persatuan adalah perpecahan. Di balik sembah adalah umpat. Maka jalan keselamatan adalah jalan tengah. Jangan terima kehormatan atau kebinasaan sepenuhnya. Jalan tengah—jalan ke arah kelestarian.
”
”
Pramoedya Ananta Toer (Jejak Langkah)
“
Hidup ini begitu indah, hingga maut pun jatuh cinta padanya
”
”
Yann Martel
“
Karena cepat atau lambat, entah maut atau orang lain yang menyebabkan hubungan selanggeng apa pun akan dapat dipisahkan. Maka, yang terbaik adalah mencintai dalam keikhlasan.
”
”
Wira Nagara (Distilasi Alkena)
“
Melawan pada yang berilmu dan pengetahuan adalah menyerahkan diri pada maut dan kehinaan
”
”
Pramoedya Ananta Toer
“
Selama orang masih suka bekerja, dia masih suka hidup dan selama orang tidak suka bekerja sebenarnya ia sedang berjabatan tangan dengan maut.
”
”
Pramoedya Ananta Toer (House of Glass (Buru Quartet, #4))
“
Kematian selalu membuntuti Kehidupan dengan begitu dekat, bukanlah karena keharusan biologis, melainkan karena rasa iri. Kehidupan ini begitu indah, sehingga maut pun jatuh cinta padanya. Cinta yang pencemburu dan posesif, yang menyambar apapun yang bisa diambilnya
”
”
Yann Martel (Life of Pi)
“
Tidak perlu," sahut Febrian tegas. "Karena aku tidak takut mati bersamamu. Kita akan selalu bersama. Bahkan maut tidak bisa memisahkan kita.
”
”
Mira W. (Sampai Maut Memisahkan Kita)
“
Dia adalah segalanya bagiku. Apa pun yang datang darinya adalah satu satunya sumber kebahagiaanku. Tak ada yang dapat merenggutnya dariku. Bahkan maut sekalipun tak akan mampu memisahkan jiwa kami.
- Harsimran Tapasvi, Tawanan Kepedihan
”
”
Titon Rahmawan
“
Peristiwa itu mengingatkan kembali bahwa maut itu bisa datang kapan saja, di mana saja. Bisa jadi ketika jauh dari orang-orang yang kita cintai. Tanpa berpamitan dulu.
”
”
Iwan Setyawan (Ibuk,)
“
Enam puluh tahun kami menikah. Dua belas anak. Tentu saja ada banyak pertengkaran. Kadang merajuk diam-diaman satu sama lain. Cemburu. Salah-paham. Tapi kami berhasil melaluinya. Dan inilah puncak perjalanan cinta kami. Aku berjanji padanya saat menikah, besok lusa, kami akan naik haji. Kami memang bukan keluarga kaya dan terpandang. Maka itu, akan kukumpulkan uang, sen demi sen. Tidak peduli berapa puluh tahun, pasti cukup...Pagi ini, kami sudah berada di atas kapal haji. Pendengaranku memang sudah berkurang. Mataku sudah tidak awas lagi. Tapi kami akan naik haji bersama. Menatap Ka'bah bersama. Itu akan kami lakukan sebelum maut menjemput. Bukti cinta kami yang besar.
”
”
Tere Liye (Rindu)
“
Ayahku selalu bilang, jodoh itu seperti sepatu. Sejak awal dibuat, sudah ditentukan pasangannya. Itulah jodoh sejati. Jodoh yang hanya akan dipisahkan oleh maut.
”
”
Dahlian (Casablanca: Forget Me Not)
“
Saya percaya bahwa orang bukannya takut mati. Mereka takut sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih menggelisahkan dan lebih tragis daripada maut itu sendiri. Kita takut tidak pernah hidup, menjelang akhir hayat kita dengan perasaan bahwa kita tidak pernah benar-benar hidup. Bahwa kita tidak pernah memahami, untuk apa kehidupan kita itu.
”
”
Harold S. Kushner
“
Persamaan Maut dengan Cinta lebih banyak daripada yang mungkin kalian bayangkan.
”
”
Rick Riordan (The Son of Neptune (The Heroes of Olympus, #2))
“
Thanatos sering kali salah dikira sebagai Dewa Cinta. Persamaan Maut dengan Cinta lebih banyak daripada yang mungkin kalian bayangkan.
”
”
Rick Riordan (The Son of Neptune (The Heroes of Olympus, #2))
“
Maut tak mengenal keadilan.
”
”
Rick Riordan (The Son of Neptune (The Heroes of Olympus, #2))
“
Maut tak perlu digoda sedemikian intim
”
”
Yusi Avianto Pareanom (Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi)
“
Peluru, kamu panas, dan kamu membawa kematian, tetapi bukankah kamu abdiku yang setia? Tanah hitam, kamu akan menyelimutiku, tetapi bukankah aku menginjakmu dengan kudaku? Kamu, maut, kamu dingin, tetapi akulah tuanmu.Tanah akan mengambil tubuhku, langit akan mengambil jiwaku.
”
”
Leo Tolstoy (Hadji Murád)
“
suatu hari jika aku tak lagi ada
maka ikutilah iring-iringan angin yang mengantar kepergianku, Azzahra
padanya telah kutitip alamat kepulangan sebuah perjalanan tanpa muara
juga suara lengking pilu jiwa yang mendendam diburu maut
dibelakang sudut kamar sepi, suatu hari
”
”
firman nofeki
“
Maut lebih suka kepada kaum lelaki
justeru, lelaki lebih banyak
menghadapi kemusnahan
”
”
Suhaimi Haji Muhammad (Menterjemah Bintang)
“
jika aku tak lagi ada, kekasih
maka tenangkanlah isak hujan yang menangisi kepergianku
biar tak terbentang sebuah lautan diatas tanah pusara
walau beribu bahkan berjuta samudera air garam
tak akan sanggup mengasinkan pahit kepedihan
perahu umur yang berlayar jauh
pun telah tertambat jangkar maut sa'at menepi
di satu hari
”
”
firman nofeki
“
kesakitan bagai
ikan dalam arus. tak seorang sedar maut mera-
yap di luar kamar dan tertiarap di antara
gelas-gelas air. lalu bertanya anak: berapa
hari lagi aku harus begini?
(suatu dinihari di sebuah hospital)
”
”
T. Alias Taib (Seberkas Kunci)
“
Duhai Pemilik waktu
dari arusMu usiaku terlahir dan mengalir
pada muara mautMu aku berakhir dan menyerah''
Engkaulah dermaga
tempat ikrar perjalananku melunasi batas
rantau pulang kala jiwa tersesat di pintu dunia
Engkaulah samudera
tempat senjaku membenamkan usia
melarungkan maut yang membadai di pantai jiwa
Tuhan....
jagalah hati dan jiwa ini
seperti telah Engkau jaga planet-planet yang beredar pada tiap galaksi
menurut keteraturannya
biar tiada berbenturan akhiratku dengan dunia
sebelum akhir masa nyaris menyelesaikan lahat
sebelum aku dan waktu menyeduh pamit dari secangkir hayat
di perahu sepi
kuamini gelombang maghfirahMu
Di kedalaman sujudku
kuselami putihnya do'a
menghanyutkan dosa yang mnghitami muara ruhku
di rimba raka'atku, ada rindu yang merimbun sebagai Kamu
Engkau geriap hujan di kemarau tubuhku
akulah kegersangan angin yang memanjati tebing-tebing grimisMu
Tuhan...
di hujan ampunan tak henti kuburu gemuruhMu
kupaku telinga di pintuMu
moga kudengar Kau mengetuk
bertamu ke bilik sepi sunyiku
”
”
firman nofeki
“
Rah chalta hun toh yeh manzilein kho jati hain,
Har mod par bas tu nazar aati hai;
Kya hai zindgi tere bna, ek pal sochta hu,
Agle he pal yeh zindgi bhi maut nazar aati hai.
”
”
Anuj Tiwari
“
Apa ertinya hidup kalau bukan
bersabung dengan sengsara dan maut.
”
”
Rahimidin Zahari (Rawana: Selected Poems/Sajak-sajak Terpilih)
“
dan pada bait yang di tunggangi agitasi ini, sesungguhnya rindu sudah berujung pada maut, dalam arena adu mata seorang pemuda yang masih sendiri
”
”
andra dobing
“
Di sekeliling kami, langit yang sudah semakin gelap. Di celah-celahnya, tersembunyi maut yang sedang menyeringai taring, berkuku panjang tajam.
(Arah Yang Tidak Pernah Ada)
”
”
Rosli K. Matari (Tidakkah Kita Berada Di Sana?)
“
Ciumlah bau maut setiap detik dan masa, kerana ia adalah sedekat-dekat perkara ghaib yang ditunggu. Sediakanlah dirimu untuk menemuinya, kerana dalam banyak hal maut itu akan datang menyambarmu.
”
”
الحبيب عبد الله بن علوي الحداد الحضرمي الشافعي (Penuntun Hidup Bahagia)
“
Segala sesuatu yang dibatasi oleh mati, bukanlah sukses. Sukses adalah suatu pencapaian yang melampaui maut,yang abadi melintasi kematian, mengalir hingga titik simpul di mana awal dan akhir menyatu.
”
”
Emha Ainun Nadjib (Anak Asuh Bernama Indonesia)
“
Mereka membela apa yang mereka anggap menjadi haknya tanpa mengindahkan maut. Semua orang, sampai pun kanak-kanak! Mereka kalah, tapi tetap melawan. Melawan, Minke, dengan segala kemampuan dan ketakmampuan.
”
”
Pramoedya Ananta Toer (Bumi Manusia)
“
Karena sudah demikian mestinya hidup itu, habis kesulitan yang satu akan menimpa pula kesulitan yang lain. Kita hanya beristirahat buat sementara guna mengumpulkan kekuatan untuk menempuh perjuangan yang baru dan mengatasinya. Sebab itulah maka tak usah kita menangis diwaktu mendaki, sebab di bau pucak perhentian pendakian itu telah menunggu daerah yang menurun. Hanya satu yang akan kita jaga di sana, yaitu kuatkan kaki, supaya jangan tergelincir. Dan tak usah kita tertawa di waktu menurun, karena kelak kita akan menempuh pendakian pula, yang biasanya lebih tinggi dan menggoyahkan lutut dari pada pendakian yang dahulu. Dan barulah kelak di akhir sekali, akan berhenti pendakian dan penurunan itu, di satu sawang luas terbentang, bernama maut.
Di sana akan bertemu alam datar, tak berpendakian, tak berpenurunan lagi.
”
”
Hamka (Merantau ke Deli)
“
Revolusi, dia adalah guru. Dia adalah penderitaan. Tetapi dia pun adalah harapan. Jangan khianati revolusi! Kembali ia pandangi dua orang tua itu, yang mungkin beberapa tahun lagi tewas digulung maut. Namun mereka meletakkan harapannya pada revolusi. Betapa mereka mengagumi lembaran uang, perwujudan revolusi.
”
”
Pramoedya Ananta Toer (Larasati)
“
Aku selalu ingat juga
pada daun kering,
hidup ini tidak panjang
bagai sependek ranting,
dan aku akan mati.
(Tiada Suatu Yang Kecil)
”
”
Rosli K. Matari (Tidakkah Kita Berada Di Sana?)
“
usia cepat pergi, hilang seperti bayang
meninggalkan kenangan, sayup-sayup di belakang.
(Tangga dan Keladi)
”
”
Rosli K. Matari (Anak Dusun)
“
Sekian lama,
aku sering lupa pada
jalan yang tidak akan berkelok,
tidak akan bersimpang lagi,
Terus lurus ke kubur,
di sanalah aku akan berhenti.
(Ke Mana Aku Akan Pergi)
”
”
Rosli K. Matari (Matahari Itu Jauh)
“
Mereka membela apa yang menjadi haknya tanpa mengindahkan maut.
”
”
Pramoedya Ananta Toer (Bumi Manusia)
“
Orang baru dewasa bila sudah mengalami salah seorang yang dicintainya direnggut maut, begitu kala itu kakek menghiburku.
”
”
Y.B. Mangunwijaya
“
Alangkah anehnya perasaan kita! Kita merasa begitu mencintai hidup pada saat-saat kita terancam bahaya maut!
”
”
Mary Wollstonecraft Shelley (Frankenstein)
“
Kawan-kawan semua, dimasa yang akan datang tidak boleh lagi ada kegelapan, tidak juga desingan peluru. tidak ada lagi kebodohan yang begitu keji atau pertimpahan darah. Karena tak ada lagi setan, maka tak akan ada lagi malaikat. Di masa depan tidak boleh ada lagi manusia membantai sesamanya, bumi akan menjadi terang, umat manusia akan saling mencinta. akan tiba suatu hari ketika semuanya terasa damai, harmonis, terang benderang, menggembirakan dan begitu hidup. Hari itu akan datang dan itulah sebabnya mengapa kita akan menyongsong maut.
”
”
Victor Hugo (Les Misérables)
“
sekali-sekali
ibu dilambung bimbang, menatap anaknya bagai
ranting kering. ia sedar kini maut menyelinap
ke dalam kamar dan menetap di antara gelas-
gelas air. lalu berkata ibu: tak lama lagi
kau duduk di sini.
”
”
T. Alias Taib (Seberkas Kunci)
“
Went people die they won't suffer anymore" itu penggalan kalimat yang diucapkan Scott padaku. Entah kapan ia mengucapkan hal itu aku tidak mampu mengingatnya. Aku kira bukan waktunya yang penting, melainkan apa maksud dibalik kalimat yang ia ucapkan. Aku juga lupa, apakah ia mengucapkan kalimat itu dalam diri Jim saat jantungnya terhenti ketika ia tengah berendam di dalam bathtube di apartemennya di Paris? Atau mungkin pula ketika ia masih bercokol dalam tubuh Dwi Retno saat ia mulai mengiris pergelangan tangannya sendiri dengan sebilah silet. Atau barangkali saja, saat ia tengah bergelut dengan sakratul maut dalam tubuh Ruh. Tentang bagaimana aku mengingatnya masih serupa khayalan atau mimpi yang bercampur aduk dengan rupa rupa realitas.
Tapi yang jelas, ada begitu banyak momen di mana aku berasa begitu dekat dengan kematian. Kematian bapak, lalu kematian ibuk dan kemudian kematian Ruh. Kematian itu sendiri mungkin saja telah mengakhiri semua penderitaan mereka di dunia ini, tapi yang jelas bukanlah penderitaanku. Betapa selama ini aku tenggelam dalam sebuah keyakinan, bahwa penderitaan manusia yang terbesar adalah karena kemelekatan mereka pada dunia ini. Dan keberadaan Scott dalam hidupku sungguh sungguh menegaskan segala hal itu. Mulai dari gambaran yang ia lihat dalam momen kematian seorang Indian yang mengalami kecelakaan di sebuah jalan berdebu di gurun Minessota. Lalu bersambung dengan momen saat Dwi Retno mencoba mengakhiri hidupnya sendiri dengan silet dan memuncak dalam detik detik ketika maut menjemput Ruh.
”
”
Titon Rahmawan
“
Ya, mengapa kita ini harus mati seorang diri? Lahir seirang diri pula? Dan mengapa kita ini harus hidup di satu dunia yang banyak manusianya? Dan kalau kita sudah manusia, dan orang itu pun mencintai kita. Seperti mendiang kawan kita itu misalnya–mengapa kemudian kita harus bercerai-cerai dalam maut. Seorang. Seorang. Seorang. Dan seorang lagi lahir. Seorang lagi. Seorang lagi. Mengapa orang ini tak ramai-ramai lahir dan ramai-ramai mati? Aku ingin dunia ini seperti Pasarmalam.
”
”
Pramoedya Ananta Toer (Bukan Pasar Malam)
“
Kenyataan itu membuatku semakin menyadari, betapa seringkali hidup menjadi begitu sia sia hanya karena kita tak mampu lagi memaknai arti dari kehidupan itu sendiri. Mengapa bagi sebagian besar orang maut menjadi terasa begitu menakutkan? Mengapa maut begitu menggigit? Sebagaimana bunyi petikan puisi Chairil: Sepi, yang tambah ini menanti jadi mencekik, memberat mencekung punda, sampai binasa segala* (Chairil Anwar - Yang Terampas Dan Yang Putus).
Maut menjadi sangat menakutkan karena seolah dia akan menjadi batas dari apa yang fana dan apa yang abadi. Sebuah ruang di balik pintu rahasia yang tidak pernah kita ketahui. Apa yang tersembunyi di balik pintu yang penuh misteri itu? Apakah penderitaan kita akan berlanjut? Ataukah penderitaan itu akan berakhir dengan kebahagiaan? Apakah keberadaan kita selanjutnya dapat kita rasakan kembali sebagai sesuatu yang nyata atau bahkan sebaliknya menjadi semakin kabur? Sekabur khayalan dan juga mimpi. Bagaimana kita bisa mendasarkan penilaian kita pada sebuah prekognisi? Pada kondisi yang tidak kita kenal atau tidak kita ketahui. Hanya mungkin berdasar asumsi, prediksi, ramalan, nubuat, atau gambaran gambaran yang berada di luar pemahaman kemampuan inderawi kamanusiaan kita yang terbatas.
”
”
Titon Rahmawan
“
Lady Harris's Fool is a cornucopia of sacred images, many of which reveal themselves only after long meditation (and the aid of a magnifying glass). He bursts into midair of existence from behind three swirling rings that issue from and return to his heart. These are the three veils of negativity (Ain, Ain Soph, and Ain Soph Aur)23 that Qabalists teach gave birth to the singularity of creation. His satchel is filled with the entire universe in the form of planetary and zodiacal coins. The Fool is the Holy Spirit itself. The dove, symbol of the Holy Spirit; the butterfly, symbol of transformation; winged globe, symbol of Mercurial air; and the Egyptian vulture-goddess Mauf24 pour from the Holy Grail in the Fool's right hand. Like the Virgin Mary, Maut became impregnated by the spirit (breath) of the wind. “The whole picture,” Crowley tells us, “is a glyph of the creative light.
”
”
Lon Milo DuQuette (Understanding Aleister Crowley's Thoth Tarot)
“
Call me Azrael. Também podem chamar-me outros nomes, como Malak-al-maut ou simplesmente Anjo da Morte, tanto me faz, vai bem com flores e para complicado já basta a minha atividade extremamente especializada e técnica, que consiste em retirar a alma do corpo, exercício que faço a todo o instante e em todos os lugares de todos os universos, mas cuja dificuldade, ó imensuráveis mortais, além da carga emocional envolvida, do nervosismo que não consigo evitar e do equilíbrio/absurdamente/ moralmente/esteticamente desequilibrado do universo, a dificuldade, dizia, reside na delicadeza necessária para separar algo que não pode ser separado, separar uma gota da água que a compõe, separar uma folha verde da sua cor, separar uma vela da sua luz, separar. Ó doces efémeros, pergunto-vos, como é que se retira a alma do corpo, sem qualquer contaminação, ela que está aninhada como um gatinho no colo de uma velha? É que separá-los é como separar o dia da noite. Onde é que está a linha divisória entre ambos, a linha precisa?Para que compreendam a natureza deste milagre, porque é disso que se trata, de um milagre, este consiste, atentai, em separar as palavras do seu significado. O que eu levo de mãos dadas para o lugar para onde vão os guarda-chuvas ( como eu chamo à casa de todos nós, à definitiva, desde que ouvi uma senhora a nomeá-la assim) é isso mesmo, significados. O mecanismo é atroz ao mesmo tempo que é admirável: primeiro a diérese, que é o corte dos tecidos que possibilita o acesso à região a ser operada, neste caso específico, a alma; depois, a exérese, que é o retirar da alma; e, por fim, a síntese, que é fechar os tecidos e deixar o corpo tal como o encontramos, sem qualquer trauma evidente, pois o meu trabalho é imaculado.
”
”
Afonso Cruz (Para Onde Vão Os Guarda-Chuvas)
“
Maut aur tatti kabhi bhi aa sakti hai,’ said Javed, my guide on the Kolahoi glacier trek in Kashmir, as he quickly ran behind a rock.
”
”
Rujuta Diwekar (Don't Lose Out, Work Out!)
“
When people die they won't suffer anymore" itu penggalan kalimat yang diucapkan Scott padaku. Entah kapan ia mengucapkan hal itu aku tidak mampu mengingatnya. Aku kira bukan waktunya yang penting, melainkan apa maksud di balik kalimat yang ia ucapkan. Aku juga lupa, apakah ia mengucapkan kalimat itu dalam diri Jim saat jantungnya terhenti ketika ia tengah berendam di dalam bathtube di apartemennya di Paris? Atau mungkin pula ketika ia masih bercokol dalam tubuh Dwi Retno saat ia mulai mengiris pergelangan tangannya sendiri dengan sebilah silet. Atau barangkali saja, saat ia tengah bergelut dengan sakratul maut dalam tubuh Ruh. Tentang bagaimana aku mengingatnya masih serupa khayalan atau mimpi yang bercampur aduk dengan rupa rupa realitas.
Tapi yang jelas, ada begitu banyak momen di mana aku berasa begitu dekat dengan kematian. Kematian bapak, lalu kematian ibu dan kemudian kematian Ruh. Kematian itu sendiri mungkin saja telah mengakhiri semua penderitaan mereka di dunia ini, tapi yang jelas bukanlah penderitaanku. Betapa selama ini aku tenggelam dalam sebuah keyakinan, bahwa penderitaan manusia yang terbesar adalah karena kemelekatan mereka pada dunia ini. Dan keberadaan Scott dalam hidupku sungguh sungguh menegaskan segala hal itu. Mulai dari gambaran yang ia lihat dalam momen kematian seorang Indian yang mengalami kecelakaan di sebuah jalan berdebu di gurun Minessota. Lalu bersambung dengan momen saat Dwi Retno mencoba mengakhiri hidupnya sendiri dengan silet dan memuncak dalam detik detik ketika maut menjemput Ruh.
”
”
Titon Rahmawan
“
Maut tu garib ke ghar to jaldi aaya kar
Kafan ke paise bhi khatam ho jate hai dawai
kharidate kharidate
”
”
Pankaj Dubey
“
Dia termenung mengingat untungnya, yang hanya mengecap lazat cinta laksana bayang-bayang dalam mimpi.
Tetapi cinta suci bersedia menempuh kurban, bersedia hilang, kalau hilang itu untuk kemaslahatan kecintaan, bersedia menempuh maut pun, kalau maut itu perlu.
Karena bagi cinta yang murni, tertinggal jauh di belakang pertemuan jasmani dengan jasmani, terlupa pergabungan badan dan badan, hanyalah keikhlasan dan kesucian jiwa yang diharapnya.
”
”
Hamka (Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck)
“
Seperti halaman pembuka buku yang berulang kali kita baca, apakah bagimu hidup sungguh-sungguh berasa hampa? Seperti langkah yang tak memiliki jejak kaki, seberapa centang-perenang dunia yang kita tinggali?
Meskipun ada banyak hal yang jauh lebih penting dari tragedi Yunani. Sudah beberapa waktu orang tak lagi mengenal Dionisos. Kita tak selalu larut dalam pesta anggur kegilaan, ritual pemujaan jiwa atau tenggelam dalam percakapan filosofis antara hidup dan mati.
Persahabatan kita adalah timbunan lumpur sepanjang pematang sawah, yuyu gembur yang merayap di selokan, merah hitam biji saga, permainan bola di tengah derasnya hujan atau aliran sungai keruh tempat di mana kita berenang sambil bersenang-senang.
Namun setelah persimpangan jalan itu, kita tak lagi melihat dunia dari mata Hamlet atau Macbeth. Nyatanya, itu adalah suratan nasib yang menyatukan dan sekaligus memisahkan jarak di antara kita berdua.
Kita telah mengarungi perjalanan waktu dalam sebuah rangkaian cerita dan sekumpulan nama-nama; Dari Agatha Cristhie hingga O. Henry, dari Shakespeare hingga Hemingway, dari Tolstoy hingga Dostoevsky, dari Kawabata hingga Murakami, dari Sartre hingga Derrida.
Waktu meluber dalam kemabukan kata-kata. Engkau yang tak henti membuatku merenung, sementara aku cuma bisa memaksamu tertawa. Begitulah kita lewatkan hari-hari demi membunuh sepi. Sampai kemudian, seperti sepasang kekasih - ajal memisahkan.
Kalaupun sungguh, hidup adalah sebuah tragedi. Aku tak tahu mengapa engkau mesti mengakhiri hidupmu dengan cara seperti ini? Kelabu asap knalpot itu berasa menyesakkan dada. Cekikan tangan kematian yang akan terus menghantui pikiranku bertahun-tahun lamanya.
Kepastian takdir yang mempertemukan. Takdir pula yang menceraikan. Adakah engkau lebih mencintai maut daripada kehidupan? Adakah engkau telah menemukan kebahagiaan yang engkau cari?
”
”
Titon Rahmawan
“
Apakah aku akan melupakanmu, sebelum tuntas engkau memata-matai rembulan? Betapa sulitnya menyusun kata-kata untuk menggambarkan dirimu yang sebenarnya.
Bila hidup adalah mimpi, maka kantuk adalah hantu yang bergentayangan. Seberapa lama kita sanggup bertahan dari godaannya?
Padang itu seperti laut pasang, kapal-kapal saling menjauh. Bintang-bintang berjatuhan dari pusat edarnya. Aku tak pernah melihat malam sekejam dan sekelam itu.
Ilalang setinggi perut mengaburkan bayang kematian yang datang menjemput. Apa yang lebih menakutkan dari kehilangan cinta? Di mana dapat kutemukan cinta, di tengah lanskap sesunyi ini?
Kau masuk ke rumah tak berpenghuni, memecahkan kaca jendela seperti pencuri. Menebarkan ruap beracun ke mana-mana, di atas meja, di dalam almari, di balik selimut di malam hari. Membiarkannya menguap menunggu pagi. Bagaimana kematian mengelabui dirimu sekali lagi?
Tak ada biara, tak ada huma di atas perbukitan itu. Bahkan pekuburan yang dulu engkau kenali di mana jasad kekasihmu disemayamkan telah tak ada lagi.
Tinggal onggokan daun-daun kering, rumput yang lebih tinggi dari kepalamu dan mayat saudara perempuanmu yang mati tercekik tinggal tulang belulang.
Bocah kecil yang kau besarkan sendiri dengan sepenuh hati, hilang direnggut maut. Tapi benarkah, realitas tak lebih dari ilusi. Dan fatamorgana adalah nafas hidup kita sehari-hari.
Tak kita temukan kebenaran di jalan menuju pulang. Karena pada akhirnya, kita hanyalah obyek dari kedunguan dan kebebalan diri sendiri.
”
”
Titon Rahmawan
“
Sambil berbalik, ia menitikkan setetes air mata bagi provinsinya, lalu tiba-tiba memacu kudanya. "Maut! Aku takkan mencemarkan nama Yang Mulia Shingen!"
Suaranya tenggelam dalam lautan musuh.
(Jendral Baba Nobufusa)
”
”
Eiji Yoshikawa
“
Menguraikan misteri ibarat mencari sebuah ruang dalam gedung kuno yang mahabesar. Gedung kuno yang sisa-sisa kemegahannya masih tampak, tanpa pemilik, dan ada sebuah ruang di dalamnya yang konon digunakan untuk menyimpan berbagai jejak kehidupan yang dijemput maut: pedang, pistol, tali tambang untuk gantung diri, tengkorak dan tulang-belulang, juga bau anyir darah. Begitu banyak ruang di gedung itu, tapi kunci-kuncinya berhamburan, bahkan ada yang hilang. Ia tak tahu ruang mana yang harus dibuka, bahkan tak tahu di mana akan menemukan kunci untuk membuka ruang yang tepat.
”
”
Sidik Nugroho
“
Daripada sawang, terbiar
aku belajar mengerti
hidup ini berakhir
di hujung sepi.
(Tiada Suatu Yang Kecil)
”
”
Rosli K. Matari (Tidakkah Kita Berada Di Sana?)
“
Aduh maut. Kenapa kamu disebut kebengisan, kamu yang membebaskan manusia dari hidup yang kejam. Ni akan mengikuti dengan penuh rasa terimakasih dan kegembiraan.
”
”
Sulastin Sutrisno (Surat-Surat Kartini: Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya)
“
Zindagi aur maut uparwale ke haath hai, jahanpanah. Hum sab toh rangmanch ki kathputliyan hain jinki dor uparwale ki ungliyon main bandhi hai. Kab kaun kaise uthega yeh koi nahin bata sakta.
”
”
Anupama Chopra (100 Films to See before You Die)
“
Muhabbat jissey baksh de zindagani,
Nahi maut per khatam uski kahaani.
”
”
Quadri & Kamal (Anwar: the movie)
“
maut se kyuu.n itnii vahshat jaan kyuu.n itnii aziiz
maut aane ke liye hai jaan jaane ke liye
(The poet wonders at why man has a fear of death and why he holds life so dear. The plain truth is that death will definitely come and life will definitely go.)
”
”
Random Quote Sunil K
“
Maut tak perlu ditantang, bila waktunya datang ia pasti menang.
”
”
Yusi Avianto Pareanom (Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi)
“
Ia merasa dirinya sebagai raja yang ingin menaklukkan nafsunya sendiri. Menelisik setiap susunan bidak bidak yang berdiri di hadapannya. Algoritma rumit yang menimbang setiap langkah yang terlintas dalam benak seorang Grandmaster. Adakah sebuah varian istimewa yang bisa mewakili siasat yang ingin ia mainkan? Menentukan strategi pembukaan yang akan memastikan sebuah kemenangan berada di dalam genggaman tangannya. Menetapkan langkah, apakah ia mesti maju menyerang atau justru mundur bertahan?
Pertaruhan martabat memaksanya berpikir keras, kemana pion pion hitam itu harus beranjak? Demi menegakkan wibawa yang menyerupai sebuah batu penjuru. Hasrat yang menunggu pintu gerbang terbuka untuk membuka jalan menuju kastilnya sendiri. Istana nan megah dengan halaman luas berupa taman yang tertata indah persis seperti di dalam mimpi Raja Nushirvan.
Demikianlah ia melihat Xiangqi terlahir di China, berkelana ke India sebagai Chaturanga dan lalu hijrah ke Persia sebagai Shatranj. Petak petak hitam putih di atas papan yang kemudian menjelma menjadi lingkaran ouroboros. Bala tentara Maharaja Gupta mulai bergerak serentak melewati setiap tatahan batu dan undak undakan tangga melewati lebih dari lima belas abad perjalanan waktu yang tak tahu kapan bakal berhenti.
Ialah titisan Sang Chandragupta, memberi aba aba kepada segenap prajuritnya dengan suara lantang. Langkah kakinya tegap dan mantap. Walau tidak seperti dulu, ia masih sanggup tegak berdiri, melihat dirinya sendiri di dalam pantulan cermin. Anggun dan memesona seperti seekor kuda bangsawan. Elok seperti Akhal Teke dan rupawan bagai Friesian. Dengan tubuh yang liat, kaki yang kuat, mata yang ekspresif dengan lengan berotot dan kejantanan yang tak ingin ia sembunyikan di balik benteng pikiran seekor gajah yang keras kepala dan keangkuhan hati seorang menteri yang bersikeras ingin diakui.
Itulah sebab mengapa ia tak akan pernah mengibarkan bendera putih. Walau ia tahu, setiap langkah punya arti untuk menang atau ditaklukkan. Ia tak akan menyerah tanpa melakukan perlawanan. Pada sisa waktu yang berdetak kian lambat dan perlahan memojokkan dirinya hingga sudut terjauh dari pertahanan papan caturnya sendiri.
Setiap petak hitam putih adalah pertaruhan antara hidup dan mati. Jengkal tanah yang mesti ia bela mati matian. Sepenuhnya tahu, di atas permukaan papan yang seakan tenang dan hening itu, ada pertempuran dahsyat dan berdarah darah. Perang yang telanjur mengubur semua ingatan atas waktu yang seolah tak pernah berubah.
Masih seperti dulu. Waktu yang masih bisa menertawakan kenaifannya akan dunia. Waktu yang mengajarkannya memahami absurditas hidup. Waktu yang secara ironis justru ingin menghancurkannya. Memaksa ia mencermati setiap langkah melewati jebakan tarian tango sang ratu yang akan mengantarkannya menjemput ajal. Maut yang setia mengintai di setiap sudut dan tak akan pernah berhenti memaksanya untuk menyerah.
”
”
Titon Rahmawan
सुरेन्द्र मोहन पाठक (Maut Ka Farmaan (Vimal Book 7) (Hindi Edition))
“
इससे ज्यादा गर्म ड्रिंक्स के शौकीन हो” - वह शरारतभरे स्वर में बोली - “तो तुम्हें शेखावत साहब के आने तक इन्तजार करना पड़ेगा ।” “जी नहीं ।” - मैं बोला - “इस वक्त यही ठीक है । मुझे इतनी ज्यादा गर्म चीजों का शौक नहीं कि मुंह ही जल जाये और” - मैं एक क्षण ठिठका और बोला - “कलेजा भी ।” वह हंसी । मैंने कॉफी का कप उठाया और बड़े अर्थपूर्ण ढंग से उसे देखता हुआ बोला -
”
”
सुरेन्द्र मोहन पाठक (Maut Ka Farmaan (Vimal Book 7) (Hindi Edition))
“
Matahari dan Bulan
Ketika aku berusaha menjadi orang yang luar biasa bagimu, tak kusangka bahwa itu bukanlah hal yang engkau mau. Selalu ada kata tak cukup untuk menjadi sempurna. Betapa susahnya untuk menjaga hati agar tak melukai, agar tidak pernah mengecewakan.
Sekalipun aku berupaya sepenuh hati menjagamu. Senantiasa berikhtiar, semoga aku bisa memahami apa yang engkau mau, selalu mengerti apa yang engkau inginkan. Walaupun aku sadar, bahwa meminta dan menuntut jauh lebih mudah daripada berkorban dan lebih banyak memberi perhatian.
Namun selama itu berangkat dari kemauan dan kehendak kita sendiri, maka tidak ada hal yang muskil atau mustahil untuk dilakukan. Bila sungguh kamu adalah takdirku dan aku adalah takdirmu, maka semoga kita selalu menemukan kebaikan dan keindahan dari kekurangan kita masing-masing.
Bahwa kekurangan bukanlah bentuk kesengajaan demi mengasihani diri sendiri atau alasan pembenaran ego pribadi, melainkan harus jadi semangat menumbuhkan keinginan untuk memperbaiki diri. Baru dari situlah aku belajar, bahwa pada akhirnya hidup menghendaki agar kita menjadi orang yang biasa-biasa saja. Untuk tidak pernah berpura-pura menjadi orang lain selain dari diri sendiri.
Bagaimana kita menjadikan segala sesuatu yang sederhana menjadi istimewa. Kesulitan dan tantangan yang kita hadapi berubah menjadi indah manakala kita berdua mampu mengatasinya. Aku merasakan apa yang engkau rasakan. Engkau memikirkan apa yang aku pikirkan.
Dan kita menyatukan hati menjalani hal-hal yang sederhana setiap hari. Lewat puisi dan catatan yang kita buat, buku-buku yang kita baca, makanan yang kita santap, musik yang kita dengar, film yang kita tonton, perjalanan dan petualangan yang kita lalui. Semuanya menjadi realitas yang menyenangkan, karena kita tak pernah lupa membubuhkan kata "kita" dalam setiap momen kebersamaan itu. Selalu ada kamu dan aku di situ.
Apa yang engkau sukai akan menjadi kesukaanku juga Apa yang engkau benci menjadi kebencianku pula. Aku yang orang rumahan menjadi gemar jalan-jalan gara-gara kamu. Dan kamu yang dulu tak doyan membaca jadi mencintai sastra karena diriku. Begitulah bagaimana kita menerjemahkan kesederhanaan itu dan mengubahnya jadi istimewa.
Ijinkan aku jadi matahari penerang hari-harimu dan engkau jadi rembulan penghias malam-malamku. Kita hadir bukan untuk saling meniadakan, melainkan justru untuk saling melengkapi. Aku ada untuk dirimu dan engkau ada untuk diriku. Kita berusaha saling membahagiakan dan selamanya mencintai sampai maut memisahkan.
”
”
Titon Rahmawan
“
Dari “Di Hadapan Babylon” pun kita belajar bahwa maut tak selalu datang dengan sabit berkilat dan jubah hitam yang kerap menyembunyikan muka. Maut bisa saja datang dengan berondongan timah panas, tendangan sepatu lars, pucuk bayonet, pisau belati, atau anggaran subsidi beras miskin yang mesti dipangkas demi pembelanjaan Alutsista yang lebih mutakhir.
”
”
Fajar Nugraha (C-45 Demi Masa, Kapsul Waktu, dan Nostalgia Radikal)
“
Dibuka pintu langit
cukup luas rahmat Dia.
Dibuka pintu tanah
sekadar muat jasad engkau.
”
”
Darma Mohammad (Langit Membuka Lipatan)
“
SAD SHAYARI
taras aata hai mujhe masoon si palkho par
jab bheeg kar kahti hai ke ab aur roya nahi jata
aye hawa unse kahde kabhar meri maut ki
aur son kahena ki kafan ki khuwaish mein meri laash
unke aanchal ka intezaar kar rahi hai
SAD SHAYRI
Yeh Tuɱ Se keh Diya kis Ne,
ke Baazi Haar Baithay Huɱ!
Abhi Tuɱ Pay Lutanay ko
Humari Jaan Baqi Hai.
SAD SHAYARI
Usse yeh weham hai ke ɱai usse chor na paaungi
Huɱe ye khauf hai ke r๏yega azɱa ke mujhe !!
Jise Tum Sacche Dil Se Pyar Karo Use
Kabhi Mat Aazmana…!
Kyo Ki
Agar Woh Gunehgar Bhi Hua
Toh Dil Tumhara Hi Tutega
”
”
Hinsmeer.blogspot.com
“
Dengan pindah rumah dapat dimisalkan dari alam sempit, kandungan ibu, menangis ketika lahir. Padahal lama di dunia, kita pun betah tinggal di sini. Demikian pula pindah dari dunia ke akhirat, melalui maut. Yang gulut hanyalah di hari kita pindah itu. Dan hari pindah itu tidaklah lama.
”
”
Hamka (Tasauf Modern)
“
Maut adalah akhir dari hidup. Maut adalah akhir perjuangan mencari kebebasan - kebebasan yang membawa kebahagiaan. Sekalipun kebebasan itu kebebasan yang getir.
”
”
Gerson Poyk (Perempuan dan Anak-anaknya)
“
Sang malaikat maut adalah juga sang pengampun.
”
”
Mike Carey (The Steel Seraglio)