“
terhempas, takluk, digerus dingin angin, suara
truk, debu menyelip di mataku betapa dancuk
hidup ini! betapa dancuk lonte yang setengah
mati kukasihi dan menusukku dari belakang!
betapa dancuk Tuhan! bergetar, mabuk
bayang-bayang, tuak kegelapan, mabuk
keramaian yang kubenci, mengambang,
tersesat, terhisap angin, luka menganga, nanah
tembaga meleleh dari lutut Apolo emas yang
dipenggal sebelum perang meledak; sulap
kata-kata Homer dengan mata piceknya.
terkutuklah bayangan, pohon-pohon meronta
karena tak ada satu pun cuaca baik
menawarkan minuman dari langit. aku biarkan
itu semua menyalipku, dalam metafora, mata
binatang, bibir lebar mirip kemaluan wanita
sombong yang merasa imannya takkan
tumbang meski dijejali kata-kata jorok nan
mesum. bergerak, tenggelam, sinar patah di
lingkar air dalam gelas mineral yang kokoh
dan kau bilang air abadi dan kau bilang api
bisa mati sendiri terkutuklah engkau yang
menelan masa laluku dan menghibahkan
kehancuran ini lobang nganga di dadaku. oh,
kau yang memuntahkan abu tulangku, yang
akan tetap kuingat meski Tuhan atau apapun
itu menyeretku ke neraka omong kosong di
alam kubur dan bertanya bagaimana imanku
sebenarnya. oh, terkutuklah engkau!
”
”