“
IKATAN DUA KELANA: HANG TUAH — HANG JEBAT
Fragmen I — Dermaga: Air, Darah, Dua Takdir
Di dermaga, papan lapuk menulis namanya dengan butiran garam,
mengubur sumpah dan huruf-huruf usang yang dikenang para pelaut.
Pandangan membeku: tali yang memeluk tiang, bekas sol sepatu, puing janji hampa di bibir kayu.
Ada dua tubuh di sini, tegak di perbatasan air dan darat:
satu mengikat layar ke Takdir Raja,
satu menengadah ke Laut Lepas—
mereka berbicara tanpa suara;
kata-kata hanyalah air asin yang membakar di ujung kuku.
“Apakah engkau Sahabat Sejati?” tanya yang satu, dari cengkeraman dermaga.
“Apakah engkau Pengkhianat Busuk?” jawab yang lain, dari balik gelombang amarah.
Mereka adalah dua nama yang terukir pada satu tulang rusuk Adam; Tuah dan Jebat,
dua bayangan kosmik yang saling menunggu ditelan arus fatalitas.
Fragmen II — Pasar & Laut: Jejak Rempah, Harga Nyawa
Pasar bernafas di bawah langit emas perdagangan dan debu rempah—
adas, kayu manis, cengkih, lada: urat nadi Malaka diikat kecil dengan tali kasar.
Pedagang menulis perjanjian darah di atas daun lontar;
nama Sultan tertanda dengan Cap Bintang Tujuh yang mengontrol pelayaran nasib.
Di antara gerimis untung dan rugi, Suara Undang-Undang Laut merendah kejam:
“Setiap layar memberi urusan upeti, tiap sumpah memiliki harga diri.”
Jebat menyentuh peta—garis jalur, titik-titik pelabuhan yang seperti luka yang menganga.
Tuah memandang Merchant Asing yang menawar masa depan kedaulatan negeri.
Lautan modal menelan kata-kata mereka hingga retak,
kembali meludahkan jejak-jejak yang jadi alasan mutlak istana bergerak.
Fragmen III — Istana Retak: Norma, Nadi, Kematian Batin
Di dalam istana, kain Songket berwarna darah pagi,
pedang berbisik di kamar yang dindingnya bergetar oleh perintah dingin.
Sumpah bukan dikalungkan, tapi dijeratkan di leher seperti tali gantungan.
“Kesetiaan adalah batu nisan nurani,” ujar ruang itu, suara tanpa wajah.
“Keberanian adalah pengkhianatan yang tak suci,” balas udara yang bergetar.
Tuah menekan telapak pada Taming Sari—
sebuah benda yang tidak hanya terbuat dari besi, tapi dari kewajiban mutlak Sang Raja.
Jebat melihat wajah rakyat yang menahan napas di bawah bayang-bayang tiang hukuman istana.
Dan ketika keris menuntun Tuah pada nadi sahabatnya,
bukan hanya daging yang pecah di lantai marmer:
yang terburai adalah perjanjian panjang antara kedaulatan tiran dan martabat manusia.
Fragmen IV — Kabut Ledang & Hening Penghakiman
Kabut Ledang bukan embun, ia adalah air mata sejarah yang menutup mata kota.
Hanya dingin yang mengingatkan bahwa sesuatu yang besar telah mati.
Di antara kabut, dua wajah menyatu di pantulan air—pasang aurut takdir yang sama, namun dua mata yang berlumur darah.
Tuhan—jika ada—adalah Kilasan Sunyi di sela-sela kabut,
bukan penghakim, tapi Saksi Agung yang memilih Bisu Abadi.
Tuah dan Jebat berdiri, tubuh mereka saling menghantui seperti dua kapal terkutuk yang saling bertabrakan di laut malam.
Tidak ada Kemenangan Layak, tidak ada Pengampunan Utuh.
Hanya Arus Besar: sejarah yang memuntahkan segala yang ditelannya.
Kita—penonton, penggugat, penimbang—menyaksikan bagaimana manusia sejati berdiri
ketika semua sumpah Telah dinyatakan hampa.
Di akhir pertempuran, Laut menelan kata “Benar” dan “Salah” dengan tenang.
Yang tersisa hanyalah nama—berulang, retak, dan dingin—sebuah perintah:
“Bangunlah! Engkau boleh memilih untuk tak lagi menjadi bayangan.
Jadilah Cahaya yang menerangi segalanya!”
Desember 2025
”
”