Lagu Quotes

We've searched our database for all the quotes and captions related to Lagu. Here they are! All 70 of them:

Ada yang percaya bahwa di dalam hujan terdapat lagu yang hanya bisa didengar oleh mereka yang rindu sesuatu. Senandung rindu yang bisa meresonansi ingatan masa lalu.
Yoana Dianika (Hujan Punya Cerita tentang Kita)
Lagu-lagu yang ada dalam iPod seseorang itu mengungkapkan banyak hal tentang seseorang; hal-hal yang dia pikirkan, apa yang membuatnya sedih, dan apa yang membuatnya bahagia. Benda itu diisi dengan lagu-lagu yang mewakili perasaan-perasaan itu dalam hidupnya. It’s their soundtrack, the story of their lives.
Winna Efendi (Melbourne: Rewind)
Begini cara kerja sesuatu yang engkau sebut cinta; Engkau bertemu seseorang lalu perlahan-lahan merasa nyaman berada di sekitarnya. Jika dia dekat, engkau akan merasa utuh dan terbelah ketika dia menjauh. Keindahan adalah ketika engkau merasa ia memerhatikanmu tanpa engkau tahu. Sewaktu kemenyerahan itu meringkusmu, mendengar namanya disebut pun menggigilkan akalmu. Engkau mulai tersenyum dan menangis tanpa mau disebut gila. Berhati-hatilah…. Kelak, hidup adalah ketika engkau menjalani hari-hari dengan optimisme. Melakukan hal-hal hebat. Menikmati kebersamaan dengan orang-orang baru. Tergelak dan gembira, membuat semua orang berpikir hidupmu telah sempurna. Sementara, pada jeda yang engkau buat bisu, sewaktu langit meriah oleh benda-benda yang berpijar, ketika sebuah lagu menyeretmu ke masa lalu, wajahnya memenuhi setiap sudutmu. Bahkan, langit membentuk auranya. Udara bergerak mendesaukan suaranya. Bulan melengkungkan senyumnya. Bersiaplah… Engkau akan mulai merengek kepada Tuhan. Meminta sesuatu yang mungkin itu telah haram bagimu.
Tasaro G.K.
Cukup mudah untuk bersikap menyenangkan, kalau hidup mengalir seperti lagu, Tapi orang yang hebat ialah yang bisa tersenyum, saat semua berantakan. Sebab ujian bagi hati adalah kesulitan. Dan kesulitan selalu datang setiap waktu. Dan senyuman yang layak disanjung dunia adalah senyuman yang bersinar menembusi air mata.
Ella Wheeler Wilcox
Apa yang harus kuseru jika lidah tertikam sepi yang enggan beranjak, kecuali mengadu pada lamunan "nadaku sumbang, suaraku pincang. Ini bukan lagu yang kumau.
Lan Fang (Perempuan Kembang Jepun)
Waktu itu, aku juga merasa sudah sangat mengenalmu. Aku yakin kita pasti sudah bertemu, sangat yakin. Hanya saja aku lupa kapan dan dimana pertemuan itu terjadi. Barangkali di sajak-sajak penyair yang tak pernah selesai, atau di halaman belakang sebuah roman yang berakhir tak bahagia,atau di dalam lirik-lirik lagu yang mendentingkan sunyi di telinga, atau di alun nada musik semesta yang kudengar semasa masih di rahim ibu. Entahlah.
Khrisna Pabichara (Sepatu Dahlan)
Berjaga malam kerana mencari ilmu lebih nikmat bagiku daripada kekayaan ....Suara goresan pena di atas kertasku lebih merdu daripada alunan lagu kesamaran, lebih indah daripada tabuhan rebana remaja puteri, sedangkan lembaran tulisanku menebarkan butiran pasir hikmah... -Az-Zamakhsyari
عائض القرني (Lā Tahzan: Jangan Bersedih!)
Lagu kebangsaan pastilah bukan semacam sistem demokrasi yang bisa didatangkan dari luar dan harus bisa dipakai oleh seluruh daerah yang tanpa sejarah demokrasi, karena lagu kebangsaan bukan demokrasi yang rasional dan bisa dicapai dengan pembelajaran. Lagu kebangsaan adalah urusan emosional.
Sujiwo Tejo (Ngawur Karena Benar)
Saatnya angin berbau asin datang dari laut. Hari ini, aku akan bermain gekkin untukmu. Suara denting senar melebur bersama udara, meresap dalam panca indera. Terlihat seperti wewangian apakah nada-nada ini... Dengan terlahirnya lagu ini, keberadaanmu mendapatkan makna baru. Kalau bersedia, bernyanyilah bersamaku. Masih ada waktu sebelum gelap. Waktu yang paling indah.
Hitoshi Ashinano (ヨコハマ買い出し紀行 4 [Yokohama Kaidashi Kikou 4])
Adalah revolusionar bagi perempuan untuk menyanyikan kepedihan, tapi lebih lagi bila ia menyanyikan seluruh lagu kehidupan
Gloria Steinem
What's the use of a lague of nations if it's to be dominated by Great Britain and her colonies?" said Mr. Rasmussen sourly. "But don't you think any kind of a league's better than nothing?" said Eveline. "It's not the name you give things, it's who's getting theirs underneath that counts," said Robbins. "That's a very cynical remark," said the California woman. "This isn't any time to be cynical." "This is a time," said Robbins, "when if we weren't cynical we'd shoot ourselves.
John Dos Passos (1919 (U.S.A., #2))
Selalunya orang muda membuat keputusan yang tergesa-gesa. Mereka tidak berfikir panjang. Mereka suka membuat keputusan secara pop. Semuanya mahu membentuk pop. Mereka mahu lagu pop. Mereka mahu kahwin pop. Mereka mahu pakaian pop. Mereka bernyanyi lagu pop. Mereka makan kuih pop. Mereka bercerai pun cara pop.
Darma Mohammad (Merinci Ufuk)
Menjadi muda adalah suatu kelebihan. Tidak ada yang lebih tepat untuk menggerakkan emosi dan menginspirasi anak muda agar bangun dari tidur dan mulai bergerak meraih mimpi, selain dengan lagu bertempo cepat dengan koreografi yang sangat on point dalam MV "Dope" ini.
Lea Yunkicha (BTS X ARMY In the Love Maze)
Cinta yang dipenuhi tanda tanya akan membawa kita kepada lagu–lagu melankolis
Dian Nafi (Just in Love (Mayasmara, #5))
Hidup bukan sekadar potong-dan-tampal lirik lagu M. Nasir.
Taf Teh
...mereka menuduh Genjer-Genjer menjadi lagu 'lekra'. Padahal itu hanyalah makanan rakyat, hingga sekarang pun bisa kau dapatkan di pasar...
Ratih Kumala (Larutan Senja)
Mungkin iya, suatu hari aku mau jadi petani. Mencangkul sambil menyanyikan lagu-lagu AC/DC, kayaknya gagah sekali. Aku baca di koran, katanya pembangunan mal di Jakarta masuk rangking sepuluh besar di dunia, dan orang-orang bangga. Aku justru heran, sebenarnya itu kemajuan atau kemunduran, sih?
Sabda Armandio (Kamu: Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya)
Lagu-lagu yang ada dalam iPod seseorang itu mengungkapkan banyak hal tentang seseorang. hal-hal yang dia pikirkan, apa yang membuatnya sedih, dan apa yang membuatnya bahagia. Benda itu diisi dengan lagu-lagu yang mewakili perasaan-perasaan itu dalam hidupnya. It’s their soundtrack, the story of their lives
Winna Efendi - Melbourne Rewind
Cinta didapat dengan perjuangan,dipertahankan dengan perjuangan.selama proses itu,mungkin akan ada pertengkaran,teriakan satu sama lain,tangisan dan hati yang terluka,tetapi kemudian ketika mendapatkan kekuatan untuk berdiri lagi,mungkin kamu akan tahu,mengapa syair cinta,puisi cinta,lagu cinta atau cerita dibuat. A Perfect Love
Yuchita Erayani
Peran orang tua sangat diperlukan dalam mengarahkan impian, tapi tidak baik jika terus memaksakan hal yang tidak diinginkan anak.
Lea Yunkicha (BTS X ARMY In the Love Maze)
Ada kalanya dalam hidup, sejenak melupakan kepedihan dan habiskan waktu untuk bertingkah konyol, tertawa, serta lupakan sejenak berlaku "normal".
Lea Yunkicha (BTS X ARMY In the Love Maze)
Ketika BTS membagi rasa sakitnya dan ARMY mencurahkan problem serta cerita kesulitannya melalui surat, media sosial, atau Fancafe, lalu BTS membuatkan lagu, rasanya ARMY seperti memiliki seorang teman, kekasih, kakak, atau orang tua yang akan mereka dengarkan.
Lea Yunkicha (BTS X ARMY In the Love Maze)
7 ALASAN MENCELA DIRI Tujuh kali aku pernah mencela jiwaku, Pertama kali ketika aku melihatnya lemah padahal seharusnya ia bisa kuat Kedua kali ketika melihatnya berjalan terjongket-jongket, dihadapan orang yang lumpuh Ketiga kali ketika berhadapan dengan pilihan yang sulit dan mudah ia memilih yang mudah Keempat kalinya, ketika ia melakukan kesalahan dan coba menghibur diri dengan mengatakan bahwa semua orang juga melakukan kesalahan Kelima kali, ia menghindar karena takut, lalu mengatakannya sebagai sabar Keenam kali, ketika ia mengejek kepada seraut wajah buruk padahal ia tahu, bahwa wajah itu adalah salah satu topeng yang sering ia pakai Dan ketujuh, ketika ia menyanyikan lagu pujian dan menganggap itu sebagai suatu yang bermanfaat
Kahlil Gibran
setiap kedip matanya adalah lagu yang selalu aku dengarkan, tapi tak pernah bisa aku nyanyikan.
nom de plume
Sebuah lagu laksana mimpi, dan kita berusaha untuk membuatnya jadi kenyataan.
Bob Dylan (Chronicles, Volume One)
Budaya tidak pernah berakhir, selalu ada yang baru. Selalu ada bentuk kesenian yang baru, gerak tari, lagu, lukisan. Budaya adalah kisah tanpa akhir...
Maisie Junardy (Man's Defender (Distinguished Trilogy, #1))
Ketika muda, berusaha meraih mimpi itu tidak mudah. Terkadang jatuh dan melukai diri sendiri. Namun, jika kita terus berusaha, berlari, dan berpegang pada harapan, masa muda seolah tidak akan berakhir. Karena muda atau tidak, hanya perkara angka dan usia. Sepanjang kita masih punya mimpi dan terus berupaya mewujudkannya, percayalah bahwa kita akan tetap muda selamanya.
Lea Yunkicha (BTS X ARMY In the Love Maze)
Sejatinya, seseorang yang ingin diselamatkan dan berharap seseorang mengulurkan tangan untuk meraihnya, memiliki waktu yang terbatas. Ya, waktu terbatas sebelum keputusasaan dan depresi merenggut nyawanya.
Lea Yunkicha (BTS X ARMY In the Love Maze)
Mungkin, ketika seseorang merasa berada di titik terbawah, dia membutuhkan sosok yang dicintainya sekalipun dia tahu orang itu telah pergi dari hidupnya (atau sudah membencinya). Maka, dia hanya bisa berlari sekuat tenaga. Entah mengejar orang yang dicintai ataupun berlari karena hanya itu yang bisa dilakukan.
Lea Yunkicha (BTS X ARMY In the Love Maze)
Jika anak-anakmu berduka ceritakan kepada mereka peristiwa kemanusiaan yang manis sejarah ketamadunan yang agung agar mereka tidak lagi menangis dan meraung dan menjadi anak-anak yang santun di wilayah yang dikepung. (Lagu Sinis Kemanusiaan)
Wadi Leta S.A. (Laut Karang)
Lagu "N.O" meneriakkan pesan untuk generasi muda supaya bangkit untuk diri mereka sendiri. Harapannya, mereka lebih memahami mimpi mereka sendiri karena ini adalah hidup mereka. Maka, sejatinya mereka hidup untuk meraih mimpi mereka, bukan mimpi orang tua.
Lea Yunkicha (BTS X ARMY In the Love Maze)
Bercerminlah pada sosok pada sosok panutan yang ada di kepalamu, pergi, dan cobalah bekerja keras untuk menjadi sepertinya. Bukan demi siapa pun dan orang tua, melainkan demi diri sendiri. Buat dirimu sendiri bangga dengan menyingkirkan segala kelemahan sendiri.
Lea Yunkicha (BTS X ARMY In the Love Maze)
Sistem pendidikan untuk generasi muda membuat kami pergi sekolah tanpa ada keinginan untuk belajar, tapi kami terlalu takut untuk berhenti sekolah. Mental generasi muda digambarkan serapuh kaca karena ternyata kami tidak pernah bekerja begitu keras untuk meraih sesuatu.
Lea Yunkicha (BTS X ARMY In the Love Maze)
Sing a Song before you can Sing some Song ~
save-lagu.com
Kami ada disini untuk terus beraksi.. Menuntut revolusi yang sedang mati suri.. Katanya reformasi.. Nyatanya dagang sapi.. Lawan, lawan segala korupsi.....
Yoza Fitriadi (PENGAGUM SENJA)
Sekalipun sakit hati, seseorang tidak bisa membohongi bahwa dia tetap membutuhkan orang yang dicintai berada di sisinya.
Lea Yunkicha (BTS X ARMY In the Love Maze)
Menjauhkan diri dan menghindar dari sifat yang mementingkan diri pribadi, karena kegemaran memberi pengetahuan dalam mendidik para putra, sambil mendendangkan sebuah kidung yang menjauhkan diri dari hawa nafsu, sedang lagu yang digubahnya dengan baik itu dihiasi kata indah yang menyenangkan. Tujuannya agar ajaran budi luhur meresap dalam hati, yang berdaya membentuk jiwa di Tanah Jawa, yakni agama pegangan para raja - Serat Wedhatama, Mangkunegara IV
Kurnia Putra (Eling & Meling; Sejumlah Esai Dalam Kongres Ki Hadjar Dewantara)
Melalui lirik "Not Today" BTS mengajak kita semua baik yang menjadi kalangan baepsae, terpinggirkan, direndahkan, dan selalu merasa kalah, untuk bangkit. Perjuangkan yang ingin kita capai. Belum saatnya untuk layu dan mati, setidaknya untuk hari ini. Karena yang perlu kita lakukan adalah bertahan dan jangan menyerah, entah dengan berlari, berjalan, atau merangkak sekalipun.
Lea Yunkicha (BTS X ARMY In the Love Maze)
Jika keadaan telah sangat buruk dan membuat kita kehabisan napas, jangan pernah ragu untuk mengulurkan tangan minta pertolongan. Depresi bukan kondisi yang bisa diremehkan dan bisa saja terjadi pada siapa pun. Mulailah dengan bersikap lebih sensitif pada orang-orang di sekitar. Apa yang mereka pikirkan, khawatirkan, dan takutkan. Dengan begitu, ini akan mencegah dan membuat kita berpikir ulang untuk tidak mengatakan hal-hal menyakitkan yang memicu kondisi seseorang menjadi depresi lalu memutuskan mengakhiri hidupnya.
Lea Yunkicha (BTS X ARMY In the Love Maze)
Si dalkiinu uu meel sare u gaaro, oo u noqdo mid mar kale horumar ku tilaabsada, ka bilaaba in aad doorataan hogaamiye wanaagsan. Ha ogolaanina in warbaahinta iyo kuwa danaha-gaarka ah lehi ay idinku qasbaan in aad doorataan dadka ay ayagu idiin xuleen, balse doorta dadka aysan ayagu xulan. Dadka dhexdiisa ka doorta hogaamiyaha, oo ah mid uu wado wadnahiisu, mid isu arka in uu matalo shacabka dalka, ogna waxa dalku u baahan yahay dhinac walba. Ha dooranina hogaamiye lacag uun u socda, oo aan waxba ka ogayn shacabka, shacabkana aan xiriir la lahayn, balse kaliya og waxa shirkadahu u baahan yahiin. Doorta nabaddoon. Mid dadka mideeya, ee aan qaybin. Hogaamiye aqoon leh oo taageera dhaqanka iyo xoriyadda figrad-dhhiibashada; oo aan ahayn mid dadka afka qabta. Doorta hogaamiye maalgaliya iskuulada, oo aan joojin maalgalinta waxbarashada, una ogolaanayn in maktabadahu xirmaan. Doorta hogaamiye wadahadal ka doorta in la dagaalo. Hogaamiye dadnimo leh, mid dhahaya waxuu aaminsan yahay, mid balanta ka soo baxa oo aan dadka been u sheegin. Doorta hogaamiye adag oo isku-kalsoon, laakiin aan kor isu qaadin. Mid caqli badan, laakiin aan dhagarow ahayn, hogaamiyo ogol kala duwanaanta oo aan cunsuri ahayn. Doorta hogaamiye maalgalinaya dhisidda buundooyin la isaga gudbo, ee aan dhisayn darbiyo dadka kala xira. Buugaag, maya hub, Daacadnimo, maya musuq-maasuq. Xigmad iyo aqoon, maya jahli, Xasilooni, maya baqdin iyo argagax. Nabad, maya burbur. Jacayl, maya nacayb, Isu-imaatin, maya kala qaybin. Dulqaad, maya cunsuriyayn, Daacadnimo, maya munaafaqnimo, Wax ku oolnimo, maya wax kama jiraan, Dabeecad, maya maangaabnimo, Soo bandhigid, maya qarsasho, Cadaalad, maya sharcidaro, Run, maya been. Ugu danbayn, doorta hogaamiye dadkiisu ay ku farxayaan. Mid dhaqaajinaya qalbiyada dadka, si ay wiilasha iyo gabdhaha qaranku ugu dadaalaan in ay ku daydaan sharafta hogaamiyaha qaranka. Markaas oo qura ayaa qaran si fiican kor ugu kici karaa, marka hogaamiye dhiirigaliyo, soona saaro muwaadiniin u qalma in ay noqdaan hogaamiyayaasha mustaqbalka, maamulayaal qiimo badan iyo nabaddoono. Waqtiyada hadda lagu jirana, hogaamiye waa in uu noqdo mid dhiiran. Hogaankoodu waa inuu ku adeego daacadnimo, mana aha inay u shaqeeyaan laaluush. Suzy Kassem, waana gabar qoraa Mareykan ah kana soo jeeda Masar, waa na faylasuuf.
Suzy Kassem (Rise Up and Salute the Sun: The Writings of Suzy Kassem)
LAGU RINDU pada malamnya, jengkerik yang berbunyi pada siangnya, pipit yang bernyanyi lagu rindu suatu rasa aneh, berwarna warni menggelepar ingin dilepaskan dari sangkarnya yang sempit berdesah lewat angin yang bertiup bergetar demikian hangat di dalam sepi jika bulan naik tinggi adakah kau dengar bisik angin adakah kau mengerti bahasa rindu
Emji Alif
Sementara popcorn adalah popcorn. Ia tak pernah ditimang-timang dan disimpan secara khusus, ia tak pernah dibahas, dibikinkan lagu atau judul cerita, kecuali dalam kaitannya dengan kegiatan menonton film.
Laksmi Pamuntjak (Aruna & Lidahnya)
Kau hadir ketika malam hampir memeluk senja Bersama bingkisan yang sudah seringkali aku dengar Tetapi nafasmu berbeza Lagu yang kau dendangkan semerdu pernah kudengar dahulu Suara rintik hujan mencumbui malam tanpa jemu Membisik pertama kali di telinga iramanya mengalir Seperti air sungai di syurga permai dan damai.
A.D. Rahman Ahmad
Dulu ketika mencari-cari ilham untuk nama anak keduanya, dia mendengar sebuah lagu bahasa Inggris dengan irama yang menenangkan: "Don't worry, be happy". Dia sangat suka dan jadilah itu nama anaknya. Di akta kelahiran dia tuliskan dengan mantap: Donwori Bihepi. Panggilannya Hepi. Nama adalah doa.
Ahmad Fuadi (Anak Rantau)
Pohon-pohon pun merasa pilu mendengar lagu itu, hingga daun-daunnya berguguran.
Ana P. Dewiyana (Kisah Peniup Seruling)
Setiap wanita membutuhkan seorang suami. Meskipun sang suami menjadikan lagu dalam dirinya berhenti mengalun.
Khaled Hosseini (The Kite Runner)
Bukankah tidak sulit menyediakan waktu barang lima menit untuk sama-sama berdiri menyanyikan lagu kebangsaan "Indonesia Raya"?
Pepih Nugraha (Ibu Pertiwi Memanggilmu Pulang)
Dengarkan pepohonan saat mereka bergoyang tertiup angin. Daun mereka menceritakan rahasia. Kulit mereka menyanyikan lagu-lagu masa lalu saat tumbuh di sekitar batang. Dan akarnya memberi nama untuk semua hal
Vergi Crush
Suatu waktu kami hanya percaya pada mimpi" dan terus membodohi diri kami sendiri jika kami bisa mewujudkannya meski itu takkan mungkin terjadi. Saat dunia kami menjadi satu, apa yang Ia gambar, apa yang kutulis, apa lagu yang ku mainkan, apa lagu yang Ia dendangkan, saling bertemu dan saling menyatakan cinta yang tak tersampaikan dimasa lalu.
nom de plume
Dalam hangat suasana ruang kantor yang Ac sentralnya selalu diset diatas 36 derajat karena ada direksi yang selalu komplain kedinginan, terasa ada sebuah kesunyian yang entah begitu ....... (*tak terucapkan, tidak ketemu padanan katanya). Seperti sebuah keheningan agung, yang kerap hadir dalam ketersituasian landscape perasaan pasca ‘Orgasme’ dalam sebuah hubungan seksual yang hangat dan tak harus diburu waktu / dilakukan dengan tergesa oleh akibat adanya kegiatan lain yang tengah menunggu. (*backsound : terdengar sayup-sayup, soft - whispery - french accent, Claudine Longet dalam lagu berjudul 'I think it’s going to rain today').
Ayudhia Virga
Sing a Song before you can't Sing some Song ~
save-lagu.com
Saat suatu ketika, sebuah buku tiba-tiba menyadari bahwa dirinya bukanlah sebuah buku, melainkan sesuatu yang (minimal diyakini oleh dirinya sendiri sebagai) selain buku, apakah kemudian, dia, si buku ini, yang memiliki kesadaran bahwa dirinya bukanlah sebuah buku, masih dapat disebut sebagai sebuah buku?? tapi sungguh yang jadi soal adalah, bahwa si buku yang merasa dirinya adalah ‘sesuatu yang lain’ selain buku, nampaknya tak punya pengetahuan soal apakah ‘sesuatu yang lain’ itu sendiri. Persis seperti sekumpulan cornflakes (yang padahal belum menyadari dirinya sendiri) yang tanpa sengaja terlempar keluar dari mangkuk sarapan, cornflakes yang seketika menemukan dirinya berada dalam perspektif yang berbeda selain dalam sebuah mangkuk yang kalau tidak berisi susu, pastilah berisi potongan buah. Cornflakes yang terjun bebas kedalam absurditas bahwa diluar mangkuk sarapan ternyata adalah keterlemparan pada kedalaman dirinya sendiri. Buku dan cornflakes yang tiba-tiba terperangkap dalam momentum idle yg abysmal. Diri buku dan cornflakes, seperti dalam lirik Lagu 'Shine on You crazy Diamond' milik Pink Floyd, yang (mungkin) dengan bantuan halusinogen, sudah reached for the secret too soon. Diri yang tiba-tiba tercerabut dari alam realitas, dan terlempar kedalam realm dirinya sendiri dan lalu dipaksa menyaksikan milyaran kombinasi dirinya, yang tidak satupun mampu dikenalinya. That's pain.
Ayudhia Virga
Sajak rindu bertahan pada ketikan Atau pada suara dan gambar wajahmu Sejak lagu berkisah dalam petikan Not balok berbentuk simbol senyummu
chachacillas
Pada dasarnya mereka lebih pengecut dari aku. Cuma mereka lebih bisa membungkusnya dengan bahasa yang katanya puitis, dengan lagu-lagu, dengan lukisan-lukisan. Aku tak pernah tertarik mendengarkan lagu. Itu hanya sekadar orang memanjangkan dan memendekkan kata-kata, lalu diiringi dengan tetabuhan, dan kadang diberi kata-kata tak jelas macam: duuu, duuuu, duuuu, duuuuu ...
Puthut EA (Hidup Ini Brengsek, dan Aku Dipaksa Menikmatinya)
... Tapi memang perlu dibedakan, meskipun sukar, antara biologi dan budaya, apa pun penjelasan cinta-biologi dengan gamblang menyodorkan bahwa penerusan jenis manusia tidak mungkin tanpa naluri untuk senggama, dengan bonus kenikmatannya yang belum tentu sama untuk pria dan wanita: ada lagu dari Perancis, yang dikenal unggul soal cinta: 'plaisir d'amour ne dure qu'un moment chagrin d'amour dure toute la vie.' yang berarti nikmat cinta hanya sesaat, derita cinta sepanjang hayat.
Toeti Heraty (Calon arang: Kisah perempuan korban patriarki : prosa lirik)
Musik, lagu, dan tarian adalah bentuk budaya yang bertujuan memengaruhi emosi manusia, seperti kau merasa senang melihat tarian Thousand hands Bodhisattva. Bentuk budaya ini juga menyampaikan tradisi turun-temurun, menyampaikan kisah dan nilai-nilai utama seperti tarian ini menceritakan pengorbanan si putri bungsu.
Maisie Junardy (Man's Defender (Distinguished Trilogy, #1))
Budaya bukan saja sesuatu yang kuno dan tradisional. Budaya adalah sesuatu yang organik. Setiap lagu baru, pakaian jenis baru, film baru, cerita yang baru... semua itu adalah hasil budaya. Budaya itu hidup dan terus berkembang.
Maisie Junardy (Man's Defender (Distinguished Trilogy, #1))
Menjadi Tua vs Muda Selamanya Ada sebuah lagu yang dulu sering kita dengar, sebuah nyanyian abadi tentang kerinduan manusia: keinginan untuk tetap muda selamanya. Selamanya cantik, selamanya kuat. Kita menyanyikannya dengan penuh semangat, seolah hidup bisa berhenti pada satu titik di mana segalanya masih terasa indah. Tapi waktu pasti berlalu, tak pernah bisa ditawar tak pernah bisa diganggu. Ia seperti arus sungai yang menyeret kita perlahan menuju laut. Keriput muncul tanpa permisi, gigi tiba-tiba tanggal sendiri, rambut memutih, punggung bungkuk berasa nyeri. Tubuh yang dulu perkasa menyerah kalah pada sendi yang berderit seperti engsel pintu kurang minyak, mata yang dulu tajam mulai mengabur, ingatan yang dulu terang mulai berkabut. Menjadi tua adalah pelan-pelan menjadi pohon yang kehilangan daunnya—satu per satu gugur ke tanah, tanpa bisa menahan angin. Rambut memutih bukan hanya tanda waktu, melainkan salju yang diam-diam turun di atas kepala. Kulit keriput adalah peta retakan bumi, menandai gempa-gempa kecil yang pernah terjadi: cinta yang bertepuk sebelah tangan, kehilangan yang menyakitkan. Menjadi tua kadang seperti sungai mengalir kembali ke pangkuan bumi—bukan karena ingin, tapi karena tubuh memaksa demikian. Kita tak bisa terus-terusan berjalan menentang angin melawan kodrat. Tangan yang dulu menggenggam dunia, kini gemetar hanya untuk meraih segelas air. Kaki yang dulu tegak menjejak lantai, kini tersandung karpet di ruang tamu. Mata yang dulu berkilat penuh ambisi, kini berair tanpa sebab, seolah meneteskan kesedihan yang tak sanggup terucap. Orang bilang, masa tua adalah anugerah. Tapi di sela doa panjang dan pujian syukur, ada luka diam yang tak tersampaikan: rasa ditinggalkan, dilupakan, bahkan dianggap beban. Seperti lilin yang perlahan habis, ia tetap menerangi, namun nyala kecilnya sering tak lagi berarti. Ada yang berjuang mati-matian mempertahankan wajah mudanya dengan segala cara: operasi plastik, krim pemutih, suntikan botox, bahkan polesan ilusi digital. Seolah ketakutan pada keriput lebih besar daripada ketakutan pada kehilangan jiwa dan akal sehat. Namun sungguh, waktu tak bisa ditipu—ia adalah pedang tak kasatmata yang terus menggores, menghujam, mengingatkan kita bahwa keabadian hanyalah mitos dalam lagu dan doa. Tua adalah penantian yang sepi dan menggetarkan hati: menunggu suara pintu dibuka cucu kesayangan, menunggu kabar telepon yang jarang berdering, menunggu tubuh ini menyerah pada bayang penyakit yang mendera. Dan pada akhirnya, menunggu saat di mana semua luka akan dihapuskan oleh timbunan tanah. Ironi yang pahit dan menohok ulu hati: dulu kita ingin cepat dewasa, kini kita takut menjadi tua. Dan saat akhirnya tua itu datang tanpa diundang, hidup terasa seperti lingkaran aneh: perlahan kita kembali menjadi anak kecil lagi. Butuh dituntun, butuh ditemani, butuh dijaga. Tapi kali ini, tak ada lagi masa depan panjang yang girang menanti yang ada hanyalah penantian akan sebuah perpisahan yang berasa menyedihkan. Dan ketika semua gemerlap memudar, barulah kita sadari: menjadi muda selamanya hanyalah ilusi. Yang abadi bukanlah tubuh kita, melainkan jejak kebaikan, cinta yang kita tinggalkan, cerita yang kita wariskan. Menjadi tua itu getir, memang. Tapi menjadi tua tanpa pernah benar-benar hidup, tak punya makna, itulah tragedi yang sesungguhnya. Mungkin kita tak bisa memilih untuk selamanya muda, tapi kita bisa memilih untuk tetap hidup dengan hati yang selamanya muda: tetap belajar, tetap mencintai, tetap memberi arti pada hidup, pada sesama. Karena tubuh akan mulai rapuh, tapi jiwa yang penuh kasih dan empati—akan selamanya abadi. Surakarta, September 2025
Titon Rahmawan
Aku ikut menyanyikan lagu kebangsaan sampai tenggorokanku serasa mau pecah. (hlm. 70)
Han Kang (Human Acts)
Adakah Kau Temukan Separuh Ilusi dalam 7 Bait Sajakku Ini? : Alejandra Pizarnik /1/  Ada riwan kekuningan dan kawanan angsa liar di jela-jela bunga bakung. Jerit tangis yang terperangkap dalam seringai bibir si mati yang tenggelam ke dalam rawa itu tadi pagi, sebelum ia sempat menafsirkan sajak ini. /2/  Tetapi, jangan silap oleh senyap yang hinggap di pokok dadap di belakang kuburan yang dijaga oleh seekor burung hantu buta. Dalam kalap mata si nara gila yang berhasil kabur dari lembaran ungu penjara otakmu. /3/  Sebab kuyakin, ada seekor rusa totol indigo dan sejumput rumput kelabu bening dalam gelak tawa kanak-kanak yang berlarian bersicepat mengejar angin mendaki bukit Lillahi ta’ala. /4/  Karena sajakmulah maka kutemukan titik-titik hujan yang urung terperangkap dalam cangkir porselen di jejak kaki para sufi dan dalam putih sorban para pencari tuhan. /5/  Sementara di pelupuk matamu ada kudapati sesayat pisau luka. Lagu cemar yang tercabar dari derai kepingan heran. Dan entah mengapa, telanjur terpatri jadi senyum pilu di sudut bibir para penjaja cinta. /6/  Namun, kukira itu bukanlah gelembung busa biasa, melainkan selaput tipis rasa takjub yang mungkin tak tersentuh oleh jari-jemari tangan Nizhami saat ia berkisah tentang Laila dan Majnun. /7/  Barangkali langit keruh kelabu sudah telanjur jenuh oleh tangisanku. Tangis yang diam-diam terpendam dalam curam jeram jantung kita. Serupa fatamorgana, ilusi dari cekaman rasa dahaga yang sungguh tiada terperi. (Januari 2014)
Titon Rahmawan
TONY, KAU DATANG DARI CELAH YANG BERDARAH DI BAWAH TAMAN KAMI (Blue Velvet Reconstruction) Tony muncul tepat setelah sprinkler berhenti. Air masih menetes dari selang, mengisi halaman dengan aroma plastik basah dan ironi yang menyengat. Kota ini pura-pura damai, pura-pura tidak tahu bahwa di balik pagar putih dan bunga violet, selalu ada sesuatu yang menggerogoti dengan gigi kecil penuh dendam. Aku menemukannya berdiri di tepi pagar, menunduk pada selembar rumput yang entah kenapa bergetar seperti sedang menahan ketakutan. Ia mengenakan jas hitam. Tidak seperti jas biasa— lebih seperti kulit seseorang yang belum siap dilepas dari tubuhnya. “Aku hanya ingin melihat apa yang tumbuh,” katanya ringan, menyentuh kelopak bunga biru seolah-olah itu adalah saklar menuju sesuatu yang lebih gelap. Senyumnya lunak, tetapi terlalu lama, terlalu presisi— seperti seseorang berlatih tersenyum di depan cermin yang pernah menyaksikan kejahatan. Di rumah sebelah, radio memutar lagu cinta tahun 50-an, dan setiap nadanya terdengar seperti jeritan yang disamarkan agar tetap cocok untuk lingkungan keluarga. Tony melangkah masuk ke dalam bayangan pohon maple, bayangan yang tidak mengikuti arah matahari dan tampak seperti mencoba menelan sepatunya. “Di kota ini,” bisiknya, “segala sesuatu yang indah memiliki pintu belakang yang tidak terkunci.” Ia mengangkat telepon yang tiba-tiba berdering dari halaman kosong. Tidak ada kabel. Tidak ada sambungan. Hanya telepon merah yang seharusnya tidak ada di sana. “Hallo?” Matanya tidak berkedip. “Ya… dia sedang melihatku sekarang.” Ia menatapku. Seolah aku adalah seseorang yang namanya disebut dari ujung lain kabel yang tak terlihat. Ada suara di dalam telepon: napas seseorang yang terlalu dekat, terlalu intim, terlalu mengerti sesuatu tentangku yang tidak pernah kuceritakan pada siapa pun. Tony mendengarkan lama, lalu menutup gagang telepon dengan lembut. Seperti menutup kelopak mata sesosok mayat. “Seseorang ingin bertemu denganmu,” katanya. “Di ruang atas.” Nada suaranya seperti undangan dan ancaman yang dibungkus karamel. Kami masuk ke rumah kosong itu. Dindingnya berwarna merah muda— terlalu merah muda— seperti anak kecil pernah memimpikan kamar ini sebelum sesuatu memutuskan tinggal di dalamnya. Ada lagu lembut berputar di radio tua, dan udara berbau parfum murahan yang bercampur dengan bau karat besi yang tak jujur. Dia menyentuh gagang pintu kamar. Tangan itu tidak gemetar. Pintu membuka dengan suara mengerang seperti rahasia yang keberatan dibocorkan. Di dalam: tirai biru menggantung, bergoyang pelan meski jendela tertutup rapat. “Jangan kaget,” bisiknya padaku. “Di balik tirai itu biasanya seseorang menangis.” Aku hendak bertanya siapa, tapi tirai bergerak sendiri. Sangat pelan. Seperti seseorang yang baru saja menghapus air mata. Tony berdiri di sampingku, dan kini aku melihatnya bukan sebagai manusia— tetapi sebagai retakan dalam dunia ini. Sesuatu yang seharusnya tidak memiliki tubuh, namun tetap memilih untuk memakai salah satunya. Ia membungkuk mendekat ke telingaku, napasnya dingin seperti kulkas yang menyimpan rasa lapar. “Kota ini tak pernah kenyang” katanya. “Pertanyaannya cuma satu… kau ingin menjadi makanannya, atau kau ingin melihat siapa yang memakanmu dari balik tirai itu?” Tirai biru bergetar lebih keras. Lampu berkedip. Suara lagu berubah pelan, mengalun seperti bisikan seseorang yang patah dari dalam dirinya sendiri. Tony menoleh ke arahku, tatapannya lembut— lebih lembut dari yang boleh dimiliki seseorang yang telah melihat apa yang ia lihat. “Kita mulai adegannya sekarang,” katanya. Dan untuk pertama kalinya, aku sadar bahwa dalam dunia ini— aku bukan penonton dan bukan penulis skenario— aku hanyalah seseorang yang dipilih oleh tirai biru untuk diseret masuk ke dalam mimpi yang bukan milikku. November 2025
Titon Rahmawan
KISAH KAKTUS DARI 6 TARIKAN NAPAS 4. Cahaya Duri (Surreal—Minimalism) Di gurun yang tak berkepala, sebuah kaktus berdiri. Sebutlah ia yang kembali tanpa pulang. Padanya, duri menahan angka— angka yang gugur sebelum sempat dikubur. Air yang disimpan batangnya adalah nama yang tidak diucap. Nama yang mengalir melalui kebisuan yang memotong udara tanpa pisau. Setiap malam, kaktus itu menumbuhkan bayangan baru: lebih pendek, lebih hening, seperti doa yang kehilangan pemiliknya. Aku menyentuhnya. Ia tidak berdarah. Aku yang berdarah. 5. Pemakan Duri (Psychic—Introspection) Kaktus ini— aku kenal jenisnya. Tubuh yang tinggal menunggu siapa yang lebih dulu menusuk siapa. Aku melihat diriku dalam tiap duri: anak perempuanku yang gemetar di sudut kamar ketika jam berdetak seperti gigi ayahku. Kaktus memakan matahari dan kembali dengan wajah lebih pucat. Aku memakan durinya di dalam mimpi, membiarkan sakitnya menjadi mahkota kecil yang kuberi nama ketabahan. Dalam batang hijau itu ada ruang untuk seluruh tangisku yang tak pernah keluar. Maka biarlah ia hidup: satu-satunya tanaman yang mengerti bagaimana luka bisa menjadi pekerjaan harian. 6. Romansa Kaktus Malam (Tragic—Magic) Bulan berkibar di atas gurun Andalusia. Di sana kaktus bernyanyi— suara yang dicuri dari tenggorokan seorang gitano yang mati muda. Duri-durinya menari seperti penari flamenco tanpa kaki. Angin membawa napas hitam dari kampung-kampung yang dibakar takdir. Kaktus memanggilku, dan aku datang membawa biola patah yang masih mengingat lagu masa kecilku. Kami menyanyi bersama— lagu hijau, lagu sedih, lagu yang bila kau dengar akan membuat langit turun setinggi bahu anak kecil. Di akhir malam, kaktus itu mati. Tetapi suaranya tinggal di aku, seperti duende yang tak mau pergi dari dada penyair. Desember 2025
Titon Rahmawan
Palsu I — (Dark, Esoteric, Psychospiritual Version) Bagaimana mereka meninggalkanmu terperangkap dalam sumur itu? Seperti berjalan sendirian di bawah hujan yang jatuh tanpa suara, membiarkan tubuhmu memudar perlahan di antara tetes air yang tak lagi mengenali gravitasi. Seperti ban truk meledak di tanjakan maut menyambar seperti kilat, dan tak seorang pun selamat. Seperti seorang perawan yang kehilangan kesuciannya bukan oleh tangan asing, melainkan oleh cermin yang memantulkan wajah yang bukan dirinya. Langit tidak tertawa untuk kesedihan semacam itu. Beberapa orang berlarian di tengah lapangan dengan ketelanjangan yang mereka ciptakan sendiri, tak tahu apakah dunia patut ditangisi atau disumpahi. Tidak seperti pelacur yang berdiri di pinggir jalan meniru Aphrodite dengan keberanian imitasi—tetap merasa suci, karena tak ada yang tersisa untuk dicemari. Seekor babi berjalan terengah, sementara yang lain bergulingan di tanah seakan lumpur itu adalah rumah mereka yang hilang. Kita tak sedang membaca ode untuk bintang-bintang yang sekarat di langit. Langit hanyalah rongga hitam tanpa lazuardi, rumput kehilangan kehijauannya seperti ingatan terakhir seseorang yang terhapus oleh waktu. Mata tertutup oleh gumpalan awan dan kesedihan yang tak lagi mampu mengeja dirinya. Nanar matanya menghantam jendela yang tak membuka apa pun kecuali pertanyaan yang tak punya jawaban. Pintu-pintu terbuka tanpa petunjuk arah. Jalan-jalan mati, lampu-lampu padam; kebisuan lebih mencekam daripada sunyi di tengah kuburan yang lupa nama-nama yang dikandungnya. Siapa yang masih berani bertanya: Mungkinkah darah tetap berwarna merah? Sedang lagu tak lagi terdengar seperti kicauan burung— dan burung sudah lama berhenti berkicau karena dunia menolak mendengar. Ketika mata tertumbuk ketelanjangan di mana-mana— di televisi, papan reklame, musik dari radio, halaman-halaman majalah yang dibaca sampai robek— mari kita pergi dari sini. Pergi ke mana saja: ke sebuah pulau yang kesepian, ke sealur sungai yang tak berkawan, ke laut yang kehilangan rasa asinnya, ke semenanjung tanpa nama yang tak pernah tersentuh kaki para nahkoda. Di tempat asing itu, seseorang menyalakan api lalu memotret dirinya sendiri hanya ingin memastikan bahwa ia masih ada. Seorang gadis berambut pirang menikmati es krim coklat sambil membayangkan kekasihnya yang bahkan sudah lupa namanya. Gadis lain mengulang peristiwa yang tak pernah ia punya, sementara yang lain memutar waktu seperti hendak menangkap peristiwa yang bukan miliknya. Bukankah mengherankan, dunia tidak berputar dari kiri ke kanan, orang-orang tidak berjalan mundur. Namun entah mengapa begitu banyak dari mereka kehilangan kaki dan pegangan pada diri sendiri. Merasa tua dalam sekejap, menjadi bayangan dari masa lalu yang menolak mati meski tak sungguh hidup. Seorang kakek ingin melihat pangkal yang tak berujung, seorang bayi baru lahir melihat ujung yang tak berpangkal. Para pujangga menari di saat jutaan lainnya kehilangan keinginan untuk mencintai dunia. Para filsuf melompat dari halaman kitab penuh pemikiran yang sebenarnya tak membutuhkan pembaca. Berapa banyak artis kehilangan akal, menggadaikan harga diri demi sebuah adegan persetubuhan. Seorang suami berkata kepada istrinya, “Untuk mendapatkan kebahagiaan, maka satu-satunya cara adalah melihatmu bahagia bersama orang lain.” Tidak semua orang memahami kejujuran atau kebodohan semacam itu. Mereka terus menebak-nebak: apakah kebahagiaan itu sebuah tangga atau sebuah sumur? Seperti pikiran lancung yang berusaha membubung ke langit namun tenggelam ke dasar samudra karena tak tahu cara berenang. Begitulah manusia yang kita kenal—mereka menciptakan penjara ilusi yang mereka sebut: identitas. November 2025
Titon Rahmawan
404: Empathy Not Found [system message] Faith.exe gagal dimuat. File rusak sejak pembaruan terakhir peradaban. Bukankah kegelapan itu— sejenis underground server room, tempat kesadaran disimpan dalam format zip, dan doa diunggah dalam gelap tanpa penerima? Kau menyebutnya “ruang bawah tanah”, aku menyebutnya “cache of forgotten souls.” Lagu yang sama diputar ulang: verse tentang penebusan, bridge tentang kematian, refrain yang diulang, diulang, diulang— sampai maknanya terkikis oleh algoritma rekomendasi. Kita memutar ulang sejarah dalam loop playback, mengganti bait dengan data, mengganti iman dengan simulation of belief. (notification ping!) “Kebenaran trending di tab spiritual.” Siapa yang percaya? Siapa yang membeli? Tak ada lagi nabi di pinggir jalan, hanya content creator yang menjual mukjizat instan dalam format video berdurasi 59 detik. [insert advertisement here] “Temukan ketenangan batin versi 2.1 — dengan AI-guided meditation dan sertifikat kebahagiaan abadi.” Kau mengetuk pintu, tapi rumah-rumah itu hanya avatar: dindingnya terbuat dari feed, jendelanya dari comment section, penghuninya hanyalah profil palsu yang mengulang doa secara otomatis. Sejarah disunting dengan filter nostalgia, iman disesuaikan dengan subscription tier, dan kebenaran dikurasi oleh admin yang tak pernah tidur. Ide-ide memenuhi kepala seperti pop-up windows, dan mulutmu berbusa oleh update patch moralitas yang sudah kadaluwarsa. (warning:) “Overload: terlalu banyak opini. Sistem kehilangan empati!” Fantasi, ilusi, dogma— kini hanya deretan kata sandi yang gagal diverifikasi. Kau membangun altar kebahagiaan dari user agreement yang tak pernah kau baca, dan di atas pondasi rasa takut yang kau sebut iman digital. Tapi lihatlah, bahkan surga pun kini membutuhkan cloud storage. Apakah kita akan menemukan kebenaran? Tidak dengan mengalaminya. Tidak dengan mengakses apa yang telah dihapus. Kebenaran bukan lagi cahaya, melainkan glitch — sekejap kilat dalam gelap, pantulan dari mata kamera yang nyaris padam. [end transmission] Di layar terakhir, hanya satu kalimat tersisa: “Segala yang kau yakini adalah hasil edit terakhir.” (cursor berkedip. diam. tak ada respons.) // 404: Empathy Not Found // November 2025
Titon Rahmawan
Realitas Meminjam lidah dari percakapan orang-orang di jalan; Betapa kulihat subur uban tumbuh di kepala nenekku. Kalong dan kampret beterbangan mencuri buah dari atas meja Di televisi bertebaran berita; orang di gelandang ke dalam bui karena korupsi. Ada yang sedang berubah dari dunia ini; Tak ada lagi kulihat orang mandi di kali Sudah lama kita kehilangan musala tempat mengaji. Orang-orang tenggelam di sawah Terpacak ke dalam lumpur kering Tegalan menjelma jadi hamparan batu. Kerbau dan kambing kehilangan kandang. Hutan dan padang rumput di babat habis. Aku duduk mencangkung di serambi dengan adikku, menunggu Bapak pulang membawa kenduri dari hajatan penganten tetangga kampung sebelah. Ia datang bersama heran. Sedang di jalan bersliweran kuda-kuda pacu yang tak satu pun peduli. Truk-truk mengangkut gunung dan perbukitan mengepulkan asap. Saat emas dan perak pelan-pelan menghilang, maka kerikil dan bebatuan jadi barang berharga. Aku sempat bertanya kepada Ibu, "Benarkah kita telah kehilangan suara adzan?" Bukan yang bertelur dari nyaring corong pengeras suara, Melainkan yang menetas langsung dari dalam hati para ibu. Dulu waktu kecil, aku senang sekali menyimak lagu tentang 'sajadah panjang' yang konon tercipta dari sebuah puisi. Tapi mengapa kini, tak ada lagi orang berdiskusi di atas gelaran tikar? Tak ada kulihat tenda terpasang yang sengaja didirikan untuk memberi makan pengemis yang kelaparan. Tak ada anak-anak berlarian di lapangan. Betapa banyak permainan seperti gasing dan gundu yang raib bersama berlalunya waktu? Lebih aneh lagi, mengapa lapak-lapak di pasar jadi sepi kehilangan pembeli? Mal-mal tumbuh seperti jamur di musim penghujan Tapi kemudian mendadak senyap seperti kota mati. Murid-murid di sekolah tumbuh menjadi dewasa tanpa pernah mengerti bagaimana sesungguhnya uang bekerja. Padahal seribu tahun mereka tenggelam dalam layar yang penuh informasi itu. Lahir 'ceprot' dengan hape dalam genggaman. Surga bukan lagi tempat di mana kita membayangkan bidadari. Orang banyak berdebat tentang agama Tanpa tahu di mana sesungguhnya Tuhan berada. Langit semburat jingga, mengapa kini terlihat biasa-biasa saja? Dan seterusnya Dan seterusnya... Sampai kutemukan ternyata ke mana perginya orang-orang itu Konon katanya mereka terbang di bawa UFO ke sebuah planet yang berwarna biru. Dan demikianlah, kebohongan hadir sebagai realitas sehari-hari. Bukan untuk dipertanyakan Bukan untuk dibantah. November 2025
Tiron Rahmawan
Kita Telah Menjadi Apakah sudah kau temukan rintik-rintik air hujan yang kau cari dari beribu-ribu tumpukan buku yang terbakar di perpustakaan itu? Berhektar pohon yang kini engkau rindukan teduhnya Tangan perbukitan yang dulu pernah merengkuh tubuhmu dengan sepenuh cinta Dan semilir sunyi yang tak lagi berbunyi seperti sebuah lagu tempo doeloe yang akrab di telinga. Sudah berapa banyak orang yang terperangkap dalam penjara kebisingan itu? Layar yang tak henti memanjakan mata dengan tarian-tarian molek yang menghentikan waktu Dan hentakan musik yang mendadak saja viral di mana-mana. : Waktu yang seharian berbaring telentang di peraduanmu. Kita tak lagi menemukan bahasa yang dulu dipakai para penyair untuk menyatakan perasaannya. Kita tak lagi melihat goresan penuh ekspresi yang memindahkan ombak di lautan ke dalam sebingkai kanvas. Kita telah menjelma menjadi kungkang yang malas Rasa enggan yang membalas kearifan dengan ekspresi kebosanan. Bukankah sudah berabad-abad lamanya kau tak bicara dengan anak-anakmu? Dan kau bahkan lupa seperti apa dulu wajah bapak dan ibumu. Mendadak saja kau merasa; Ternyata ada yang lebih menakutkan dari kehilangan jati diri. Ternyata ada yang lebih mengherankan dibanding misteri kemana kita pergi setelah mati. Apakah teknologi hanya akan mengajak kita bertamasya ke masa depan dan sepenuhnya melupakan masa lalu? Seperti terbaca dengan gamblang dalam sebuah ramalan cuaca; Kita sudah bukan lagi sosok yang sama yang kita kenal. Kita telah menjadi acuh dan tak lagi saling mengenal. Kita telah menjadi begitu bodoh dan kehilangan akal. Kita telah menjadi bukan siapa-siapa. Oktober 2025
Titon Rahmawan
Ilusi Kebahagiaan Kau tahu, aku masih mencari kebahagiaan untuk diriku sendiri dan barangkali untuk kita berdua, Kay. Tidak seperti kegembiraan semu yang pernah engkau miliki Aku tahu, bukan surga yang engkau cari. Semestinya kebahagiaan bukanlah cuma angan-angan belaka. Ia hanyalah hantu gentayangan yang membayangi semua langkah kita. Lagu muram yang masih setia engkau dengarkan. Lagu yang sama, yang kau putar berulang kali Riuh rendah hujatan Sumpah-serapah penuh umpatan. Siapa ingin melucuti kehormatanmu? Mereka tak pernah sungguh-sungguh mencintaimu! Keping mata uang yang tak kurang bejatnya dari dunia ini. Dunia yang sepenuh hati ingin kita ingkari. Tak hendak kucemooh ilusi kebahagiaan semacam itu. Aku hanya tak ingin melihatmu sedih dan menderita. Malam mencengkeram lewat mimpi buruk yang memuakkan. Mimpi yang tak mengijinkan diriku mencintaimu apa adanya. Siapa pun engkau, Kay. Apa pun anggapan orang tentang dirimu; Sekalipun lonte... Sekalipun sundal pinggiran jalan. Aku cuma peduli Apa yang engkau pikirkan Apa yang engkau rasakan. Engkau rembulan sungsang Aku bulbul tak tahu diri. Tapi demi Tuhan, Kay Katakan padaku, Apakah engkau mencintaiku? Apakah kau sungguh-sungguh mencintaiku? 2024 - 2025
Titon Rahmawan
Fractals Sekiranya ia mengira ini hanyalah permainan penuh jebakan Langit jenuh oleh tangisan hujan Seperti tangga lagu dalam nada yang pilu Paras hijau rembulan bertemu merah si gaun malam Kautarik angka-angka itu menjauh dari kantungmu Peruntungan yang letih kaucari sembari menunggu pagi. Tak terbayangkan sudah berapa banyak lilin yang membakar dirinya. Sayap kupu-kupu yang terhenti oleh rasa gentarnya. Setelah jeda, seekor ulat beringsut turun menyusuri anak-anak tangga. Memutus tali harapan dari pisau yang ragu Seperti perahu terpanah ombak merindu Ke mana Ichimoku hendak pergi membawa dirimu? Langit kelam tempat di mana semua kapal karam tenggelam Lubang hitam menganga di antara celah sempit segitiga bermuda. Di sanalah konon akan kita temukan, kawanan banteng yang mati mengenaskan. November 2025
Titon Rahmawan
Melting Pot: Litani untuk Tantangan Tiga Jurang (Intertekstual — Neo-Sufistik Digitalism) I Di tepi, dua jurang saling membelai saling melukai— satu gelap seperti malam sebelum nama Tuhan disebut, satu berderak seperti server yang lupa bahwa ia sedang sekarat. Aku berdiri di antara keduanya, akar menancap dalam retakan; akar itu mengirim bisikan ke tulang, lalu sinyal ke motherboard. Di sinilah Agustinus menunduk dan Nietzsche tersenyum: yang satu berdoa agar kesunyian kembali bermakna, yang lain mengangkat palu untuk memahat makna dari kekosongan. Sementara Camus mengetuk jarinya pelan pada kaca realitas, menanyakan: apakah kita memilih untuk terus menanti jawaban, atau memilih absurditas sebagai lampu penerang jalan? Aku menolak belas kasihan orang lain; lebih baik jadi pohon yang berdiri—rentan, bengkok, keras kepala— atau jadi menara yang menuntun doa seperti gelombang radio. Gapura? Ya, gapura juga, tempat orang lewat tanpa tahu alamat tinggalnya. Di tiap gerbang aku melihat rumah ibu: bocor, berderit, rapuh, setia menunggu. Kerinduan menetes, paket data bocor, hujan yang mengunduh rindu dalam format .wav. II Di dalam kabel di bawah tanah, ada lagu yang tak pernah diindeks: ritme akar yang seperti mantra, glitch yang bergumam seperti zikir. Di frekuensi itu, domba-domba trauma berbisik—tidak hening, hanya tergeser: jeritan yang kita bungkus dengan pekerjaan, selfie, dan janji-janji kecil. Ada Lecter di kursi bayanganku, berbisik: "Kembalilah ke ladang yang kau tinggalkan, Clarice." Bukan untuk menghakimi, tapi untuk menunjukkan bahwa luka tak akan mati bila kau tak pulang hari ini. Kesedihan tidak berwujud satu format; ia multi-protokol: kadang menjadi bug, kadang menjadi palimpsest doa. Aku rooted—akarku telah di-root oleh sejarah—tapi aku masih bisa reboot rasa. Namun reboot tidak membersihkan semua log: beberapa pesan terus menunggu status "read". Dan lelaki perkasa dalam mimpiku? Ia terbang, punggungnya kuda ego—sebuah patch tanpa dokumentasi, meninggalkan jejak yang menjadi gema di sumur-sumur batin. III Maka aku merespon dengan sebuah litani yang terprogram rapi: buka—hapus—simpan—tutup—ulang—(echo)… Suara itu bukan dengung mesin belaka dan bukan pula doa; ia adalah bahasa ketiga: posthuman yang masih menaruh tempat untuk sebatang lilin. Di sini Tuhan jadi kecil—huruf kecil di tengah kode—lilin meleleh yang gagal dirender, tetapi cahayanya cukup untuk membaca peta luka. Kita menerima bahwa kebenaran kini adalah bayang-bayang: ada yang memilih kebenaran yang berulang (post-truth), ada yang memilih kebenaran yang menengok ke belakang (tradisi), ada pula yang membangun kebenaran di atas logikanya sendiri (eksistensi). Puisi ditulis tidak untuk menyelesaikan perdebatan; ia lebih memilih ruang: sebuah melting pot di mana akar, kabel, doa, dan error menjadi satu jamuan. Di akhir perjalanan, aku tidak menyuruhmu percaya— aku hanya mengundangmu pulang: ke gerbang ibu, ke terminal di bawah tanah, ke api kecil yang tak henti berkedip. Datanglah dengan domba-dombamu yang belum berhenti menjerit; biarkan mereka mengajar kita cara bernyanyi lagi— bukan lagu yang sama, tetapi lagu yang baru, gelap, dan setia. Di sana, di ambang ketiga jurang yang menantang itu, aku menyalakan sebatang lilin sendirian: sebuah cahaya yang tak menuntut pencerahan, hanya sedikit terang yang cukup agar induk akar bisa menemukan anak-anak akar yang kehilangan pijakan, dan agar bug-bug bisa belajar berdoa. November 2025
Titon Rahmawan
Transform your home with the best house painters in pollachi : Raghu Painting Contractors When it comes to maintaining the beauty and longevity of your home, nothing is more important than a new coat of paint. In Pollachi, a name that stands out for its commitment to quality and expertise in the painting industry is Raghu Painting Contractors. Known for its exceptional residential painting services and specialized waterproofing solutions, the company is the go-to resource for homeowners seeking long-term protection and aesthetic appeal for their property. Why choose Lagu Painting Contractors? 1. Expertise and Experience: With years of experience in the industry, Raghu Painting Contractors has honed our skills and acquired extensive knowledge of various painting techniques and materials. Their team is comprised of experienced professionals who understand the nuances of interior and exterior painting, ensuring each project is completed with precision and care. 2. Quality Products: At Raghu Painting Contractors, using quality products is our top priority. They source only high-quality paints and materials that not only enhance the look of your home, but also provide durability and protection from the elements. This commitment to quality allows the finish to stand the test of time, reducing the need for frequent touch-ups or complete repainting. 3. Comprehensive Waterproofing Services: One of the great features of Raghu Painting Contractors is our professional waterproofing services. In areas like Pollachi where monsoon rains are intense, it is essential to protect your home from water damage. The team uses advanced techniques and materials to create a waterproof barrier that protects walls and structures and prevents problems such as mold and peeling paint. 4. Customized Solutions: Every home is unique and Raghu Painting Contractors understands that. They provide customized solutions tailored to each customer's specific needs. Whether you want to update your color scheme or completely remodel your exterior, our team will work closely with you to realize your vision while ensuring functionality and protection. 5. Affordable: Quality doesn't have to be expensive. Raghu Painting Contractors strives to offer competitive prices without compromising on quality. They believe that every homeowner has the right to live in a beautifully painted and well-protected home, and are committed to making their services available to a wide range of customers. 6. Customer Satisfaction: A hallmark of Raghu Painting Contractors' services is our commitment to customer satisfaction. They take pride in their work and actively seek feedback from customers to ensure they meet or exceed customer expectations. This commitment to excellence has earned us a loyal clientele and numerous positive reviews in the Pollachi region. The Importance of best house painters in pollachi Investing in professional painting services, such as those offered by Raghu Painting Contractors, will not only revitalize your living space, but will also protect your home from damage that can be caused by weather and time. A properly done paint job can increase the value of your property, improve curb appeal, and transform your surroundings into a tranquil and beautiful sanctuary. Conclusion For homeowners in Pollachi looking for the best house painters in pollachi and reliable waterproofing solutions, Raghu Painting Contractors offers an unparalleled combination of quality, expertise, and customer care. With the company's commitment to using quality products and extensive experience in this field, you can trust them to protect your home while enhancing its beauty for years to come. Don't wait – talk to Raghu Painting Contractors today to improve the beauty and durability of your home.
ragu