Kopi Itu Pahit Quotes

We've searched our database for all the quotes and captions related to Kopi Itu Pahit. Here they are! All 5 of them:

Sebab Tuhan selalu punya cara yang indah untuk membuat hambaNya selalu tersenyum meski dalam tangis sekalipun. Bukankah kopi itu akan terasa pahit jika tak berkolaborasi dengan gula. Gula juga tak akan terasa nikmat jika tak bercampur dengan kopi. Maka pahit dan manis itu adalah karya alam yang sangat
Dian Nafi (Lelaki: Kutunggu Lelakumu (Mayasmara, #2))
Mereka yang menghirup kopi pahit umumnya bernasib sepahit kopinya. Makin pahit kopinya, makin berlika-liku petualangannya. Hidup mereka penuh intaian mara bahaya. Cinta? Berantakan. Istri? Pada minggat. Kekasih? Berkhianat di atas tempat tidur mereka sendiri! Bayangkan itu. Bisnis? Mereka kena tipu. Namun, mereka tetap mencoba dan mencipta. Mereka naik panggung dan dipermalukan. Mereka menang dengan gilang-gemilang lalu kalah tersuruk-suruk. Mereka jatuh, bangun, jatuh, dan bangun lagi. Dalam dunia pergaulan zaman modern ini mereka disebut para player.
Andrea Hirata (Cinta di Dalam Gelas)
Kau tahu “rindu” itu apa? Menurutku; Semacam rasa pahit dalam kopi, dan kesamaran makna dalam puisi.
Sobih Adnan (Lamar)
Karena, ketika saya membuatnya saya sama sekali tidak bisa berbohong. Ketika manis, pahit dan asam menjadi secangkir coffeatte. Jika ada kurang satu atau dua rasa, itu pasti salahku.
nom de plume
Pahit Secangkir Kopi Aneh, betapa banyak manusia sibuk mencari musuh, seakan hidup ini adalah medan perang di mana setiap tatapan harus dicurigai, setiap senyum harus dicatat sebagai strategi, dan setiap kata adalah panah yang siap melukai. Padahal, hidup sudah cukup keras tanpa kita menambah lawan di dalamnya. Ironi ini nyata: kita sering lebih mudah membenci daripada menghargai. Orang membenci karena merasa kita terlalu tinggi atau terlalu rendah, terlalu pintar atau terlalu bodoh, terlalu kaya atau terlalu miskin. Benci, rupanya, tidak butuh alasan yang masuk akal—ia hanya butuh cermin untuk menampilkan kekurangan diri pada wajah orang lain. Tapi, bukankah pertemanan jauh lebih berharga daripada permusuhan? Skill bisa dipelajari, ilmu bisa dicari, uang bisa dicetak, tapi relasi—ia adalah emas cair yang mengalir di dalam nadi kehidupan. Sejenius apapun dirimu, selalu ada alasan untuk gagal jika berdiri sendirian. Sebab kepercayaan hanya tumbuh dari mereka yang mengenalmu, bukan sekadar dari kecerdasanmu. Keahlianmu menjadi sia-sia bila tidak ada yang tahu keberadaanmu. Sementara ada pintu-pintu rahasia di dunia ini yang hanya bisa dibuka oleh pemegang kunci—dan mereka itu adalah relasi, pertemanan, jaringan yang kau jalin dengan tangan dan hatimu sendiri. Circle-mu adalah cermin yang memantulkan bayanganmu. Siapa yang ada di sekelilingmu menentukan bagaimana dunia menilai keberadaanmu. Kerap kali kita kalah bukan karena kurang pintar, kurang terampil atau kurang beruntung, melainkan karena terlalu kaku berjalan sendirian. Sementara mereka yang biasa saja, yang ilmunya seadanya, justru melesat jauh karena pandai bergaul, merawat jaringan pertemanan, menyulam simpul-simpul koneksi, dan menabur benih simpati. Pertemanan adalah investasi jangka panjang. Ia membentuk mata air yang suatu hari akan mengalir balik kepadamu. Teman yang tulus akan menjadi tiang penopang di saat badai datang, menjadi pilar penyangga di saat engkau jatuh, dan menjadi cermin yang memantulkan wajahmu apa adanya. Namun berhati-hatilah: tidak semua tangan yang terulur adalah tangan yang ingin menolong. Ada pertemanan yang sejatinya racun, circle beracun yang menyeretmu ke jurang lebih dalam. Bijaklah memilih siapa yang akan duduk di mejamu, siapa yang akan mendengar ceritamu, siapa yang akan bersorak ketika engkau menang, bukan hanya bersorak ketika engkau kalah. Membangun pertemanan bukan soal berapa banyak nama di daftar kontakmu, melainkan berapa banyak hati yang benar-benar bisa kau sentuh. Bukan tentang siapa yang datang saat pesta, tapi siapa yang bertahan saat petaka. Pada akhirnya, membenci itu murah—cukup dengan asumsi, cukup dengan prasangka. Tapi berteman itu mahal—ia butuh kepercayaan, kesetiaan, dan keberanian untuk meruntuhkan ego, untuk berkorban, untuk menahan diri. Maka pilihlah, engkau ingin dikenang sebagai pembuat tembok atau sebagai pembangun jembatan? Karena dunia ini tak pernah kekurangan musuh, tapi selalu haus akan jabat tangan sahabat. Seribu tangan yang saling menggenggam tak sebanding dengan satu tangan yang menusuk dari belakang. Seribu senyum sahabat mampu menyembuhkan, tetapi satu rasa dengki di hati bisa meracuni. Sahabat adalah jembatan, musuh adalah jurang—dan pilihan kita menentukan, apakah kita akan menyeberang dengan selamat atau justru akan terperosok di dalamnya? Segelas kopi mungkin terasa pahit, tetapi ketika kita duduk bersama, tawa dan cerita menjadikannya lebih manis daripada gula. Kopi tanpa gula pun tetap bisa dinikmati, sebab persahabatanlah yang menambah rasa. Persahabatan sejati ibarat kopi hitam: sederhana, jujur, kadang pahit—namun selalu membuat kita ingin kembali. Di meja yang sama, segelas kopi menyatukan perbedaan, menjembatani jarak, dan menghangatkan hati. Sebab manisnya gula tak ada artinya bila diminum sendiri; bahkan pahitnya kopi pun terasa nikmat bila diteguk bersama sahabat sejati. Semarang, September 2025
Titon Rahmawan