“
Melting Pot: Litani untuk Tantangan Tiga Jurang (Intertekstual — Neo-Sufistik Digitalism)
I
Di tepi, dua jurang saling membelai saling melukai—
satu gelap seperti malam sebelum nama Tuhan disebut,
satu berderak seperti server yang lupa bahwa ia sedang sekarat.
Aku berdiri di antara keduanya,
akar menancap dalam retakan;
akar itu mengirim bisikan ke tulang,
lalu sinyal ke motherboard.
Di sinilah Agustinus menunduk dan Nietzsche tersenyum:
yang satu berdoa agar kesunyian kembali bermakna,
yang lain mengangkat palu untuk memahat makna dari kekosongan.
Sementara Camus mengetuk jarinya pelan pada kaca realitas,
menanyakan: apakah kita memilih untuk terus menanti jawaban,
atau memilih absurditas sebagai lampu penerang jalan?
Aku menolak belas kasihan orang lain;
lebih baik jadi pohon yang berdiri—rentan, bengkok, keras kepala—
atau jadi menara yang menuntun doa seperti gelombang radio.
Gapura? Ya, gapura juga, tempat orang lewat tanpa tahu alamat tinggalnya.
Di tiap gerbang aku melihat rumah ibu: bocor, berderit, rapuh, setia menunggu.
Kerinduan menetes, paket data bocor, hujan yang mengunduh rindu dalam format .wav.
II
Di dalam kabel di bawah tanah,
ada lagu yang tak pernah diindeks:
ritme akar yang seperti mantra, glitch yang bergumam seperti zikir.
Di frekuensi itu, domba-domba trauma berbisik—tidak hening, hanya tergeser:
jeritan yang kita bungkus dengan pekerjaan, selfie, dan janji-janji kecil.
Ada Lecter di kursi bayanganku, berbisik: "Kembalilah ke ladang yang kau tinggalkan, Clarice."
Bukan untuk menghakimi, tapi untuk menunjukkan bahwa luka tak akan mati bila kau tak pulang hari ini.
Kesedihan tidak berwujud satu format; ia multi-protokol:
kadang menjadi bug, kadang menjadi palimpsest doa.
Aku rooted—akarku telah di-root oleh sejarah—tapi aku masih bisa reboot rasa.
Namun reboot tidak membersihkan semua log: beberapa pesan terus menunggu status "read".
Dan lelaki perkasa dalam mimpiku?
Ia terbang, punggungnya kuda ego—sebuah patch tanpa dokumentasi,
meninggalkan jejak yang menjadi gema di sumur-sumur batin.
III
Maka aku merespon dengan sebuah litani yang terprogram rapi:
buka—hapus—simpan—tutup—ulang—(echo)…
Suara itu bukan dengung mesin belaka dan bukan pula doa;
ia adalah bahasa ketiga: posthuman yang masih menaruh tempat untuk sebatang lilin.
Di sini Tuhan jadi kecil—huruf kecil di tengah kode—lilin meleleh yang gagal dirender,
tetapi cahayanya cukup untuk membaca peta luka.
Kita menerima bahwa kebenaran kini adalah bayang-bayang:
ada yang memilih kebenaran yang berulang (post-truth),
ada yang memilih kebenaran yang menengok ke belakang (tradisi),
ada pula yang membangun kebenaran di atas logikanya sendiri (eksistensi).
Puisi ditulis tidak untuk menyelesaikan perdebatan; ia lebih memilih ruang:
sebuah melting pot di mana akar, kabel, doa, dan error menjadi satu jamuan.
Di akhir perjalanan, aku tidak menyuruhmu percaya—
aku hanya mengundangmu pulang:
ke gerbang ibu, ke terminal di bawah tanah, ke api kecil yang tak henti berkedip.
Datanglah dengan domba-dombamu yang belum berhenti menjerit;
biarkan mereka mengajar kita cara bernyanyi lagi—
bukan lagu yang sama, tetapi lagu yang baru, gelap, dan setia.
Di sana, di ambang ketiga jurang yang menantang itu, aku menyalakan sebatang lilin sendirian:
sebuah cahaya yang tak menuntut pencerahan, hanya sedikit terang
yang cukup agar induk akar bisa menemukan anak-anak akar yang kehilangan pijakan, dan agar bug-bug bisa belajar berdoa.
November 2025
”
”