Kesendirian Quotes

We've searched our database for all the quotes and captions related to Kesendirian. Here they are! All 42 of them:

β€œ
Terkadang kesedihan memerlukan kesendirian, meskipun seringkali kesendirian mengundang kesedihan tak tertahankan.
”
”
Tere Liye (Kisah Sang Penandai)
β€œ
Mungkin air mata itu sedang memperoloknya, enggan untuk menemaninya, mengingat ia dan kesendirian adalah dua sahabat yang amat sulit untuk dipisahkan.
”
”
Prisca Primasari (Γ‰clair: Pagi Terakhir di Rusia)
β€œ
Seperti manusia, kelak berakhir sendiri dalam maut yang sangat pribadi. Kesendirian tak pernah menakutkanmu, kau lebih takut pada ketiadaan kata berpisah.
”
”
Nukila Amal (Cala Ibi)
β€œ
Adakalanya kesendirian menjadi hadiah ulang tahun yang terbaik. Keheningan menghadirkan pemikiran yang bergerak ke dalam, menembus rahasia terciptanya waktu
”
”
Dee Lestari (Filosofi Kopi: Sebuah Kolaborasi)
β€œ
Mungkin ia memang penikmat kesendirian. Bahkan mungkin persepsi sepi hanya ada dalam kamusku, sementara ia merasa ramai ditemani oleh novel-novel tebalnya.
”
”
Nessa Theo (Affectum)
β€œ
Aku merasa nyaman dengan kesendirian, aku tak terlalu memusingkan diriku jika aku berbeda dari orang lain.
”
”
Calvin Michel Sidjaja (Jukstaposisi: Cerita tuhan Mati)
β€œ
Mengapa kau tanam mawar itu di pinggir jalan Kay? Apakah sengaja, agar semua orang bisa memungut atau pura pura mencintainya? Tapi bukankah kau tahu, tak ada rasa kagum semurah itu?Β  Seperti semua harapan palsu yang kau tabur di atas ranjangmu. Bunga mawar merah jambu yang mekar sejenak sebelum kemudian layu dibakar waktu. Masih banyak cinta yang sesungguhnya tak kau mengerti, Kay. Apakah cuma itu satu satunya cara untuk membunuh kesendirian dan rasa sepi? Luka parut di dada dan jantung yang perlahan hilang detaknya. Sudah berapa lama engkau merasa jemu dengan rutinitas yang itu itu juga, Kay?Β  Seperti juga pikiran pikiran dangkal yang akan terus menghantui kita dengan potongan potongan kata dusta. Apakah kesedihan semacam ini yang ingin engkau abadikan? Dari satu frame ke frame yang lain. Dari satu video ke video berikutnya. Cuma untuk menampilkan ingatan yang sudah kau hafal di luar kepala dan senyum getir yang susah payah kau sembunyikan dari dunia. Atau barangkali, itulah caramu untuk mengejek dan mencemooh kami, karena terlanjur terjebak dalam ritual yang menghinakan ini. Ritual memuja ego dan menipu diri sendiri. Sebab harus kami akui, sesungguhnya cuma engkau yang paling murni di antara kita. Cuma engkau satu satunya yang telanjang dan tidak menutup diri dengan topeng kemunafikan.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Aku adalah airmata yang terlahir dari rahim ibuku. Aku bukanlah kebahagiaan yang terucap dari kehendak Tuhan. Kehendak yang tidak pernah aku ketahui atau sadari keberadaannya. Aku tak pernah menjelma menjadi sungai, danau atau bahkan laut. Aku bukanlah bianglala yang terlukis dari tangan keindahan. Bukan pula keajaiban matahari yang terbit di pagi hari. Aku adalah burung bulbul yang mati mengenaskan di atas pohon kesedihan. Aku adalah cacing yang dipatuk ayam dipekarangan. Aku adalah luka yang tergores di kulit pohon di halaman kelas lima. Aku adalah kesendirian yang duduk di aula sekolah di sore hari. Bola basket yang memantul ke lantai dan tidak pernah masuk ke dalam keranjang. Sapu ijuk yang tiba tiba beruban karena usia. Aku adalah serangkaian kata tanya yang tak pernah menemukan jawaban. Aku adalah laki laki yang terpenjara oleh ilusi dan pikiran pikiran liarnya sendiri. Aku adalah 0, angka yang terasingkan dari seluruh bilangan cacah. Ia adalah id yang menolak rasa sakit dan menjadikan dirinya kuda binal yang ditunggangi oleh nafsunya sendiri. Ia tak bisa memikirkan hal lain selain rasa lapar yang terpancar dari puting ibunya. Akan tetapi, ia juga adalah seorang serdadu yang kalah perang dan tak tahu arah jalan pulang. Ia adalah aku, air mata yang terlahir dari rahim ibuku.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Kesedihan telah memaksaku berdiri di ambang kehancuran. Seperti jurang menganga yang setiap hari menelan kemarahanku. Namun aku tidak sedang mengetuk pintu rumah orang hanya untuk meminta belas kasihan. Seperti ibu, aku telah jadi sebatang pohon yang keras kepala. Aku merasa memiliki batang yang kuat dan akar yang kokoh. Walau terkadang, aku masih tergiur untuk menjadi sesuatu yang lain; seperti menara gereja, atau mungkin gapura di pinggir jalan. Ini bukan analogi dari apa yang orang lihat. Karena, tak semua orang bisa memahami kesendirian dan kesedihan orang lain. Walau mungkin orang bisa saja merasakan kehadiran Tuhan saat mereka melihat menara gereja. Dalam sebuah gapura aku melihat gerbang menuju pintu rumah ibu. Ia adalah kerinduan yang tak henti hentinya mengalir. Seperti tetesan hujan yang menitik dari atap yang bocor. Tidak ada satu hal pun yang berubah, kecuali barangkali diriku sendiri. Demikianlah, aku masih berkutat dengan keresahanku sendiri. Memimpikan laki laki perkasa itu terbang ke bulan, menunggangi seekor kuda yang tak lain adalah egonya sendiri. Aku tahu, kesedihan hanya akan memaksaku menjadi orang yang akan aku sesali. Hidup tidak selalu menawarkan kemewahan atau kebahagiaan. Aku hanya ditakdirkan untuk memilih. Dan semoga Tuhan hadir dalam diriku, walau cuma serupa sebatang lilin, dengan kerdip cahaya yang lemah.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Kesendirian bukanlah nestapa yang harus disesali. Sementara kehampaan, berlaku bagi mereka yang tidak tahu arti dari menyibukan diri
”
”
Arief Kuswijayanto
β€œ
kesendirian diri itu adalah puisi, cuma kau tak rela sendiri, sebaliknya kau sibuk menjadi orang lain.
”
”
Muhammad Nur Taufiq
β€œ
Apakah gue memang selalu meromantisasi kesendirian gue? Apa jangan-jangan gue yang selalu memelihara kesedihan gue?
”
”
Ruth Priscilia Angelina (Tokyo & Perayaan Kesedihan)
β€œ
Di satu sisi Aku semestinya kesepian Sudah sepantasnya gila Memamah kesendirian Di lain sisi Aku punya kamu
”
”
Sam Haidy (Nocturnal Journal (Kumpulan Sajak yang Terserak, 2004-2014))
β€œ
Makna kesepian dan kesendirian jelas berbeda,
”
”
Rara Maharani
β€œ
Jangan pernah Menyia-nyia kan hidup Karena kita hidup cuma sekali dan lebih baik hidup kita dipenuhi kenangan dengan banyak orang daripada hidup dalam kesendirian karena suatu alasan kita gak mau berusaha
”
”
Monica
β€œ
Kesedihan seperti telaga yang hening di dinding ibu. Dinding yang terisak dan mengukir lagi masa kecilku. Seberapa sepinya aku saat itu? Sungguh. Aku tak mengerti, mengapa kubuat dinding itu menangis? Ia sudah seperti rumah bagiku. Tempat aku tidur dan terlelap di malam hari. Tempat aku bermain dengan kesendirianku. Lalu, mengapa aku buat ia menangis? Ada hal hal yang ingin kulupa dari waktu kecilku sendiri. Detik detik yang tidak berarti. Kemarahan yang perlahan hangus dan lalu mengabu dalam hatiku. Walau kini, ia sudah bukan lagi api. Ia sudah menjadi dingin. Tapi, mengapa luka itu masih saja ada di sana? Bukankah aku laki laki yang dibesarkan oleh dinding ibuku? Lalu, mengapa aku berpaling daripadanya? Mengapa aku kenakan topeng itu, hanya untuk melihat ia tersenyum? Aku sudah menjadi lelaki yang lain. Lelaki yang bukan kanak kanak yang ia besarkan dulu. Ada banyak topeng yang kini aku kenakan. Salah satunya adalah kesendirian, yang lain adalah amarah. Aku tahu, aku telah membuatnya bersedih. Dinding itu telah lama menjelma jadi sebatang pohon dengan kulit yang renta, mengelupas di banyak tempat. Rantingnya mulai merapuh dan daun daunnya yang gugur, berserakan di mana mana. Ia bukan lagi pohon yang dulu biasa aku panjat. Bukan, ia tidak sedang menjadi pohon yang lain. Melainkan diriku. Akulah yang kini berubah. Seperti langit biru yang mendadak kelam. Seperti mendung yang menaungi hati yang tak hentinya menangis. Apakah untuk menjadi seorang lelaki, aku harus mengorbankan perasaan perasaanku sendiri? Apakah untuk menjadi seorang lelaki aku harus meninggalkan masa kecilku hanya untuk mendengarkan suara suara orang lain; hardikan, umpatan, cemoohan dan teguran teguran yang seringkali menyakitkan hati. Aku sudah lama sekali tenggelam, mungkin sejak terakhir kali aku terlelap di bawah pohon ibu. Pohon di mana dulu jadi tempatku bernaung. Pohon itu masih ada di sana, sunyi dan sendiri. Berasa jauh tapi pun dekat. Aku terkadang ingin menyentuhnya, seperti aku menyentuh dinding ibu untuk pertama kali. Tapi aku tahu, aku sudah bukan yang dulu lagi. Dan ibu seperti rumah yang merindukan kehadiranku. Ia ingin aku pulang padanya. Tapi entahlah, apakah besok masih cukup ada waktu untukku untuk menjadi diriku sendiri?
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Momen kesendirian adalah ketakutan terbesar dari seorang badut. Momen di mana tidak ada orang lain yang bisa dia hibur dan dia buat mereka tertawa. Itulah sebabnya mengapa para badut itu sering merasa kesepian.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Setiap orang memiliki perang yang tak pernah mereka menangkan. Obsesi pada kesendirian terjungkal seimbang. Hari-hari muda penuh label merekayasa struktur waktu. Masa depan menghapus rahasia dan yang autentik dari diri tak pernah ada.
”
”
Ibe S. Palogai (Struktur Cinta Yang Pudar)
β€œ
Sunyi seperti senyap malam yang gelap gulita. Di mana tak ada siapa pun selain gigil kesendirian yang larut dalam basah gerimis hujan. Ia tahu, sebab kesepian bukanlah perasaan yang diinginkan rembulan. Demikian pula cinta, bukanlah perasaan yang diharapkannya. Suara jengkerik dan katak adalah ngilu. Seperti bulan yang tak mempercayai cinta, lagu pungguk itu terdengar seperti suara sumbang yang menyebalkan di telinganya. Desau angin jahat dan risik dedaunan hanya mengundang kepiluan di hati. Kalau saja ia bisa menangis, tapi siapa mau peduli?
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Seperti dinding kamar yang retak dan mulai berlumut, pagar besi yang merapuh oleh noda karat dan daun daun mangga yang luruh di pekarangan rumah, demikianlah kita membaca kehidupan. Begitu banyak kata yang seringkali susah untuk ditafsir seperti "nasib", "kebahagiaan" dan "kesempurnaan". Entah mengapa, Bunda masih berasa gamang saat berjalan di atas tangga batu yang menuju ke ruang tamu di rumah barumu. Serasa mendengar dering suara alarm yang bergelayut di dalam mimpi. Menyibak kabut dan pagi juga. Bukankah kadang kadang kita merasa larut dalam kesunyian, meski riuh jalan raya bersicepat melawan waktu? Meninggalkan jejak langkah dalam segala ketergesaannya. Memaksa kita memungut semua peristiwa yang berhamburan di atas trotoar. Memaksa semua orang menitikkan air mata. Mengapa dalam momen momen serupa itu, kebersamaan dengan orang yang kita cintai justru berasa semakin berarti? Mengapa justru di tengah keramaian, kita bisa merasa begitu kesepian? Begitulah, jarum jam berputar di sepanjang perjalanan berusaha keras mengabadikan semua peristiwa. Mentautkan satu angle dengan angle yang lain, memotret semua kejadian dari mata seekor jengkerik. Menatap tak berkedip gedung gedung megah yang angkuh berdiri, serupa monster monster yang siap merengkuh apa saja; Lautan manusia berjejal keluar dari bandara, kerumunan lalat di atas tumpukan sampah di pasar, kelejat pikiran yang berlari lari mengejar matahari, kebimbangan yang tergugu di pojok terminal, harapan yang terkantuk kantuk di dalam bus kota dan seringai kerinduan akan masa depan yang belum pernah mereka lihat. Apa yang mereka cari? Apa yang mereka kejar, Nak? Sementara ada ribuan etalase dan pintu pintu mall yang terbuka dan tertutup setiap kali. Serupa mulut lapar menganga yang rakus mengunyah dan menelan semua kecemasan dan kegalauan yang bersliweran di balik pendar neon papan reklame. Bagaimanakah mereka -orang orang tanpa identitas ini- bisa menafsirkan takdir, relativitas waktu, dan mungkin juga mimpi?
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Kita, Sederhana tanpa hiperbola Kamu, aku, kita dalam sebuah kata bernama rasa Tersirat makna terasa nyata dalam sebuah realita Sedikit dewasa, banyak bercanda Kita, Memorabilia dalam sebuah masa Mengisi waktu diantara sisa usia Menempati ruang hampa dalam lautan manusia Memberi sedikit jeda pada kesendirian yang tak terhingga Benarkah kita, sederhana tanpa hiperbola?
”
”
purpledelight
β€œ
Kawan kamu pernah bercerita ttg keinginanmu untuk pergi dari kehidupan ini. Iya, aku juga tahu bahwa kamu ingin pulang kawan, entah itu pulang kepada Tuhan. Sungguh, aku tahu kamu lelah kawan. Bahkan kamu nyaris menyerah kepada kehidupan. Tapi, kamu tahu kawan? kamu hanya terlalu lelah melawan padahal kamu hanya butuh diam. diam di dalam kesendirian, diam di dalam kesunyian, diam di dalam kepahitan, bahkan diam di dalam kelelahan. Tidak usah lagi kamu melawan. melawan kehidupan. Melawan Tuhan.
”
”
Alfisy0107
β€œ
Aku tak tahu mengapa hari-hari ini aku begitu sering tersentuh. Oleh pohon, oleh, burung, air sungai. Entah mengapa, hal-hal kecil yang memikat yang pernah diajarkan kepada kita, ketika kita mendekat kepada mereka, mereka tampak begitu besar, nyaris suci. Memang melo-dramatis rasanya mengatakan ini semua tetapi aku tak mengada-ada. Kami tahu aku bukan orang yang religius; dulu aku malah suka menegaskan diri bahwa aku tak beragama justru agar para sejawatku tak mengusikku. Tetapi akhir-akhir ini aku merasa, berteduh dalam kesendirian juga pengalaman religius.
”
”
Laksmi Pamuntjak (The Question of Red)
β€œ
Dan kerinduan pun akan menjadi aliran sungai di dalam benak yang resah. Menjadi awan hujan, temaram rembulan dan sengat matahari. Ketika langit tak lagi menera cuaca yang biasa dengan mudah ia terka. Mengapa rintik basah itu jatuh di musim yang tak terperi ini? Di tempat yang tak terduga ini? Dan luka akan berubah menjadi amarah yang tak tertahankan. Berusaha keras melupakan sakitnya kesendirian. Perasaan entah berantah yang bahkan tak ia mengerti. Kenapa luap emosi datang menyergap dengan tiba-tiba? Seperti maling kurang ajar yang berani mencuri cintanya di siang hari bolong.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Malam ini, ia ingin sekali tengadah ke langit gelap penuh bintang di dalam hutan itu. Ia ingin malam ini bulan hanya berbentuk sabit dan tak banyak lolongan hewan agar ia bisa menatap langit sendiri saja sambil menangis dan tak ada satupun orang yang menelponnya. Ia tidak ingin menulis kesedihannya di twitter, mencaci mengamuk menggangu follower-nya di dunia maya. Ia hanya ingin menangis lirih saja sambil tengadah ke langit gelap penuh bintang dalam keheningan hutan malam ini.
”
”
Nailal Fahmi (Mencari Jalan Pulang)
β€œ
Apakah sawah dan kebun dan pohon pohon di taman berbagi hujan yang sama? Tapi mengapa kita tak lagi saling bicara setelah hujan berlalu, meninggalkan debu dan padang gurun gersang yang kering kerontang? Apakah sungai mempertanyakan kemana muara ia akan pergi? Dan laut, bukankah laut tak pernah merasa kehilangan? Walau setiap hari, matahari menangguk air matanya dan membawanya ke langit. Seperti juga bumi yang tak pernah merasa kekurangan hujan. Walau ia mengerti, akan ada saatnya waktu di mana ia mesti berpuasa dan menahan diri. Mengapa kita selalu berbicara tentang diri kita sendiri dan tak mendengar suara alam menegur dalam bahasa yang santun dan lemah lembut? Mengapa kita selalu merasa, bahwa tak ada yang lebih menyakitkan daripada luka luka yang kita sandang sendiri? Bukankah waktu akan menyembuhkan segala galanya? Termasuk juga kesendirian yang terlahir dari amarah dan sakit hati. Saat kita berdua sama sama jatuh dan terperosok pada sikap acuh tak acuh. Ketika kita memilih untuk tidak saling peduli. Dan cinta yang tak lagi betah, memutuskan pergi meninggalkan rumah yang dulu pernah kita huni bersama.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Dinding Ibu Kesedihan seperti telaga yang hening di dinding ibu. Dinding yang terisak dan mengukir lagi masa kecilku. Seberapa sepinya aku saat itu? Sungguh. Aku tak mengerti, mengapa kubuat dinding itu menangis? Ia sudah seperti rumah bagiku. Tempat aku tidur dan terlelap di malam hari. Tempat aku bermain dengan kesendirianku. Lalu, mengapa aku buat ia menangis? Ada hal hal yang ingin kulupa dari waktu kecilku sendiri. Detik detik yang tidak berarti. Kemarahan yang perlahan hangus dan lalu mengabu dalam hatiku. Walau kini, ia sudah bukan lagi api. Ia sudah menjadi dingin. Tapi, mengapa luka itu masih saja ada di sana? Bukankah aku laki laki yang dibesarkan oleh dinding ibuku? Lalu, mengapa aku berpaling daripadanya? Mengapa aku kenakan topeng itu, hanya untuk melihat ia tersenyum? Aku sudah menjadi lelaki yang lain. Lelaki yang bukan kanak kanak yang ia besarkan dulu. Ada banyak topeng yang kini aku kenakan. Salah satunya adalah kesendirian, yang lain adalah amarah. Aku tahu, aku telah membuatnya bersedih. Dinding itu telah lama menjelma jadi sebatang pohon dengan kulit yang renta, mengelupas di banyak tempat. Rantingnya mulai merapuh dan daun daunnya yang gugur, berserakan di mana mana. Ia bukan lagi pohon yang dulu biasa aku panjat. Bukan, ia tidak sedang menjadi pohon yang lain. Melainkan diriku. Akulah yang kini berubah. Seperti langit biru yang mendadak kelam. Seperti mendung yang menaungi hati yang tak hentinya menangis. Apakah untuk menjadi seorang lelaki, aku harus mengorbankan perasaan perasaanku sendiri? Apakah untuk menjadi seorang lelaki aku harus meninggalkan masa kecilku hanya untuk mendengarkan suara suara orang lain; hardikan, umpatan, cemoohan dan teguran teguran yang seringkali menyakitkan hati. Aku sudah lama sekali tenggelam, mungkin sejak terakhir kali aku terlelap di bawah pohon ibu. Pohon di mana dulu jadi tempatku bernaung. Pohon itu masih ada di sana, sunyi dan sendiri. Berasa jauh tapi pun dekat. Aku terkadang ingin menyentuhnya, seperti aku menyentuh dinding ibu untuk pertama kali. Tapi aku tahu, aku sudah bukan yang dulu lagi. Dan ibu seperti rumah yang merindukan kehadiranku. Ia ingin aku pulang padanya. Tapi entahlah, apakah besok masih cukup ada waktu untukku untuk menjadi diriku sendiri?
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Kesendirian saat harus memilih, adalah jalan kehormatan.
”
”
Sinta Yudisia (Rinai)
β€œ
Apa yang paling kamu takutkan di dunia ini? Neraka bernama kesendirian
”
”
Pretty Angelia (Bintang dan Cahayanya)
β€œ
Bagi seseorang, kesendirian adalah larinya orang-orang yang sakit. Tapi bagi yang lain, kesendirian adalah pelarian dari orang-orang sakit.
”
”
Friedrich Nietzsche (Thus Spoke Zarathustra)
β€œ
Kawan, kamu hanya terlalu lelah melawan kehidupan padahal kamu hanya butuh diam. diam di dalam kesendirian, diam di dalam kesunyian, diam di dalam kepahitan, bahkan diam di dalam kelelahan karena sudah terlalu sering kamu melawan. melawan kehidupan. Melawan Tuhan.
”
”
Alfisy0107
β€œ
Sebagian mencarinya dalam rangkaian perbuatan baik dan ketaatan, sebagian berkejaran dalam keilmuan dan kebaruan terus menerus, sebagian terjun bebas dalam absurditas dan ketersesatan diri. Sebagian kita mencarinya diantara gema lantunan shalawat atau nyanyian merdu puja dan puji, sebagian lain, larut mencarinya dalam dentuman audio-visual bercampur substansi pembangkit adrenalin dalam event-event party paling hip di kotanya. Sebagian mencarinya dalam upaya yang gigih untuk mendapat predikat tech savvy. Sebagian lain, mencarinya dengan berkeringat dalam trend lari kekinian yang hampir separuhnya berisi aktivitas narsis dan konsumsi bermacam produk running shoes. Sebagian mencarinya dalam ritual belanja dan mengumpul barang-barang branded, sebagian lain mencarinya dalam ketiadaan barang-barang di sekitarnya. Sebagian mencarinya dalam prestasi dan penghargaan. Sebagian lain justru mencarinya pada keinginan untuk tidak dimengerti dan kesalah-pahaman. Sebagian mencarinya dengan berlari, sebagian lain mencarinya dengan berdiam diri. Sebagian mencarinya di tengah keramaian, sebagaian lain mencarinya dalam kesendirian. Terus mencari, entah mencari apa.. Terus ingin, tapi entah ingin apa..
”
”
Ayudhia Virga
β€œ
Kesendirian. Kita semua. Tidak pernah tidak. Bersyukur kita pernah tidak menyadarinya.
”
”
Muhammad Ilham Prayogo
β€œ
Nikmati kesendirian kita selagi bisa, karena hidup hanya satu kali, dan masa muda tak akan pernah terulang kembali.
”
”
Hanny Dewanti (Jangan Nikah Dulu)
β€œ
Masih ingat dulu? Dipenghujung malam kita habiskan waktu bahas apa saja yang mengasyikan, mengucap kata sayang. Kita tidak mempermasalahkan jarak, karena selalu membahas pertemuan. Kapan dan dimana. Sekarang kita sudah punya dunia sendiri, kau sibuk dengan duniamu, aku sibuk dengan kesendirian.aku baik-baik saja? Tidak. Aku tersiksa dengan bayangmu...
”
”
Nurdin Ferdiansyah
β€œ
Sempat terpikirkan untuk menyendiri Dan masih nyaman sendiri Hingga kamu datang ke kehidupanku Tersadar, kini kamu terlalu dekat Dan ternyata aku masih belum siap lari dari kesendirian ini Ketakutanku kamu menghilang juga takut ku sesali Apalah diri ini, masih saja bertengkar dengan nurani
”
”
Zakiyahdini Hanifah
β€œ
Manusia membutuhkan kehangatan, pertemanan, waktu luang, kenyamanan, dan keamanan: ia juga membutuhkan kesendirian, kerja kreatif, dan kekaguman akan sesuatu. Jika ia menyadari ini, ia bisa menggunakan hasil dari pengetahuan dan industrialisme secara lebih bijak, dengan selalu menanyakan hal yang sama: Apakah ini akan menambah atau mengurangi kemanusiaan saya? Ia kemudian akan mengetahui bahwa kebahagiaan tertinggi tidak bisa tercipta dengan bersantai, beristirahat, bermain poker, minum, dan bercinta tanpa henti.
”
”
George Orwell
β€œ
SEPERTI SEBUAH PERCAKAPAN DALAM DIAM Kesunyian mungkin tak pernah menjadi seperih ini. Akan tetapi, kalau ia sungguh hadir bagaimana hendak kutolak? Sekiranya aku temukan airmata pada luka yang terlanjur kutorehkan sendiri, bagaimana hendak kutuntaskan hari hariku dalam kesendirian serupa itu? Senyap angin yang menggigilkan hati. Perahu karam dan ombak yang menyerpih di antara karang dan bebatuan. Seperti temaram yang turun selepas mendung yang menutupi wajah matahari. Amarah yang menjelma jadi seekor naga, bayangan hitam menyapu pelangi yang mengambang di atas laut. Apa yang menahan hujan meninggalkan kenangan di balik kabut? Lalu datanglah esok hari. Tapi mengapa pagi tak selalu seperti angan yang kita rindukan? Seperti juga sisa malam yang senantiasa bermuram durja, terlihat lusuh dan terlalu bersahaja. Ia lebih serupa jelaga yang mengotori pikiran pikiran kita dengan syak wasangka. Siapa di sana bakal menemu wajah sang kekasih? Aku ataukah dirimu? Mengapa bukan kita? Mengapa hanya cuma keluh kesah? Cuma sekedar angan yang tinggal. Pada hari hari kelabu dan seolah tanpa harapan. Siapa yang akan memberi kita semua cinta dan perhatian yang mungkin? Kecuali kita sama sama telah lelah dan terpaksa berhenti di titik ini. Saat ketika kita sudah tak lagi bertegur sapa. Ketika kita menjadi terlalu sibuk dengan pikiran masing masing. Menumpuk kedengkian dan semakin banyak jerat di benak. Semua sisa kenangan yang sempat datang dan pergi. Tak lagi menyisakan percakapan antara dua hati yang mendadak saling membenci. Antara dua perasaan yang kian berkecamuk. Benih cinta yang dulu sempat ada. Yang pernah hadir... Dan lalu pergi entah kemana?
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Cinta Dari Rutinitas Sehari Hari II. Tentu saja, kita tak sempat bercengkerama karena aku harus segera berangkat kerja dan membiarkan sisanya tenggelam dalam kesibukan memintal kesendirian. Menunggu jarum jam bergerak malas dari delapan ke angka sembilan. Mungkin saat itu kau akan sedikit mencintaiku kurang dari bagaimana aku mencintaimu. Berharap sisa perjalanan akan menjadi sebuah perayaan kerinduan. Tanpa pernah merasa bosan, jenuh atau apapun itu. Hanya pada saat waktu bergerak memanjang ke pukul sepuluh siang, kau akan tertidur sejenak tanpa memikirkanku. Tanpa mimpi tentangku atau tanpa perasaan apa pun yang mengingatkanmu pada diriku. Dengkurmu akan cukup keras untuk membuat tetangga sebelah rumah menjadi tuli dan memaksa mereka melupakan mimpi-mimpi yang menakutkan atau tidak menyenangkan. Tetapi ketika waktu perlahan bergulir ke angka sebelas, cukuplah dirimu beristirahat dari segala macam kepenatan yang akan dengan segera membuatmu lupa pada diri sendiri. Merintang panas, memangkas daun-daun aglaonema kering di teras. Menyiapkan makan siang dan menikmatinya sendiri saja tanpa mengingat siapa yang pernah kaucintai atau diam-diam mencintaimu. Tapi kau akan dengan mudah jatuh cinta lagi pada dirimu sendiri pada jam dua belas. Tanpa harus bersusah-payah meyakinkan bukan siapa-siapa bahwa penantianmu tak akan pernah sia-sia. Setelah puas menyemaikan daun-daun sirih belanda kesayanganmu pada pukul satu. Kau bongkar semua ingatan dari satu pot dan memindahkannya ke dalam pot yang lain tanpa pernah merasa jemu. Tahu-tahu waktu mengetuk pintu keras keras mengabarkan sore tiba pada jam tiga. Dan kerinduan akan datang lagi berhamburan sebagai orang orang yang pernah pergi. Mereka yang sekejap singgah entah kemana, namun pada akhirnya akan kembali pulang ke rumah. Itulah waktu untuk berbenah, membuang semua sampah dan kekotoran. Memandikan kecemasan dan mengelupas kekhawatiran dari daster lusuh yang kau kenakan, lalu menyulapnya menjadi sedikit pesta kegembiraan; Mencuci sendok dan garpu melipat kertas tisu, mengelap piring dan gelas, mengeluarkan semua isi kulkas lalu menatanya rapi di atas meja tanpa alas. Kau isi setiap gelas dengan perasaan cinta yang meluap luap. Membagikan hati, perasaan dan pikiranmu di atas piring yang terbuka buat makan malam kita berdua. Sejenak mengabaikan rasa letih demi mendambakan sedikit ciuman yang akan mendarat di pipi atau keningmu dan barbagi pelukan hangat yang akan mengantarmu ke peraduan. Lalu setelah itu, kita akan melupakan semua ritual yang mesti kita ulang setiap hari dari permulaan lagi. Meskipun sesungguhnya kita tidak pernah tahu dari mana garis start keberangkatannya dan di mana ia akan berakhir. Karena semua mimpi akan berubah menjadi taman bunga yang memekarkan lagi warna- warni kelopak cintanya di malam hari. Dan seribu kunang kunang akan menyinari rumah yang telah kita tinggali lebih dari sepuluh tahun ini. Kebahagiaanmu sesungguhnya tak pernah beranjak jauh-jauh dari rumah. Setiap hari selalu memberi warna abu abu muda yang sama. Kecuali pada saat di mana aku datang membawa segepok keberuntungan di akhir bulan. Itu barangkali adalah hari paling berwarna yang kau tunggu-tunggu. Tapi meskipun begitu, aku selamanya mencintaimu. Sebagaimana aku mencintaimu seperti hari yang sudah-sudah tanpa pernah berubah. Kau tetap akan jadi perempuan dalam hidupku satu satunya. Dan kukira engkau pun merasa demikian selamanya. Waktu boleh datang dan pergi sesukanya. Tapi ada kalanya kerinduan mesti kita simpan rapi dalam lemari menunggu saat yang tepat untuk dikenakan lagi. Dan cinta mesti mengisi lagi baterenya, terutama pada saat-saat yang paling menjemukan.Tentu saja, kita hanya perlu sedikit mempersoleknya agar ia tetap senantiasa wangi, bersih dan segar saat kita nanti membutuhkan lagi kehadirannya.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Saat kehilangannya, hanya ada dua pilihan untuk membuat hatimu kembali bernyawa. Pertama, kau bisa memilih kembali mencinta dan berhak hidup bahagia. Segera melupakan dia yang tak mungkin bersamamu saat tua. Kedua, kau perlu benar-benar beristirahat untuk menyembuhkan segala luka. Menolak segala cinta untuk memperbaiki diri menjadi lebih bijaksana. Hanya dua pilihan, alasan mengapa pada akhirnya kau cepat memiliki pasangan, atau bertahan dalam kesendirian.
”
”
Lafia
β€œ
Apakah kau pernah merasakan kesepian melahap sekujur tubuhmu? Seperti angsa hitam yang memudarkan warnanya di telaga yang sunyi. Di kesendirian malam yang gelap, tanpa bintang, tanpa awan, tanpa angin, hanya gelap yang lebih gelap dari pada gulita.
”
”
Sapta Arif N.W. (Bulan Ziarah Kenangan)
β€œ
Seperti ada yang terhubung di antara kita. Kegelapan yang hanya milikmu sendiri dan rasa sedih yang tak aku mengerti. Apakah engkau anak yang aku lahirkan dahulu? Atau potret masa kecil yang ingin aku tangisi? Mengapa aku duduk sendirian saja di sini? Seperti mendung kelabu, malam mengelam dan kunang-kunang yang tak memancarkan cahaya. Sudah kucari engkau kemana-mana, tapi tak kutemukan dirimu lagi untuk kusapa. Langit perlahan melupakan wajahmu. Bulan tak lagi mengenali namamu. Ada kengerian yang lebih menakutkan dari sekedar kesendirian. Apa yang tak bisa kita dengar, lihat atau mengerti. Kosong yang dalam. Sunyi mencekik.
”
”
Titon Rahmawan