Karma Itu Ada Quotes

We've searched our database for all the quotes and captions related to Karma Itu Ada. Here they are! All 5 of them:

Karma itu seperti asap, Ya. Dia selalu ada di udara, walaupun tidak terlihat. Ketika waktunya tiba, dia akan datang untuk menagih pertanggungjawaban
Suarcani (Purple Prose)
Dari semua tempat yang saya kunjungi dan orang-orang yang saya jumpai, ada satu yang selalu terngiang-ngiang: Karma Ura, cendekiawan Bhutan dan juga orang yang selamat dari kanker. "Tidak ada yang namanya kebahagiaan pribadi," katanya kepada saya. "Kebahagiaan seratus persen bersifat relasional." Saat itu saya tidak memaknainya secara harfiah. Saya kira dia melebih-lebihkan untuk memberi penekanan pada penjelasannya: bahwa hubungan kita dengan orang lain lebih penting dari yang kita kira. Namun sekarang, saya menyadari bahwa yang dimaksud Karma itu sama persis dengan yang dia katakan. Kebahagiaan kita sepenuhnya dan benar-benar saling terkait dengan orang lain: keluarga dan teman serta tetangga dan wanita yang nyaris tidak Anda perhatikan yang membersihkan kantor Anda. Kebahagiaan bukanlah kata benda atau kata kerja. Dia adalah kata sambung. Jaringan penghubung.
Eric Weiner (The Geography of Bliss: One Grump's Search for the Happiest Places in the World)
VIBRASI DUA BUNGA DALAM DEFORMASI WAKTU I. SAKURA: Cahaya yang Gagal Menjadi Aksara Sakura gugur, bukan sebagai kelopak tetapi sebagai fragmentasi waktu yang terpental dari pusat realitasnya. Ia melayang di udara beku yang tak membutuhkan penjelasan, seperti roh purba yang menolak mengakui asal kegemilangan-nya. Aku melihatnya terapung di bayang cakrawala yang retak, memantulkan siluet cahaya yang terjatuh dari ingatan yang seharusnya tidak pernah kupanggil dengan nadi fana. Sakura itu tak menuntut jawaban, bukan tentang ilusi cinta manusia, melainkan tentang retakan raga dari jiwa yang pertama kali memisahkan eksistensi dari ketiadaan. Dan aku menjawabnya dengan sunyi yang lebih tua dari dinding jagad, hembus napas yang terlalu dingin untuk dimiliki oleh manifestasi. II. KAMBOJA: Napas Kesadaran dari Akar Penderitaan Kamboja mekar di lapisan ilusi yang mengingat kesudahan. Ia mengeluarkan aroma yang menafikan tubuh, melainkan terlahir dari ingatan bumi, tanah di mana ia tumbuh atas setiap pergantian wujud yang telah dilebur. Kelopaknya tebal, seperti daging waktu yang ditinggalkan oleh kesadaran yang telah selesai bersemayam. Ia tidak meminta kemuliaan. Tidak menagih pemujaan. Ia hanya menunggu— seperti gua suwung yang tahu bahwa segala manifestasi pada akhirnya adalah asimilasi ke dalam diri. III. Dialog Dua Bunga Dalam Pergeseran Dimensi Di tengah pergeseran dimensi, fragmen cahaya Sakura berbicara pada penyerap akhir Kamboja. Bukan dengan garis bahasa, melainkan dengan tegangan kosmos yang hanya dipahami oleh yang tercerahkan: Sakura: “Aku adalah saksi cahaya yang terlambat tiba di tepi keabadian.” Kamboja: “Aku adalah gua gelap yang lebih dulu menjaga kekosongan.” Sakura: “Aku gugur karena perspektif tidak sanggup memeluk Inti-ku.” Kamboja: “Aku mekar karena pembubaran yang tidak pernah menolak wujud apa pun.” Sakura: “Ada fragmentasi jiwa yang mencari pembebasan melalui diriku.” Kamboja: “Ada ketakutan dasar yang pulang kepadaku.” Sakura: “Kita berasal dari retakan luka yang sama.” Kamboja: “Tetapi kita menjaga keseimbangan dengan aksioma yang berbeda.” IV. Titik Hening Manusia di Antara Dua Bunga Aku berdiri Jauh, di batas luar lorong waktu, menyaksikan dua bunga yang lebih mengerti jati diri-ku daripada ilusi cinta-ku sendiri. Sakura memanggil dengan energi cahaya yang menjanjikan lupa. Kamboja menunggu dengan gelap lembut yang menjamin pulang. Keduanya tahu Jejak karma siapa yang terpatri di tulang-tulang kesadaran-ku. Dan di udara tanpa vibrasi itu, aku mendengar perjanjian purba yang tidak pernah kutulis di kitab kehidupan: Bahwa gairah terlarang bukanlah drama eksistensi manusia— melainkan kesepakatan kosmik antara Animus, cahaya yang gagal menjaga asas dan Anima, gelap yang berusaha tetap bertahan dengan setia. Mereka adalah dua sisi mata uang waktu. Tubuhku adalah tempat di mana mata uang itu berputar dan hilang. Dan sunyi yang tersisa adalah kebenaran yang paling jujur. Desember 2025
Titon Rahmawan
EPISTEMA DUA SUWUNG: Liturgi Pertubrukan yang Tak Dikutip Para Dewa III. LITURGI AKHIR — Konsekuensi Niskala di Dua Suwung yang Retak Sesudahnya, Arus waktu berjalan lagi seperti yang telah digariskan— tanpa memperlambat detik Mahakāla, tanpa memberi jeda untuk bayangan kesalahan. Mereka kembali mengenakan ilusi nama Kode genetika, Garis keturunan, Batas diri di Cakra Ajna. Hanya satu yang tidak kembali: Cara menafsirkan diri sebelum titik singularitas itu terjadi. Peristiwa arketipal ini tidak meminta hak untuk disebut penyatuan. Ia cukup puas menjadi residu etarika di tepi kesadaran: siluet energi yang tidak berani mengaku pernah ada, tapi juga menolak untuk sepenuhnya dilenyapkan. Di jagat niskala, kalau memang ada, peristiwa ini hanyalah efek kecil cermin pradhana: retak nyaris tak terlihat yang membuat prinsip kosmik membengkok sedikit, sekadar cukup untuk membuat satu simpul energi tidak lagi lurus tatkala memandang asal usul-nya. Tidak ada ganjaran karma. Tidak ada penebusan. Tidak ada penghakiman. Hanya sebuah konsekuensi absolut: bahwa setelah dua suwung saling menyentuh, keduanya tak lagi murni hampa. Masing-masing menyimpan jejak bayangan. Cidra suwung yang tak dapat kembali ke keadaan tanpa energi. Maka liturgi yang tersisa: sesuatu telah terjadi tanpa izin hukum alam, tanpa restu moral siapa pun—dan semesta tetap memilih bungkam. Dalam dua suwung yang retak, tinggal satu sabda: yang tak diucapkan, tak ditulis, tak meminta maaf. Aku mengenali kegelapanku. Ia menetap. Tidak bergerak. Tidak pergi. Itu saja. Dan dari sana, hidup berjalan terus— lebih sunyi, lebih berat, lebih jujur, tanpa perlu kata-kata untuk menutupinya. Desember 2025
Titon Rahmawan
EPISTEMA DUA SUWUNG: Liturgi Pertubrukan yang Tak Dikutip Para Dewa I. LITURGI ASAL — Titik Singularitas dan Retakan Hukum Pada mula yang menafikan permulaan, jagad hanyalah retakan tipis di punggung kegelapan. Getar tunggal yang tersesat di antara dua sunyi abadi. Ia lupa kepada siapa ia harus kembali, sebab ia adalah perjalanan itu sendiri. Di kekosongan itu, ada dua simpul energi, bukan nama, bukan bentuk, hanya tegangan purba di antara dua ruang hampa yang saling memanggil tanpa panca indra. Mereka tidak dirancang oleh konsep keseimbangan. Kosmos yang buta menggambar garis pemisah penderitaan: Satu arus waktu dan satu arus ketiadaan, larangan yang terukir dalam bahasa sandi di pintu gerbang kreasi. Namun gravitasi asal mula segala akar lebih tua dari hukum. Dan hasrat purba selalu tahu jalur tembus yang bahkan cahaya manifestasi tak sanggup menemukannya. Cinta adalah ilusi di alam fana. Di median kosmik ini, yang terjadi hanyalah: Dua prinsip dualitas yang menemukan retakan waktu untuk bersemayam sejenak. Tidak ada saksi yang menoleh. Tidak ada pencatat moral yang bertugas. Hanya kegelapan mutlak yang sedikit mengencang dan membeku di titik singularitas pertemuan itu. II. LITURGI TENGAH — Sembah Raga di Kuil Antariksa Kepekatan primordial tidak perlu lebih dalam untuk menyembunyikan mereka. Mereka sudah tersembunyi di bawah lapisan kesadaran sebelum saling bertemu. Arus energi mereka berkerabat dalam satu darah ibu. Wujud fana mereka berjarak. Di antara keduanya, terbentang jembatan nadi yang dibangun oleh rasa dahaga pralaya yang tuli terhadap silsilah tatanan. Wujud menyentuh wujud seperti dua logam dingin yang saling mengenali suara getarannya, dua dimensi waktu yang lelah karena terpisah terlalu lama. Tak ada kidung kakawin. Tak ada ikrar. Tak ada permohonan. Tak ada seserahan. Yang ada hanya raga. Wadhag yang menghafal sunyi lebih lembut daripada mantra sejati. Di waktu yang bukan waktu, Hukum berjalan seperti fatwa: Bintang raksasa terbakar perlahan di langit ketujuh, Planet terus berputar di orbital karma, seekor nyamuk mati di ruang hampa, Arus cakra mengalir mengangkut kisah-kisah Vedana. Pertubrukan arketipal ini tidak mengubah asas kosmik apa pun. Ia hanya menggores garis batas nadi terlarang yang akan terus berdenyut dalam gelap bahkan setelah semua wujud usai menjadi. Mereka tidak memuja. Tidak memohon ampun. Tidak menyebut nama dewi atau dewa siapa pun. Mereka hanyalah dua pusat pusaran yang bertubrukan di medan magnet kosmos yang salah. Medan yang tak peduli siapa seharusnya menjaga kodrat, siapa seharusnya melindungi keseimbangan, siapa seharusnya tidak menyentuh siapa. Yang tahu hanyalah suwung yang bersemayam tepat di tengah antara dua napas yang saling menghirup—saling menghembus.
Titon Rahmawan