“
EPISTEMA DUA SUWUNG:
Liturgi Pertubrukan yang Tak Dikutip Para Dewa
III. LITURGI AKHIR — Konsekuensi Niskala di Dua Suwung yang Retak
Sesudahnya,
Arus waktu berjalan lagi
seperti yang telah digariskan—
tanpa memperlambat detik Mahakāla,
tanpa memberi jeda
untuk bayangan kesalahan.
Mereka kembali
mengenakan ilusi nama
Kode genetika,
Garis keturunan,
Batas diri di Cakra Ajna.
Hanya satu yang tidak kembali:
Cara menafsirkan diri
sebelum titik singularitas itu terjadi.
Peristiwa arketipal ini
tidak meminta hak
untuk disebut penyatuan.
Ia cukup puas
menjadi residu etarika
di tepi kesadaran:
siluet energi
yang tidak berani mengaku
pernah ada,
tapi juga menolak
untuk sepenuhnya dilenyapkan.
Di jagat niskala,
kalau memang ada,
peristiwa ini hanyalah
efek kecil cermin pradhana:
retak nyaris tak terlihat
yang membuat prinsip kosmik membengkok sedikit,
sekadar cukup
untuk membuat satu simpul energi
tidak lagi lurus
tatkala memandang
asal usul-nya.
Tidak ada ganjaran karma.
Tidak ada penebusan.
Tidak ada penghakiman.
Hanya sebuah konsekuensi absolut:
bahwa setelah dua suwung saling menyentuh,
keduanya tak lagi murni hampa.
Masing-masing menyimpan
jejak bayangan.
Cidra suwung yang tak dapat kembali
ke keadaan tanpa energi.
Maka liturgi yang tersisa:
sesuatu telah terjadi
tanpa izin hukum alam,
tanpa restu moral siapa pun—dan semesta
tetap memilih bungkam.
Dalam dua suwung yang retak,
tinggal satu sabda:
yang tak diucapkan,
tak ditulis,
tak meminta maaf.
Aku mengenali kegelapanku.
Ia menetap.
Tidak bergerak.
Tidak pergi.
Itu saja.
Dan dari sana,
hidup berjalan terus—
lebih sunyi,
lebih berat,
lebih jujur,
tanpa perlu kata-kata
untuk menutupinya.
Desember 2025
”
”