Idul Fitri Quotes

We've searched our database for all the quotes and captions related to Idul Fitri. Here they are! All 2 of them:

Jkt 20/12/2012 Bulan ini bulan desember,spt juga desember thn2 sebelumnya pada bulan ini umat kristiani mempunyai hari besar semacam tradisi tahunan yaitu yg di sebut "Natal" atau Natale (italia) atau Christmas,dan sebagai penganut kirstiani sejak lahir saya selalu menikmati bulan2 desember spt ini tiap tiap tahunnya,saya selalu menikmatinya didalam hati saya,apalagi saat saya masih kanak kanak dulu,karena natal identik dengan hadiah untuk anak2,desember adalah menjadi bulan yg paling saya tunggu2 karena pada bulan itu akan ada sebuah kado yang menunggu saya pd bulan itu,akan ada gemerlap cahaya lampu pohon dan hiasan hiasan natal lainnya,saya akan memakai baju baru juga saya akan tampil dipanggung gereja memainkan fragmen dan drama natal bersama anak2 lainnya yang juga memakai baju baru yg menambah kesan natal semakin saya tunggu, Saya lahir di Indonesia saya tinggal di Indonesia saya bersekolah di Indonesia,negara yg mempunyai beragam agama yg mana agama2 itupun mempunyai Hari besar nya masing2,sejak masih kanak2 saya selalu terharu ketika melihat org lain berdoa entah dengan memakai tata cara agama apa mereka berdoa yg jelas saya selalu merasa ada suatu hal yg berbeda dlm hati saya ketika melihat org berdoa itu,saya bersahabat dgn beberapa teman saya orang2 keturunan yg beragama Budha,sy juga punya beberapa sahabat org Bali dan keturunan India yg beragama Hindu,walaupun jumlah mereka tidak sebanyak sahabat2 saya dari kaum Muslim,Muslim adalah mayoritas di negri ini otomatis muslimlah yg hampir 90% dari mereka setiap harinya berinteraksi dengan saya, lebih dalam lagi saya pun mempunyai banyak family sedarah dari kakek saya yg beragama muslim,tidak heran kalau sy pun menikmati hari raya Idul fitri,dan tidak jauh berbeda dengan natal momen Lebaran adalah menjadi hari yg saya tunggu2 juga, karena setiap tahunnya saya akan berkumpul dgn sanak family dan kerabat merasakan ketupat lebaran dan opor ayamnya juga saya bisa meminta maaf dan bersalaman dengan orang yg pernah bertengkar dengan saya dengan ucapan minal aidin walfaidzin,luar biasa hubungan batin saya dengan muslim sepertinya suatu hal yg tidak bisa terpisahkan,tetapi diluar daripada itu semua terjadi dilema dalam hidup saya ketika saya menyaksikan hal2 lain yg "mengusik mesranya hubungan saya dengan muslim,di saat yg sama berita di media masa sebegitu hebatnya memberitakan hal yang menumbuhkan opini2 perpecahan yang semakin hari semakin jauh dari kata "damai" dimana pandangan yg berbeda tentang Tuhan adalah menjadi alasan untuk pendidikan perang! sehingga seolah olah memaksa manusia siaga satu dan siap untuk membenci saat ada kaum yg berbeda dengan mereka,saya muak dengan ini, Keperdulian saya dgn keharmonisan keduanya Membuat saya tertarik utk "mencari tau tentang isi dari kedua agama ini,dgn hati yg bertanya tanya ada apa sebenarnya yg terjadi di dalamnya?,dengan segala keterbatasan saya bertahun tahun saya mencoba mencari titik temu antara perbedaan dan persamaan antara kristen dan islam,rasa ingin tau saya yg membuat saya sedikit demi sedikit menggali keduanya mulai dari sisi sejarah,segi terminologi,sisi tafsir2 atau doktrin (aqidah) nya,dgn mencari sumber2 yg akurat atau dengan cara bertanya,berdiskusi dll,sy tidak terlalu tau apa tujuan dan visi saya tapi yg jelas saya tertarik untuk mengetahuinya dan kadang saya lelah!saya merasa terlalu jauh memikirkan ini semua,saya merasa agama yg seharusnya memproduksi kedamaian dan cinta thd sesama malah membuat saya pusing dan muak karna saya koq malah pusing memikirkan konflik2 dan benturan2 yg justru disebabkan oleh agama itu sendiri Seiring berjalannya waktu pemahaman saya terhadap natal dan bulan desember itupun mulai terpisah,saya sudah mempunyai pemahaman sendiri mengenai natal,Desember hanyalah salah satu bulan dari 12 bulan yg ada,tetapi damai natal itu sendiri harus berada dalam sanubari dan jiwa dan roh saya setiap hari, "Selamat Natal Damai Selalu Beserta Kita Semua" Amien.........
Louis Ray Michael
Dulu vs Sekarang: Warisan yang Hampir Hilang Zaman dulu ada seorang bocah naik sepeda berkilo-kilo, hanya untuk sampai ke sekolah di luar kampungnya. Ada anak lain yang mesti berjalan sampai kaki pegal ke rumah temannya hanya untuk meminjam buku bacaan. Tapi anehnya, mengapa anak sekarang malas melangkah? Malah merasa bangga disebut kaum rebahan. Mereka juga malas membaca padahal semua ilmu ada di genggaman layar kaca. Orang dulu mengumpulkan receh demi membeli sebidang lahan, membangun rumah sedikit demi sedikit, lantainya mungkin tanah, atapnya sering bocor, tapi ada mimpi yang mereka renda di atas atapnya, harapan yang mereka pahat di setiap dindingnya. Lalu bagaimana orang sekarang melihat dirinya? Bekerja sepuluh tahun pun, rumah masih berhenti sebatas imajinasi. Gaji pertama langsung ludes dalam gebyar pesta perayaan semalam dan cicilan gawai terbaru. Air minum, bagi orang dulu, direbus penuh sabar di tungku kayu— sisa panasnya dipakai untuk berdiang menghangatkan tubuh. Bagi orang sekarang, air minum harus bermerek; Cappucino, espresso, latte atau matcha boba kekinian dikemas dalam plastik sekali pakai, diminum bukan karena haus, tetapi agar terlihat keren saat di foto. Barang orang dulu awet seperti doa: sepeda diwariskan, lemari antik dipelihara, kain batik disimpan hingga pudar warnanya. Barang orang sekarang sekali lewat hanya sebatas tren: baru sebentar sudah merasa bosan, dibuang, ditukar, ditinggalkan, seperti janji-janji yang tak pernah ditepati. Dulu banyak anak dianggap rezeki, meski rumah hanya seluas kamar kos-kosan saat ini. Tapi nyatanya, lima anak semua jadi sarjana, hidup nyaman sejahtera. Sekarang, satu anak saja dianggap beban, lalu diputuskan tak perlu lahir sama sekali. Di mana lagi bisa kita temukan kerja keras, pengorbanan dan kebijaksanaan? Apakah ini sekadar paranoia yang dibungkus logika yang sengaja dibengkokkan? Makanan dulu dinikmati sekadar untuk bertahan hidup: singkong, jagung, bubur, nasi lauk kerupuk, sayur dan sambal—kenyang sudah cukup. Sekarang, makanan harus enak, harus estetik, di kemas cantik, difoto dulu sebelum disantap. Dan bila tidak sesuai ekspektasi rasa nikmat di lidah, langsung dicaci, langsung diviralkan, seolah perut telah kehilangan rasa syukur dan penghargaan anugerah dari Tuhan. Tabungan dulu jadi jimat yang dianggap keramat: uang disimpan dalam celengan tanah liat, ditabung serupiah demi serupiah buat beli tanah, sawah, tegalan. Emas disimpan dan dipelihara bukan cuma untuk dikenakan di pesta hajatan pernikahan. Sekarang malah sebaliknya, uang dibakar dalam pesta, dihabiskan di kafe, tiket konser, memburu diskon belanja palsu. Hidup bukan lagi tentang menyiapkan hari esok, melainkan tentang menguras apa yang bisa dihabiskan hari ini. Orang dulu sabar menahan diri, puasa bukan sebatas ritual setahun sekali menjelang idul fitri. Mereka tahu, lapar dan lelah adalah guru. Sabar dan diplin adalah ilmu yang tak kalah penting dari pelajaran di sekolah. Anak masa kini terjebak FOMO: takut tertinggal tren, takut tak dianggap, hingga lupa kalau waktu yang hilang tak pernah lagi bisa dibeli. Ironinya membayang di depan mata: Orang dulu hidup sederhana tapi tenang, karena kebahagiaan mereka berakar pada makna. Orang sekarang hidup mewah tapi gelisah, karena kebahagiaan mereka mesti hadir setiap waktu, terpampang indah hanya di atas layar, namun mudah dipadamkan lewat satu sentuhan jari. Dan kelak, ketika semua berlalu, yang tertinggal hanyalah penyesalan yang tak bisa diputar kembali. Mereka akan bertanya pada dirinya sendiri: mengapa aku begitu sibuk mengejar bayangan, hingga lupa merawat cahaya matahari yang sesungguhnya? Surabaya, September 2025
Titon Rahmawan