Hidup Itu Pilihan Quotes

We've searched our database for all the quotes and captions related to Hidup Itu Pilihan. Here they are! All 18 of them:

dalam diriku mengalir sungai panjang, darah namanya; dalam diriku menggenang telaga darah, sukma namanya; dalam diriku meriak gelombang sukma, hidup namanya; dan karena hidup itu indah, aku menangis sepuas-puasnya
Sapardi Djoko Damono (Hujan Bulan Juni)
...hidup seringkali dipenuhi dengan orang-orang yang berjalan dalam tidur, yang sebenarnya sudah tak menginginkan hidup itu lagi, namun mereka tidak tahu pilihan yang lain.
Soe Tjen Marching (Mati, Bertahun yang Lalu)
Iya, hidup itu memang pilihan. Lurus ataupun berliku. Baik ataupun buruk. Berdiri ataupun duduk. Hitam ataupun putih. Merangkak ataupun berlari. Diam atau beraksi. Semua berhak memilih jalan hidupnya yang dianggap benar ataupun sekedar pantas. Namun seberliku apapun itu, bagaimanapun itu, selalu berharap langkahku mengarah kepada kebenaran.
Isyana G.
Bukankah hidup itu pilihan, kawan? Memilih untuk dikendalikan atau mengendalikan. Dikendalikan keadaan atau mengendalikan keadaan. Dikendalikan pikiran atau mengendalikan pikiran. Dikendalikan perasaan atau mengendalikan perasaan. Dikendalikan kebebasan atau malah sebaliknya.
Nailal Fahmi (Badung Kesarung: Santri Badung Tanpa Sarung)
Tuhan, lindungilah keraguan-keraguan kami, sebab Keraguan pun sebentuk doa. Keraguan-lah yang membuat kami bertumbuh dan memaksa kami untuk tak takut melihat sekian banyak jawaban yang tersedia untuk satu pertanyaan. Kabulkanlah doa kami… Tuhan, lindungilah keputusan-keputusan kami, sebab membuat Keputusan pun sebentuk doa. Setelah bergulat dengan keraguan, beri kami keberanian untuk memilih antara satu jalan dengan jalan lainnya. Biarlah kiranya pilihan YA tetap YA dan pilihan TIDAK tetap TIDAK. Setelah kami memilih jalan kami, kiranya kami tidak pernah menoleh lagi atau membiarkan jiwa kami digerogoti penyesalan. Kabulkanlah doa kami… Tuhan, lindungilah tindakan-tindakan kami, sebab Tindakan pun sebentuk doa. Kiranya makanan kami sehari-hari menjadi buah dari segala yang terbaik dalam diri kami. Kiranya kami bisa berbagi walau sedikit saja dari Kasih yang kami terima, melalui karya dan perbuatan. Kabulkanlah doa kami… Tuhan, lindungilah impian-impian kami, sebab Bermimpi pun sebentuk doa. Kiranya usia maupun keadaan-keadaan tidak menghalangi kami untuk tetap mempertahankan nyala api harapan dan kegigihan yang suci itu di dalam hati kami. Kabulkanlah doa kami… Tuhan, berikanlah antusiasme kepada kami, sebab Antusiasme pun sebentuk doa. Antusiasme-lah yang memberitahu kami bahwa hasrat-hasrat kami penting dan layak diperjuangkan semaksimal mungkin. Antusiasme-lah yang mengukuhkan kepada kami bahwa segala sesuatu tidaklah mustahil asalkan kami sepenuhnya berkomitmen pada apa yang kami lakukan. Kabulkanlah doa kami… Tuhan, lindungilah kami, sebab Hidup ini adalah satu-satunya cara bagi kami untuk mengejawantahkan kuasa keajaibanMu. Kiranya bumi tetap mengolah benih menjadi gandum, kiranya kami bisa tetap mengubah gandum menjadi roti. Dan semua ini hanya dimungkinkan apabila kami memiliki Kasih; karenanya, janganlah kami ditinggalkan seorang diri. Biarlah selalu ada Engkau di sisi kami, dan ada orang-orang lain—laki-laki dan perempuan-perempuan—yang menyimpan keraguan-keraguan, yang bertindak dan bermimpi dan merasakan antusiasme, yang menjalani setiap hari dengan sepenuhnya membaktikannya kepada kemuliaanMu. Amin.
Paulo Coelho (Like the Flowing River)
Perjuangan Remaja Bontang Menggapai 12 menit sebagai Sejarah. Melihat judul buku 12 menit. Tentu kita sudah dibawa pertanyaan, apakah maksud dari 12 menit itu. Tentu banyak arti dengan 12 menit ini. Tapi dalam novel ini digambarkan 12 menit harus diraih dengan syarat yang tidak mudah, melalui pengorbanan yang tidak sedikit. Perjuangan keras para generasi remaja bontang untuk meraih kesuksean. Bisa dibilang, 12 menit ini awal dari sejarah besar untuk kota kecil di Kalimantan Timur. Sebuah novel fiksi yang syarat dengan makna, yang patut di miliki oleh semua golongan usia. Novel karya Oka Aorora dengan tebal 343 halaman menggambarkan bagaimana sebuah kesuksesan tidak dapat diraih dengan instan, tetapi harus dengan perjuangan yang sangat keras. Apapun resiko yang dihadapi, menyulutkan semangat baja yang tidak mengenal rasa takut, lelah, dan tekat harus terus di pupuk agar lebih subur. Cara pengarang mendiskripsikan tokoh dalam cerita ini sungguh unik. Terdapat 4 tokoh yang digambarkan dalam novel ini. Seperti Rene, pelatih alumni sebuah universitas di Amerika memiliki karakter yang sangat kuat, disiplin tinggi, keras, tapi juga lembut hatinya, ini digambarkan bagaimana dia mempertahankan satu persatu tim nya yang mengalami down dan masalah pelik dalam latihan. Dia juga tidak segan-segan meminta maaf kepada anak dididiknya ketika dia merasa bersalah. Tokoh kedua adalah Elaine. Putri semata wayang dari bos besar sebuah perusahaan yang dikenal sangat cerdas, berbakat dan dianugrahi perawakan yang elok. Dia mempunyai sifat ramah, yang pada akhirnya bagaimana dia harus bisa meyakinkan ayahnya untuk ikut menyutujui pilihan hidupnya. Tara gadis berjilbab yang pawai bermain drum ini memiliki keterbatasan pada pendengarannya. Sehingga untuk mendengar diperlukan alat bantu khusus. Bagaimana perjuangannya untuk bisa bangkit dari trauma masa lalu saat terjadi kecelakaan yang mengakibatkan ayah yang dicintainya pergi untuk selamanya, selain itu akibat lain dia harus kehilangan 80% dari pendengarannya. Lahang, seorang pemuda dari pesisir pantai yang berusaha mewujudkan mimipi almh. Ibunya untuk bisa melihat monas, tetapi dia dihadapakan pada pilihan paling sulit antara mimpinya atau menemani ayahnya yang sakit kanker otak stadium lanjut. Semua tokoh dalam novel ini dikemas dengan sangat apik dan ringan, sehingga ketika kita membacanya, pembaca seolah-olah ikut merasakan beban dan sulitnya hidup yang dialami oleh tokoh-tokoh tersebut. Bahasa yang digunakan pun sangat sederhana, dan mudah di pahami oleh pembaca, tidak njilmet, tetapi bisa memberi kobaran api yang menyala besar. Kelebihan dalam novel ini ke 4 tokoh memiliki karakter yang sama, yaitu keinginan yang kuat untuk membawa marching band bontang pupuk Kalimantan timur menjadi juara umum di GMPB. Terwujudkah mimpi anak negeri terpencil itu?Dreaming is believing. Meski harus dilalui dengan jerih payah tim yang luar biasa. Perbedaan masalah setiap tokoh membawa mereka pada jalan keberhasilan, penulis menggambarkan bagaimana seorang rene yang tidak hanya menjadi pelatih di lapangan. Tetapi dia bisa sebagai sahabat, saudara untuk tempat bercerita. Semisal ketika dia membantu Elaine mengalami dilema diantara dua pilhan antara mengikuti olimpiade fisika, atau terus berjuang dimarching band, dan perjuangannya menghadapi larangan keras dari ayahnya. Tara seorang gadis pendiam yang hampir berputus asa dan sempat keluar dari tim inti. Tetapi rene sebagai pelatih tidak tinggal diam, di semangati tara dan dibantu kakek neneknya, akhirnya membawa tara kembali dan meraih keberhasilan. Lahang pemuda dengan persolan pelik, ayahnya menderita sakit yang parah. Rene sempat menawarkan bantuan tetapi ditolaknya, ketika perjuangan tinggal selangkah lagi dia hampir putus asa karena ayahnya telah pergi ke Rahmatulloh. Kata-kata dari Rene meyakinkan lahang utnuk terus berjuang meski peri
oka aorora
Hidup selalu punya pilihan, jika ternyata pilihanmu itu salah, kau bisa memulainya dari awal dengan pilihan yang lain.
Abengkris
Bukan hidup itu sendiri yang diinginkan oleh beberapa orang, tapi adanya kepastian akan pilihan-walau pilihan ini kemudian diberangus dan dihujat oleh yang lain.
Soe Tjen Marching
Lelaki yang paling saya benci ialah mereka yang berusaha menasihati atau yang berkata kepada saya bahwa mereka ingin menyelamatkan saya dari kehidupan yang saya jalani. Biasanya saya lebih membencinya dari yang lain karena mereka berfikir bahwa mereka itu lebih baik dari pada saya dan dapat menolong saya mengubah kehidupan saya. Mereka merasa diri sendiri dalam semacam peranan pahlawan —semacam sebuah peranan yang gagal mereka mainkan dalam keadaan-keadaan lainnya. Mereka ingin merasakan diri sebagai seseorang yang mulia dan mengingatkan saya pada kenyataan bahwa saya adalah orang rendahan. Mereka sedang berkata kepada diri mereka sendiri, "Lihatlah, betapa baiknya saya ini. Saya sedang berusaha untuk mengangkatnya keluar dari lumpur sebelum terlambat, perempuan pelacur itu." Kenyataan bahwa saya menolak usaha mereka yang mulia untuk menyelamatkan saya dari keyakinan untuk bertahan sebagai seorang pelacur, telah membuktikan kepada saya, bahwa ini adalah pilihan saya dan bahwa saya memiliki sedikit kebebasan paling tidak kebebasan untuk hidup dalam keadaan yang lebih baik daripada kehidupan perempuan lainnya.
Nawal El Saadawi (Woman at Point Zero)
Saya sangat gembira hari ini bersama keluarga saya. Nama saya Angela, tinggal di Amerika Syarikat, Suami saya meninggalkan saya selama satu tahun, dan saya sangat menyayanginya, saya telah mencari jalan untuk mendapatkannya kembali sejak itu. Saya telah mencuba banyak pilihan tetapi tidak berjaya sehinggalah saya berjumpa dengan seorang rakan yang memperkenalkan saya kepada Dr UDAMA, seorang tukang sihir yang membantu saya membawa balik suami saya selepas 2 hari. Saya dan suami hidup bahagia bersama hari ini kerana mengikut arahan Dr UDAMA yang hebat. Lelaki itu hebat, anda boleh menghubunginya melalui Email : (udamaada@gmail.com). dan nombor hubungan terus dan whatsappnya ialah ( +27658978226 ) Sekarang saya akan menasihati mana-mana orang yang serius yang mendapati diri mereka dalam masalah seperti ini untuk menghubunginya sekarang penyelesaian yang cepat tanpa tekanan..
Tere Liye
Hidup itu selalu tentang pilihan.
Puji Eka Lestari (Dear Ellie)
Jadi single itu bukan keterpaksaan. Jadi single itu juga bukan aib. Jadi single itu adalah pilihan hidup saat kamu memutuskan untuk membahagiakan diri sendiri dan keluarga. Enjoy it!
Hanny Dewanti (Jangan Nikah Dulu)
Hidup itu pilihan. Dan takdir adalah ketika Engkau tak memiliki pilihan atau tak bisa menghindar dari suatu pilihan.
Agus Fitriandi (CIA (Catatan Insinyur Angus) dari ITB)
Ada yang lebih penting dari menentukan pilihan dalam hidup, yaitu tentang menjadi pilihan itu sendiri.
Khabib Bima Setiyawan
Pahit Secangkir Kopi Aneh, betapa banyak manusia sibuk mencari musuh, seakan hidup ini adalah medan perang di mana setiap tatapan harus dicurigai, setiap senyum harus dicatat sebagai strategi, dan setiap kata adalah panah yang siap melukai. Padahal, hidup sudah cukup keras tanpa kita menambah lawan di dalamnya. Ironi ini nyata: kita sering lebih mudah membenci daripada menghargai. Orang membenci karena merasa kita terlalu tinggi atau terlalu rendah, terlalu pintar atau terlalu bodoh, terlalu kaya atau terlalu miskin. Benci, rupanya, tidak butuh alasan yang masuk akal—ia hanya butuh cermin untuk menampilkan kekurangan diri pada wajah orang lain. Tapi, bukankah pertemanan jauh lebih berharga daripada permusuhan? Skill bisa dipelajari, ilmu bisa dicari, uang bisa dicetak, tapi relasi—ia adalah emas cair yang mengalir di dalam nadi kehidupan. Sejenius apapun dirimu, selalu ada alasan untuk gagal jika berdiri sendirian. Sebab kepercayaan hanya tumbuh dari mereka yang mengenalmu, bukan sekadar dari kecerdasanmu. Keahlianmu menjadi sia-sia bila tidak ada yang tahu keberadaanmu. Sementara ada pintu-pintu rahasia di dunia ini yang hanya bisa dibuka oleh pemegang kunci—dan mereka itu adalah relasi, pertemanan, jaringan yang kau jalin dengan tangan dan hatimu sendiri. Circle-mu adalah cermin yang memantulkan bayanganmu. Siapa yang ada di sekelilingmu menentukan bagaimana dunia menilai keberadaanmu. Kerap kali kita kalah bukan karena kurang pintar, kurang terampil atau kurang beruntung, melainkan karena terlalu kaku berjalan sendirian. Sementara mereka yang biasa saja, yang ilmunya seadanya, justru melesat jauh karena pandai bergaul, merawat jaringan pertemanan, menyulam simpul-simpul koneksi, dan menabur benih simpati. Pertemanan adalah investasi jangka panjang. Ia membentuk mata air yang suatu hari akan mengalir balik kepadamu. Teman yang tulus akan menjadi tiang penopang di saat badai datang, menjadi pilar penyangga di saat engkau jatuh, dan menjadi cermin yang memantulkan wajahmu apa adanya. Namun berhati-hatilah: tidak semua tangan yang terulur adalah tangan yang ingin menolong. Ada pertemanan yang sejatinya racun, circle beracun yang menyeretmu ke jurang lebih dalam. Bijaklah memilih siapa yang akan duduk di mejamu, siapa yang akan mendengar ceritamu, siapa yang akan bersorak ketika engkau menang, bukan hanya bersorak ketika engkau kalah. Membangun pertemanan bukan soal berapa banyak nama di daftar kontakmu, melainkan berapa banyak hati yang benar-benar bisa kau sentuh. Bukan tentang siapa yang datang saat pesta, tapi siapa yang bertahan saat petaka. Pada akhirnya, membenci itu murah—cukup dengan asumsi, cukup dengan prasangka. Tapi berteman itu mahal—ia butuh kepercayaan, kesetiaan, dan keberanian untuk meruntuhkan ego, untuk berkorban, untuk menahan diri. Maka pilihlah, engkau ingin dikenang sebagai pembuat tembok atau sebagai pembangun jembatan? Karena dunia ini tak pernah kekurangan musuh, tapi selalu haus akan jabat tangan sahabat. Seribu tangan yang saling menggenggam tak sebanding dengan satu tangan yang menusuk dari belakang. Seribu senyum sahabat mampu menyembuhkan, tetapi satu rasa dengki di hati bisa meracuni. Sahabat adalah jembatan, musuh adalah jurang—dan pilihan kita menentukan, apakah kita akan menyeberang dengan selamat atau justru akan terperosok di dalamnya? Segelas kopi mungkin terasa pahit, tetapi ketika kita duduk bersama, tawa dan cerita menjadikannya lebih manis daripada gula. Kopi tanpa gula pun tetap bisa dinikmati, sebab persahabatanlah yang menambah rasa. Persahabatan sejati ibarat kopi hitam: sederhana, jujur, kadang pahit—namun selalu membuat kita ingin kembali. Di meja yang sama, segelas kopi menyatukan perbedaan, menjembatani jarak, dan menghangatkan hati. Sebab manisnya gula tak ada artinya bila diminum sendiri; bahkan pahitnya kopi pun terasa nikmat bila diteguk bersama sahabat sejati. Semarang, September 2025
Titon Rahmawan
Hidup Berkekurangan vs Hidup Berkelimpahan Ada manusia yang hidupnya bagai batu yang dipanggul di punggung, berat tak tertanggungkan. Mereka berjalan tertatih, setiap langkah adalah hutang napas yang harus dibayar dengan keringat dan rasa sakit. Para kuli di pasar, kenek bangunan, pekerja serabutan di pinggir jalan, satpam dan buruh pabrik shift malam yang menyulam waktu dengan kantuk dan lapar—mereka seakan hidup hanya untuk memastikan besok masih bisa makan. Uang menjadi rantai, mengikat pergelangan tangan dan kaki, menjadikan mereka budak dari sesuatu yang berasa tak pernah cukup. Namun, apakah uang sungguh jahat dan sekeji itu? Atau justru manusialah yang menuliskan kutukan atas lembaran kertas yang berharga itu? Uang di tangan orang bodoh adalah cambuk yang melukai, tetapi di tangan orang bijak ia adalah sungai yang mengairi banyak ladang. Ia bisa jadi berhala, tapi juga bisa jadi pujian persembahan. Ia bisa menelanjangi wajah asli keluarga dan sahabat—siapa yang tetap bertahan saat perahu bocor, siapa yang hanya datang ketika layar terkembang. Uang, pada akhirnya, hanyalah kaca pembesar yang memperlihatkan isi hati manusia. Ia bisa mempermalukan orang yang tamak, atau meninggikan martabat mereka yang tulus ikhlas. Ia menguji, apakah kita akan menjadi hamba uang, atau menjadikan uang pelayan kita. Kemiskinan yang paling getir bukanlah perut kosong atau dompet yang tipis. Yang lebih mengerikan adalah kemiskinan jiwa: ketika seseorang kehilangan penghormatan pada dirinya sendiri. Orang yang merasa rendah, tak punya arti, selalu membandingkan dirinya dengan orang lain, hingga hatinya penuh iri, dengki, dan kebencian. Itulah jurang terdalam—kemelaratan batin yang membuat manusia buta tak bisa melihat cahaya kecil dalam dirinya. Sedang mereka yang hidup berkelimpahan tak selalu berarti mereka yang berkelebihan harta. Orang yang sungguh kaya adalah mereka yang tangannya selalu di atas—memberi tanpa mencatat, menolong tanpa menghitung. Mereka menakar kekayaan bukan dari banyaknya yang disimpan, melainkan dari besarnya yang dibagikan. Dan justru ketika mereka memberi, rasa cukup itu meluas, melimpah, tak habis-habis. Karena kelimpahan sejati bukanlah saat tangan menggenggam, melainkan saat tangan terbuka. Ketika memberi, sebenarnya kita sedang menabung di tempat yang tak terlihat. Bank dan korporasi bisa bangkrut, saham bisa jatuh, tapi tabungan di surga tak pernah kehilangan nilai. Seorang yang arif tahu, tabungan terbesar bukanlah di tempat di mana ia menyimpan uangnya, melainkan di hadapan sesama. Ia menabung dalam bentuk kebaikan yang tak terlihat mata, tapi terukir di buku langit. Ia menanam di ladang kasih sayang, dan buahnya dipetik dalam bentuk kedamaian yang tak bisa dibeli. Hidup yang berat selalu membawa pilihan: apakah kita akan membiarkan diri diperbudak oleh kesulitan, atau menjadikannya cambuk untuk berjalan menuju kelimpahan batin? Karena sejatinya, miskin dan kaya bukanlah sekadar kondisi dompet, melainkan kondisi hati. Seseorang bisa tidur di rumah reyot dengan senyum damai, dan seseorang bisa gelisah di ranjang emasnya sambil menahan rasa sakit. Maka, kebahagiaan bukanlah tentang berapa banyak yang kita punya, melainkan berapa banyak yang masih sanggup kita syukuri, dan berapa banyak yang berani kita bagikan demi membantu orang lain. Pada akhirnya, kaya dan miskin hanyalah label duniawi. Yang sesungguhnya menentukan: apakah kita hidup sebagai pemilik yang tak takut berbagi, ataukah sebagai hamba dari rasa kikir dan tamak yang tak pernah berkecukupan. Semarang, September 2025
Titon Rahmawan
Apa pun itu, saat ini kita punya pilihan selain berjuang untuk bertahan hidup. Aku tak akan memberimu nasihat lagi karena keberanian tidak bisa diberikan, tapi harus ditemukan
Tsugaeda (Ade) (Hilang di Wonju)
Membuka Ingatan // Versi Dialektik-Gnostik Post Truth Siapa sekarang yang bisa melarang kita membuka ingatan? Bukan lagi seperti mengelupas kulit buah simalakama, tetapi seperti membedah teks yang kita tahu akan selalu mengkhianati niat pembacanya. Sebab ingatan kita hari ini bukan ruang suci sufistik tempat ruh menyentuh cahaya primordial, melainkan data center gelap yang mengulang pertanyaan eksistensial dengan latency yang tak pernah stabil. Dulu para darwis berputar mencari Tuhan. Kini kita berputar tak menentu di antara notifikasi yang memaksa kita percaya bahwa “makna” bisa diunduh, bahwa “ketenangan” adalah fitur berlangganan, bahwa kebenaran bisa diedit seperti caption foto yang memalsukan cahaya. Di tengah kekacauan itu sebuah suara bertanya: “Siapa yang menciptakan kenangan?” Kita? Atau algoritma yang mengurutkan fragmen hidup berdasarkan apa yang paling lama kita tatap? Sufi berkata: cahaya berasal dari sumber yang tak berubah. Camus menertawakannya: segala absurditas lahir karena kita terus menagih jawaban pada alam yang bisu. Sartre menyela: kau bebas—dan itulah kutukanmu. Derrida membongkar semuanya, mengingatkan bahwa teks yang kita baca selalu membocorkan diri dari dalam. Lalu mana yang benar? Kosmologi batin, logika eksistensi, atau kekacauan bahasa? Tak ada yang menang. Tak ada yang selesai. Semua saling membatalkan. Semua saling membuka retakan. Saat kita membuka ingatan, kita justru menemukan bahwa ingatan itu sendiri adalah arena perang epistemologi yang berebut mendefinisikan diri kita. Ingatan sufistik: “kau berasal dari keabadian.” Ingatan digital: “kau hanyalah riwayat pencarian, yang tersimpan dalam server cloud.” Ingatan eksistensial: “kau lahir dari keputusanmu untuk memilih, bukan dari rahim metafisika.” Ingatan post-truth: “apa pun yang kau percayai akan menjadi kebenaranmu, selama kau cukup bising mengulangnya.” Dan cinta— ah, cinta bahkan tidak luput dari pertarungan ini. Sufi bilang cinta adalah jalan pulang ke diri. Eksistensialis bilang cinta adalah pilihan absurd yang kau pertahankan dengan disiplin. Kecerdasan digital bilang cinta adalah pola yang bisa diprediksi oleh perilaku klik-mu. Post-truth bilang cinta hanyalah narasi yang kau bangun demi merasionalisasi keinginan. Siapa yang benar? Mungkin tidak ada. Mungkin semuanya. Mungkin kebenaran adalah residu terakhir yang tersisa setelah seluruh dusta dan seluruh keyakinan bertabrakan dan menyisakan abu. Dan ketika ingatan itu akhirnya terbuka, kita melihat sesuatu yang mengganggu: bukan cahaya, bukan kegelapan— melainkan ruang kosong yang menunggu kita mengisinya dengan keberanian untuk mengakui bahwa kita tak lagi mengerti apa itu “makna.” Bahwa kita bukan makhluk beriman, bukan makhluk berlogika, bukan makhluk berpengetahuan, tetapi makhluk yang terus bernegosiasi di antara tiga keinginan dasar: percaya, meragukan, menciptakan. Dan dari situ, kita belajar satu hal yang menertawakan seluruh kosmologi lama: membuka ingatan adalah membuka kesempatan untuk kehilangan kepastian. Sebab kepastian adalah candu, dan manusia— di era ini— tak membutuhkan kebenaran, melainkan alasan untuk tetap bertahan dari cengkeraman ambigu. 2025
Titon Rahmawan