“
Pada Sebuah Malam Minggu
Engkau seperti sengaja tidak mengikat kaki sang waktu saat aku bertandang ke rumahmu. Dengan santainya ia leluasa mondar-mandir ke mana saja. Berjalan berlenggang dari teras ke ruang tamu. Berjingkat dari dapur ke ruang makan, lalu berbaring seenaknya di tempat tidurmu.
Padahal aku tak datang dengan tangan kosong malam itu. Jauh-jauh hari aku sudah mempersiapkan diri. Sengaja kubawa oleh-oleh sebungkus martabak kesukaanmu, serta banyak buku bacaan tentang hujan demi menyenangkan hatimu.
Walau sudah beberapa jenak lamanya kita tidak bercakap-cakap sebagai sepasang kekasih yang saling merindukan. Dalam hati aku ingin sekali memelukmu, menghirup wangi rambutmu. Seperti angin memeluk mesra seekor burung prenjak yang bertengger di atas pohon jambu di luar sana.
Sayangnya, ada bidak-bidak catur yang membatasi jarak di antara kita. Secangkir kopi dingin di atas meja, dan pemikiran-pemikiran sepi yang teramat sulit dimengerti. Aku berusaha menafsirkan sikap diammu sebagaimana engkau menerjemahkan awan kelabu yang tercipta dari asap rokok yang dihembuskan bapakmu di balik layar televisi.
Kita memang tak sedang menciptakan ingatan lewat lagu-lagu Broery Marantika. Juga tidak melalui sisa-sisa puntung yang memenuhi asbak dan percakapan yang sekadar berbasa-basi. Sebab sudah lama sekali aku mencintaimu dengan caraku sendiri.
Aku tak menunggumu semalaman hanya untuk menyambut pelukan atau setidaknya uluran tangan. Aku juga tak mengharap untuk mendapatkan sebuah ciuman.
Sudah terlalu lama aku mencurigai kebebalan pikiranku sendiri. Seperti menanti sesuatu yang sesungguhnya aku sendiri tak mampu pahami. Apa yang mungkin ditawarkan langit kosong sepi yang tak mengisyaratkan hujan?
Barangkali cuma desah nafas tertahan, atau mimik wajah dan gerak tangan yang memancarkan bosan. Tak kutangkap isyarat rindu dalam matamu. Lalu, mengapa aku mesti sibuk mencarinya pada tumpukan majalah remeh-temeh perintang waktu?
Bukankah masih ada sketsa goresan tangan yang sengaja tak engkau tuntaskan di atas meja kaca yang nyata-nyata kesepian? Tatapan mata dingin tanpa ekspresi pada potret keluarga di atas meja credenza dan foto almarhumah ibumu yang terpajang di dinding.
Hanya sedikit sisa ampas kopi yang nekat berani menerka-nerka perasaanmu saat itu. Apakah waktu akan terus bersahabat dengan diriku? Apakah waktu, akan mempertemukan hati kita lagi, satu saat nanti?
”
”