Doa Seorang Ibu Quotes

We've searched our database for all the quotes and captions related to Doa Seorang Ibu. Here they are! All 2 of them:

BALADA RANTING KERING DI TANAH SUWUNG I. Mijil — Kisah yang Dilahirkan dari Pintu yang Keliru Pada malam kelahiranmu, waktu tersandung kaki sendiri. Wuku yang mestinya sunyi tiba-tiba retak seperti periuk jatuh ke tanah— pertanda luka di bibir desa: “janma ing mangsa tan ana pancer.” Ia yang lahir tanpa pusat, tanpa tempat menambat napas. Ibu menjerit tanpa suara, tali terputus penghubung jiwa tumpas ruh tak terlihat, ia yang disebut orang: buta mangili, perusak garis nasib sendiri. Langit merah mengucur darah hewan kurban disembelih untuk ruwatan. II. Maskumambang — Tubuh yang Melayang Tanpa Rumah Ranting-ranting kering merunduk di bawah cahaya purnama raya. Angin malam menggigil menyebut nama dalam lafal yang paling ganjil— tidak lembut, tidak akrab, dunia yang menolak mengakui kehadirannya. Makhluk sawah makhluk rimba mengembik, melenguh, melolong, lalu pergi tanpa menoleh. “Anak durjana,” bisik mulut-mulut dari balik pintu berpalang jati. “Kelahiran yang ditolak bumi, tidak dibawa lintang waluku.” Dan seorang lelaki kehilangan kewarasan, menggantung diri di pohon randu layang kendat pratanda pati. Bayang Sukerta ing mongso ketigo Suryasengkala: Anggatra Rasa Tunggal Sirna III. Sinom — Upacara Penolak Bala Para tetua menggelar sesaji: jajan pasar, kemenyan arang gosong, jenang sengkolo, tumpeng robyong, pala pendem, sego golong, banyu kendi sendang keramat, cengkir gading, kembang telon, seekor sapi tumpah darahnya dipersembahkan memetakan arah sengkala yang membayangi. Doa-doa terlontar seperti tombak, menikam udara tumpat-padat menghantam dada malam. Bisik roh tanah memburu mimpi: “Dudu salahé, nanging ora ana sing wani ngakoni.” Rumah pertama mengeras pada telunjuk terbakar serupa kutuk tangan makhluk tak kasat mata. Angin selatan mengamuk, membawa hama, membawa isyarat celaka. Nama berhembus seperti dongeng petaka berbisik dari bibir ke bibir. IV. Dhandanggula — Kisah Panjang yang Tak Mau Mati Tahun berganti musim, dan cerita tumbuh seperti jamur merasuk ruh para leluhur di dinding lembab ingatan orang. Mereka bilang; ia hanya setengah manusia— setengah anak padi, setengah anak badai. Lahir dari rahim peristiwa hingar-bingar yang tak pernah benar-benar dipahami. Mitos menyebut: “janma saka papat kiblat, kang nggawa lamur saka kidul.” Seekor ular membelit takdir menampak diri di belakang bukit bukan binatang, kata mereka. barangkali saudara tua yang gagal lahir, kata yang lain penjaga kubur tak pernah tidur.
Titon Rahmawan
Ketika Sunyi Menyentuh Dahi” (Ekstase Sunyi para Darwis) Ada detik yang tiba sebagai jeda nyaris tak sadar— detik ketika dunia berhenti berputar, dan tubuhku mulai bergerak seperti gasing— tanpa diperintah. Aku berdiri di tengah ruangan kosong. Tidak ada musik. Tidak ada angin. Hanya sunyi yang melangkah masuk seperti seorang tamu yang sudah lama kutinggalkan di depan pintu jubah yang kutanggalkan dari tubuhku. Dan entah bagaimana, sunyi itu menyentuh dahiku dengan kehangatan yang tidak pernah kuraih dari sebutir doa. Aku tidak menari. Aku hanya menjadi pusaran lembut yang lahir dari keheningan. Kakiku bergerak karena bumi mengajak, bukan karena aku inginkan. Dalam putaran itu aku kehilangan kepalaku terlebih dahulu— pikiran luruh seperti debu yang jatuh dari mantel tua seorang pengembara. Lalu dadaku melebur, seperti pintu yang dibuka dari dalam oleh tangan yang tidak bisa kuraba. Dan perlahan aku hanyut ke dalam cahaya yang tidak menyilaukan— cahaya yang hanya menuntun, seperti bisikan samudra yang menunjukkan jalan kembali ke sumbernya: mata air yang adalah air mata. Di tengah putaran, aku merasa tubuhku menjadi tipis, serapuh benang yang hanya ditahan oleh satu simpul: rindu untuk kembali pulang kepada palung rahim ibu. Aku tidak mencari apa-apa. Tidak menuntut apa-apa. Tidak ingin dikenal atau dimengerti. Aku hanya ingin hilang dalam getaran yang membuatku lebih hidup daripada udara yang aku hirup. Pada akhirnya, sesuatu membuka ruang di dalam dadaku— ruang yang tidak kukenal, namun terasa seperti rumah yang sudah kusimpan sebagai rahasia sejak sebelum aku dilahirkan. Dan di ruang itu, aku mendengar suara yang tidak menggemakan bunyi: “Engkau sudah dekat, Engkau tidak pernah jauh.” Putaranku melambat. Dunia kembali mengingat Cahaya perlahan merapat seperti seseorang yang meletakkan selimut di bahuku. Aku tidak menjadi suci. Aku tidak menjadi tahu. Aku hanya menjadi tenang. Karena untuk sekejap, di tengah kesunyian itu, aku telah disentuh oleh sesuatu yang tidak memerlukan nama. Seperti ingatan, ketika Aku masuk dalam keheningan Luruh dalam putaran Kembali sebagai cahaya. November 2025
Titon Rahmawan