“
BATU LUKA:
Suara Terakhir Sebelum Penghakiman
Aku dilahirkan sebelum lidah manusia menemukan kata
yang kelak dipakai untuk menimbang salah dan benar.
Ketika itu, aku hanya tubuh keras
yang pecah dari punggung bumi
tanpa maksud apa-apa.
Aku pernah menjadi bagian tebing
yang digerus angin dari musim ke musim.
Pernah menggelinding diam
melewati kamp-kamp tentara
yang menancapkan tiang logam
ke tanah yang mereka rebut.
Pernah menjadi serpihan kecil
di antara pecahan altar yang runtuh
karena gempa yang tak sempat dicatat.
Pagi ini mereka memungutku.
Tidak ada alasan yang kudengar.
Hanya suara pasir terangkat,
suara sandal diseret,
dan dengusan napas yang memenuhi udara
seperti kabut tipis yang bergerak tanpa bentuk.
Tangan-tangan itu menimbangku
untuk memastikan beratku.
Kulit mereka menggeser debu di permukaanku
dengan gerakan yang cepat,
seolah memilih senjata
yang tidak perlu diberi instruksi.
Aku tidak merasakan niat mereka.
Yang kutahu hanya tekanan jari,
keringat asin,
dan sedikit getar halus
yang merambat dari lengan pemiliknya.
Di depan mereka, perempuan itu berdiri.
Rambutnya kusut,
matanya memantulkan cahaya yang redup
dari langit siang yang terlambat turun.
Di ujung kukunya,
butiran tanah menggelap oleh embun.
Ada bekas debu di pipinya,
garis tipis yang jatuh
seperti retakan kecil pada permukaan kaca.
Ia tidak berbicara, tapi kulihat tubuhnya gemetar.
Di sekelilingnya, suara-suara lain bergerak:
bisikan, desis, makin tajam dan keras, langkah tertahan,
helai-helai napas
yang saling menumpuk
tanpa ritme.
Aku hanya mencatat:
perempuan itu tidak menutup mata.
Ia tidak merunduk.
Tidak memutar tubuhnya menjauh.
Ia berdiri diam,
menunggu arah pertama yang diberikan udara.
Seseorang mengencangkan genggamannya padaku.
Otot-otot lengannya menegang
seperti tali busur yang ditarik perlahan.
Di antara celah jari,
aku melihat debu tipis naik
dan menghilang dalam cahaya yang kelelahan.
Tidak ada doa.
Tidak ada seruan.
Hanya lirih gesekan kain,
batuk kecil dari orang yang berdiri terlalu dekat,
dan bunyi tumit yang menggali pasir kering.
Aku tidak tahu
apakah aku akan dilempar atau ditenggelamkan.
Aku hanya tahu
aku berada di tengah ruang
yang dipenuhi napas manusia
dan satu tubuh yang menjadi pusat pandangan.
Jika aku jatuh,
itu hanya karena gravitasi.
Jika aku melukai,
itu hanya karena jarak dan kecepatan.
Aku tidak memilih apa pun.
Aku tidak menolak apa pun.
Aku hanya batu
yang mencatat gerak,
suara,
dan cahaya.
Dan di saat udara menahan dirinya
seperti permukaan air yang enggan bergelombang,
aku mendengar sesuatu—
bukan kata,
bukan nama,
hanya hentakan kecil di dada seseorang
sebelum ia memutuskan
apakah akan melepaskanku
atau menjatuhkanku ke tanah.
Sampai keputusan itu tiba,
aku tetap diam,
menegang
di antara jari-jari manusia.
Aku tidak tahu
siapa yang salah,
siapa yang benar,
atau apakah kedua kata itu pernah memiliki bentuk.
Yang kutahu
hanya ini:
aku berada di sini,
melihat,
mendengar,
menunggu...
Desember 2025
”
”