Djenar Maesa Ayu Quotes

We've searched our database for all the quotes and captions related to Djenar Maesa Ayu. Here they are! All 24 of them:

Hidup ini sendiri memang fiksi. Sering kali hanya imajinasi.
Djenar Maesa Ayu
kita bisa memesan bir, namun tidak bisa memesan takdir.
Djenar Maesa Ayu (1 Perempuan 14 Laki-Laki)
Bukankah semua anak punya hak untuk bertanya?
Djenar Maesa Ayu (Mereka Bilang, Saya Monyet!)
Lantas apa yang salah dengan pelacur? Adakah orang yang menulis di buku catatannya, cita-cita: pelacur. Mana yang lebih pantas dipertanyakan, takdir atau pelacur?
Djenar Maesa Ayu (Mereka Bilang, Saya Monyet!)
Imajinasi cenderung bebas tanpa moral dan konvensi masyarakat, bagaikan anjing "menggonggong" dan "menggigit" realitas yang munafik
Djenar Maesa Ayu (Mereka Bilang, Saya Monyet!)
Hidup ini memang fiksi. Sering kali hanya imajinasi.
Djenar Maesa Ayu (Mereka Bilang, Saya Monyet!)
Manusia dengan naluri anjing jauh lebih rendah daripada anjing.
Djenar Maesa Ayu (Mereka Bilang, Saya Monyet!)
Kebanggaan terbesar bagi ibunya adalah kebanggaan terhadap keberhasilannya sendiri sebagai seorang ibu. Begitupun sebaliknya, kebanggaan terbesarnya adalah menyaksikan kebahagiaan ibu.
Djenar Maesa Ayu (Mereka Bilang, Saya Monyet!)
Tuhan tidak tidur, Tuhan pasti maklum.
Djenar Maesa Ayu (Mereka Bilang, Saya Monyet!)
Biarkan takdir yang menentukan. Biarkan takdir bekerja dan ia menjadi mediatornya.
Djenar Maesa Ayu (Mereka Bilang, Saya Monyet!)
Imajinasi, sesuatu yang tanpa batas, yang bukan hanya merasuki pengarangnya tapi juga bisa semua manusia.
Djenar Maesa Ayu (Mereka Bilang, Saya Monyet!)
Manusya muak. Segala sesuatu yang tidak dapat terjawab selalu berakhir atas nama Tuhan. Misalnya, mengapa seorang anak bisa jadi bajingan padahal orangtuanya santri? Dijawab, itu sudah takdir dari Tuhan. Sebaliknya, jika orangtuanya rusak tapi anaknya begitu bauk, dijawab, itulah kuasa Tuhan. Alangkah mudahnya. Tidak adakah penjelasan lain yang lebih memuaskan? Tidak adakah jawaban lain yang lebih masuk akal? Mungkin manusia sudah malas berfikir, pikir Manusya.
Djenar Maesa Ayu (Mereka Bilang, Saya Monyet!)
Membunuh adalah membunuh.
Djenar Maesa Ayu (Mereka Bilang, Saya Monyet!)
Tapi ada kalanya kita harus berbohong demi kebaikan.
Djenar Maesa Ayu (Mereka Bilang, Saya Monyet!)
Hanya mabuk yang mampu membuat Dia tidur. Hanya mabuk yang bisa membuat Dia pergi.
Djenar Maesa Ayu (Mereka Bilang, Saya Monyet!)
Ada pergulatan aneh yang merasuki mereka berdua. Keinginan meledak-ledak untuk segera berjumpa dan keinginan untuk lebih lama bersama, bagai satu mata koin dengan dua sisi yang berbeda. Betapapun besar usaha mereka untuk memperpanjang kebersamaan, sebesar itu pulalah usaha mereka untuk segera menyudahi.
Djenar Maesa Ayu (Mereka Bilang, Saya Monyet!)
Dia tidak suka melihat ia mabuk. Lewat suara Manusya, Dia menasihati kalau Manusya jauh lebih kelihatan cantik kalau tidak mabuk. Jika Manusya mabuk, mulut Manusya jauh lebih kotor dari Kali Ciliwung. Kelakuan Manusya benar-benar seperti pelacur. Bahkan Dia dengan sangat yakin menganalisa, rasa percaya dirilah yang memicu Manusya untuk selalu minum.
Djenar Maesa Ayu
Tapi, inilah yang berbahaya dari cinta, kita tak pernah bisa merencanakan dan memilih kepada siapa akan jatuh cinta.
Djenar Maesa Ayu (Saia)
Yangku, saya bukan pencinta perempuan. Saya bukan lesbian. Tapi saya pencinta kehidupan. Saya akan setia pada kehidupan.
Djenar Maesa Ayu (Nayla)
Malam memberi ruang bagi semua. Bagi hati yang merana. Terluka. Ternoda. Teraniaya. Terhina.
Djenar Maesa Ayu (Saia)
Apakah sesungguhnya kita benar benar punya pilihan? Apakah pintu takdir akan menuntun kita menemukan jalan hidup kita sendiri? Ataukah jalan itu sudah digariskan bagi kita sebagai sebuah kepastian yang mutlak dan absolut? Seberapa besar kebebasan yang kita punya untuk menentukan arah dan tujuan hidup kita sendiri? Seberapa banyak kita diuji dalam perjalanan menuju hakekat sesungguhnya dari kebenaran kehidupan itu? Berapa banyak kita mesti terbentur dan berapa kali pula kita harus jatuh? Apakah aku akan tetap terkapar dan tak mampu untuk bangkit kembali? Apakah aku harus menyangkal keberadaanku sendiri? Jalan mana yang harus ditempuh oleh orang orang sesat macam diriku ini? Bagaimana aku dapat menemukan jawaban dari pertanyaan yang bahkan aku sendiri tidak mengerti di manakah letak ujung dan pangkalnya? Bagiku ini akan selalu jadi sebuah dialog yang tidak berkesudahan. Seberapa pun banyak buku yang aku baca. Seberapa pun banyak ilmu yang aku gali. Aku masih saja merasa tersesat. Pencarianku selalu berujung pada ketidak pahamanku atas realitas diriku sendiri. Antara tesis dan anti tesis. Antara kebebasan berpikir dan kehendak yang selalu terbentur pada realitas di luar diriku. Pada aturan, norma, agama, tatanan sosial, hukum, dogma dan moralitas. Aku tidak melihat Centhini atau Pariyem sebagai sosok yang berbeda dengan diriku. Tidak juga dalam kisah Paprika, Miranda atau Monella dalam film film besutan sineas Italia Tinto Brass. Mereka tidak terbebani oleh moralitas. Mereka tidak butuh pasemon, mereka bisa jadi diri sendiri. Dalam hal ini aku merasa beruntung, karena aku bisa membaca dan belajar dari kisah mereka. Dari sudut pandang yang lebih kekinian, aku bisa belajar dari kisah kisah Nayla karya Djenar Maesa Ayu. Bagaimana orang bisa menafikan butir butir mutiara pemikiran yang cemerlang dari kisah semacam Fanny Hill karya John Cleland, Lolita milik Vladimir Nabokov atau bahkan mungkin pula dari kisah Tiongkok kuno semacam Jin Ping Mei? Sebagaimana aku menemukan sebuah perenungan yang mendalam justru dalam dialog mesum antara Suster Agnes dan Suster Angelica dalam "Venus in the Cloister" karya penulis Perancis Abbé du Prat, yang dianggap orang sebagai sebuah dialog antar para pelacur. Dalam karya karya itu aku mendapati sebuah realitas, betapa sebuah tindakan yang represif dari sebuah institusi yang dengan ketat menerapkan sebuah aturan justru akan memancing reaksi yang sebaliknya dan menciptakan ekses yang bisa mengumbar dan mengeksplorasi kebebasan itu sebagai sebuah wujud pemberontakan. Batu permata akan tetaplah sebuah batu permata walau keluar dari mulut seekor anjing, kira kira begitulah analoginya.
Titon Rahmawan
Saya ingat permainan yang Ibu ajarkan kepada saya, sebuah karton dilubangi tengahnya dan saya harus menggapai bola yang ditaruh di baliknya. Ketika saya berhasil menggenggam bola di balik lubang itu, Ibu meminta saya untuk melepaskannya. Tentu saja saya tidak mau karena sebelumnya sudah sulit bagi saya untuk mendapatkan bola itu. Sebelum kamu menggenggam bola itu, ia hanyalah imajinasimu. Dan ketika kamu mendapatkannya ia menjadi obsesimu. Namun, keduanya tetap tidak akan menjadi nyata ketika kamu tidak dapat melihatnya karena terhalang oleh karton itu. Karton itu adalah dirimu. Dan diri sendiri adalah musuh terbesar pada setiap manusianya. Penghalang kita untuk belajar melepaskan sesuatu yang hanyalah imajinasi dan obsesi saja. Tidak nyata.
Djenar Maesa Ayu (1 Perempuan 14 Laki-Laki)
Hidup kan bukan perkara menang atau kalah. Konflik gak melulu berakhir dengan pencerahan.
Djenar Maesa Ayu (Nayla)
Don't call the world dirty just because you forgot to clean your glasses
Djenar Maesa Ayu