Demi Masa Quotes

We've searched our database for all the quotes and captions related to Demi Masa. Here they are! All 22 of them:

Sejarah ingin agar kita tidak mengulangi kesalahan pada masa silam dan mengambil pelajaran guna membangun masa kini. Ia ingin agar kita mengambil segi-segi positif yang dimiliki masa lalu dan berusaha menghindari segi-segi negatifnya demi menggapai masa depan yang lebih baik dan cerah.
Yusri Abdul Ghani Abdullah (Historiografi Islam: Dari Klasik Hingga Modern)
Demi matahari senja yang menggantung manis manja di cakrawala, demi kebaikan dan ketulusan yang telaten diberikan semestas, dan demi ragam nama-nama Tuhan baik yang akrab maupun asing di telinga kita, sesungguhnya, manusia, adalah mahkluk yang merugi. Kecuali, ia yang mau belajar pada masa silam, berbuat yang terbaik di masa sekarang, dan menyiapkan segala sesuatu di masa depan, dengan keyakinan paling yakin pada terwujudnya sebuah impian.
Lenang Manggala (Perempuan Dalam Hujan)
Pandang ke hadapan demi masa depan. Toleh kebelakang sebentar apabila perlukan kekuatan. Jangan meratap apa yang berlaku
Fazi Fuad
Adalah garis panjang di mana kita terbiasa menghitung hari. Bagaimana sebatang buluh bertambah panjang dari waktu ke waktu dan ia jadi semakin bertambah tinggi. Saat hari berganti, umurnya kian bertambah. Tanpa ia sadari ia pun semakin menua. Demikianlah, kita menemukan betapa berharganya hidup sebagai sebuah paradoks. Ia seperti sebatang lilin yang kita nyalakan di atas sepiring kue, kian memendek sebelum akhirnya padam. Sebab hidup bukan cuma sebatas cerita sukacita atau kisah roman yang membahagiakan. Ia kadang tak punya makna apa apa. Seperti rutinitas yang kita jalani sehari hari dan tak menjadikannya istimewa. Lalu Nak, apa yang bisa kau pelajari dari hidupmu? Dari hari hari yang telah engkau lalui? Tak selamanya akan kau temukan pohon rindang yang teduh, atau tempat singgah yang menyenangkan. Tak akan kau temukan teman teman yang baik dan ramah atau rengkuh tangan Bunda yang akan selalu menghangatkan tubuhmu. Jadi janganlah engkau sia siakan waktu, hanya untuk membuang buang waktumu dengan percuma. Sibuk menghitung hari  hanya demi untuk  mengulang ragu dan juga kejemuan. Sebab kebahagiaan tidak datang dari tempat yang jauh, ia tidak bersembunyi di tempat yang engkau cari. Ia ada di dalam lipatan sakumu. Ia ada di dalam genggaman tanganmu. Ia ada di dalam dirimu sendiri. Tepatnya di dalam hatimu. Karena itu, jadikanlah dirimu bahagia karena kau tahu bagaimana memberi arti pada hari hari yang engkau lewati. Buatlah hidupmu bermakna, karena kau meniatkannya demikian. Sebab kita tidak dilahirkan untuk melihat waktu berlalu. Masa hidup kita terlalu singkat kalau cuma untuk disesali. Sekiranya kau diberi kesempatan untuk mendapat sebuah penilaian, mungkin kau akan cukup beruntung mendapat nilai 70. Tapi bila kau tahu arti kata bersyukur, maka mungkin saja kau akan dapat 80 atau bahkan 90. Tapi kebanggaan apa yang engkau peroleh setelah lewat semua penderitaan dan kesulitan? Bukankah pada ujungnya semuanya akan berakhir, dan pada waktunya nanti, kita semua akan berpulang?
Titon Rahmawan
Situasi ketidakpastian itulah yang membuat kita gentar. Membuat nyali kita ciut. Bagaimana kita bisa berasa yakin atas segala apa yang telah kita lakukan sebagai sebuah kesementaraan yang kemudian kita jadikan sebagai dasar bagi sesuatu yang sifatnya abadi? Bagaimana kita bisa menilai diri kita sendiri dari apa yang telah kita lakukan di masa lampau demi sesuatu yang sempurna namun berada di luar batas kemanusiaan kita? Bagaimana kita menjadi layak untuk itu? Untuk menggapai kesempurnaan surgawi yang kekal dari ketidak sempurnaan duniawi kita yang banal dan bersifat sementara. Apakah ada hukum untuk meluruskannya? Aturan aturan yang menjadikan hidup manusia menjadi lebih baik. Inikah tangga untuk naik ke atas menuju pada kesempurnaan itu? Sementara dunia ini dipenuhi dengan begitu banyak tipu daya. Kepalsuan dan kemunafikan. Tidak ada satu hal pun yang benar benar murni sebagai sebuah sumber asali yang serba pasti. Selalu ada keragu raguan yang mengganjal di setiap benak. Sementara, kebenaran tidak memberi kita sedikit pun ruang untuk berdebat, beradu argumentasi atau berdialektika. Untuk membuka sebuah dialog atau wacana yang akan mempertemukan kita dengan keelokan dari wajah kesempurnaan itu. Hasrat manusia, pikiran pikiran rendahnya, nafsu dan egoismenya. Semua itu telah menjadi penghalang bagi dirinya sendiri. Sebuah upaya pencarian hanya akan membenturkan pikiran manusia pada kedangkalan hasratnya sendiri. Kebebasan berkehendak yang kemudian justru akan menjadi keterkungkungan. Dan apa yang kita yakini justru akan menjadi jalan yang menjerumuskan kita pada kesesatan. Yang tak lain dan tak bukan hanyalah sebuah kesia siaan. Selama manusia masih tergantung pada akal budinya dia tidak akan mampu menyentuh esensi dari kebenaran itu. Jangankan menyentuh, untuk sampai pada kulit permukaannya sekali pun itu hampir merupakan sebuah kemustahilan. Bisa jadi, ini adalah sebuah pemikiran yang terasa sangat pesimistis. Segala upaya manusia pada kenyataannya tidak mengantarkan dirinya kepada rahasia kehidupan sejati. Ironisnya justru sebaliknya, semua daya upaya manusia pada akhirnya hanya akan berujung pada kematiannya sendiri.
Titon Rahmawan
Dua tanda mata di pipi kanannya menyiratkan air mata yang tak pernah dititikkannya. Sebab luka itu seperti candu yang membuat niatnya hijrah tak kesampaian. Sesungguhnya, ia tak ingin pergi kemana mana selain ke surga. Oleh sebab itulah, mengapa ia membuat sebuah tangga menuju ke langit. Yang tak ia ketahui adalah, bahwa sebenarnya tak ada surga di sana. Lalu, kenapa ia melepas hijab itu hanya untuk memunggungi dunia? Ataukah demi mengingkari masa lalu yang terlanjur gagal memberinya kebahagiaan? Aku tak pernah tahu siapa nama gadis itu yang sesungguhnya. Ia mungkin saja bernama Lisa, Manda atau pun Maia. Aku hanya mengenalnya sebagai perempuan bermata abu abu muda seperti bulan badar yang berpendar di kegelapan malam. Tetapi orang orang menyebut dirinya sebagai Arunika, yang dalam bahasa Hindi berarti jingga seperti cahaya terbitnya matahari. Yang tak aku mengerti, mengapa ia mendudukkan dirinya sendiri dengan cara seperti itu? Membuat pikiran orang lain silau dan mabuk oleh candu yang ia tuangkan ke dalam gelas gelas kosong yang kesepian. Mereka tak lagi mampu melihat kepolosan wajahnya sebagai pantulan cermin yang menyejukkan. Sebab ia bukanlah Godiva, yang berkuda telanjang keliling kota untuk menemukan kebenaran yang ia cari. Wanita mulia yang menyingkap kebejatan dunia lewat tatapan mata semua orang. Sebaliknya, ia adalah perwujudan pikiran yang absurd dan carut marut. Ia telah menjadi kontradiksi yang tidak bisa dimengerti. Akan tetapi, ia tidak mewakili siapa pun selain dirinya sendiri. Karena kukira, ia telah mencemooh dunia ini dengan cara yang membuat orang takjub. Dunia yang sepertinya akrab, tapi tak sungguh sungguh kita pahami. Ia dikenal sebagai Arunika, tetapi di lain kesempatan ia bisa saja menjelma sebagai Lisa, Manda ataupun Maia. Dan sekalipun ia bercadar, kita akan selalu bisa mengenalinya lewat abu abu muda matanya yang berpendar seperti bulan badar di kegelapan malam.
Titon Rahmawan
Bersabarlah terhadap kerasnya sikap seorang guru. Sesungguhnya gagalnya mempelajari ilmu karena memusuhinya. Barang siapa belum merasakan pahitnya belajar walau sebentar, Ia akan merasakan hinanya kebodohan sepanjang hidupnya. Dan barang siapa ketinggalan belajar di masa mudanya, Maka bertakbirlah untuknya empat kali karena kematiannya. Demi Allah hakekat seorang pemuda adalah dengan ilmu dan takwa. Bila keduanya tidak ada maka tidak ada anggapan baginya. Ilmu adalah tanaman kebanggaan maka hendaklah Anda bangga dengannya. Dan berhati-hatilah bila kebanggaan itu terlewatkan darimu. Ketahuilah ilmu tidak akan didapat oleh orang yang pikirannya tercurah pada makanan dan pakaian.
Imām aš-Šāfiʿī
Oh kau, gerimis yang jatuh di kala subuh. Dingin yang menggigit tulang. Cahaya lampu yang bergelung di balik selimut yang tebal. Engkaulah, pengharapan dari terbitnya matahari. Keindahan yang bergulir seperti butiran embun di atas dedaunan, lebih cemerlang dari permata. Bagaimana hatiku tak terpikat oleh keceriaanmu kala menyambut pagi? Kelopak kelopak bunga yang bermekaran, gemulai tangkai tangkai mawar tertiup angin. Terpesona oleh tawamu yang renyah, oleh kehangatan pribadimu yang bersinar dari dalam lubuk hati. Bagaimana aku tak jatuh hati pada kecantikanmu yang anggun bersahaja? Betapa kau sebarkan kebahagiaan dengan cara yang tak aku mengerti. Kau getarkan dawai pengharapan di jiwaku yang letih lesu. Dan kau buat diriku tak henti memikirkanmu siang dan malam. Kau balaukan tidurku yang resah gelisah oleh pantulan cahayamu yang menyilaukan serupa lampu neon di seberang jalan. Senyummu terbayang bayang dalam mimpiku serupa layang layang yang terbang di permai langit biru dalam rindu masa kanak kanakku. Kau aduk aduk hatiku seperti biduk yang terombang ambing di atas ombak. Menanti angin pasang yang akan membawaku pulang. Janganlah kau putus pengharapanku untuk sampai ke pantaimu. Ijinkan aku berjalan di atas pasirmu yang lembut. Berlindung di bawah payungmu yang menutupiku dari panas matahari yang melukai. Kau terima diriku dalam pondokmu yang kecil dan sederhana namun tertata rapi penuh oleh bunga bunga. Kau menyambutku dengan penuh suka cita di depan pintumu yang sekokoh kayu jati. Dan kau akan menjamuku bukan lagi sebagai tamu asing dalam rumahmu yang bersih melainkan sebagai diriku sendiri. Dalam cinta yang bersemi oleh penantian, doa dan pengharapan. Dalam penghiburan hati demi untuk mewujudkan mimpi mimpi abadi.
Titon Rahmawan
Kalam Untaian Merjan Pada lagu balada Rendra aku melihat embus pasir Aspahani. Tangan angin yang giat mencangkuli hamparan tanah gembur di kebun buah Rosidi. Dalam kantungnya tersimpan rupa-rupa benih puisi melayu lama. Dari pantun hingga mantra, dari gurindam hingga karmina, dari talibun hingga seloka. Seuntai syair yang rajin menebar tawa Korrie bergirang hati. Merapal doa penawar rindu yang santun menampung embun luruh di telapak tangan Kyai Bisri dan gaung azan subuh di bibir para santri. Di bawah pelupuk langit Timur Sinar Suprabana aku bersujud, serupa lelai rumput Ahmadun. Menyambut lambai tangan hijau kanak-kanak menari bersama Helvy dan Herliany. Memulas kuning gading bulir padi di dada awang telanjang mandi di kali. Bocah-bocah keletah gembira menuai buah tufah berlimpah pada keras bebatuan Calzoum merah. Di balik celana Pinurbo aku jumpai gelisah mimpi Johani. Wajah Sunarta yang gemar menyamar. Mata Wisatsana yang cermat menelisik risik kerikil tajam terserak di taman kawi dunia. Juga jemari tangan Fansuri yang rajin mencabut ilalang di kebun para sufi. Kubaca wajah cuaca dalam bahasa sunyi Isbedi, kueja tagar Dahana, kudaras cahaya Kurnia. Balau debu tertaris gerimis yang lama tersimpan dalam setiap tetesan tinta Taufiq. Pada sajadah yang ia hamparkan dan pisau Takdir penawar risau pada hati yang terempas dan jantung yang putus. Pulau di mana dulu pernah tersemai benih-benih terbaik Chairil muda. Demi memetik buah rindu dendam yang telah lama didambakannya, Ia rela mati berkafan cindai diiringi lagu sunyi nyanyian Hamzah. Tapi justru di dulang kosong itu kutemukan pipih gosong telur Dewanto. Suara pekak mikrofon pecah dalam kamar gelap Afrizal. Leher botol tercekik dari separuh langit yang sengaja menyembunyikan wajah Srengenge di balik dengung nyamuk yang mengamuk dalam benak Rusmini. Sebelum kata-kata berlepasan dari dahan tempatnya bergantung, sebelum kamus jadi ingatan beku yang ditelan rakusnya waktu. Aku berusaha menemu laut. Laut yang dulu pernah melantunkan tembang Ainun dan syair pujian Pane dalam Madah Kelana. Laut yang akan mengizinkan aku mengaji bersama Toto dan Abdul Hadi, pada hampar lembar langit Zawawi yang senantiasa berkabut ini. Di bawah guyuran rintik-rintik hujan Damono yang entah mengapa hanya mungkin turun di pertengahan bulan Juni. Namun pada samar raut wajah Nadjira, jemari tanganku gugup menggali inspirasi di balik pikiran Armand. Dari rupa rupa arsitektur yang dengan cergas ia reka reka menjadi bait puisi. Hasrat yang gesit menimba air di sumur Mansyur. Menapak jejak Saut dan Sitor yang senantiasa hibuk mencari Tuhan. Dan demi tunas mata Subagyo dan sejuk air Zamzam, aku rela menemu jantung hati lapang di dalam inti sebuah poci. Keramik awanama, di antara batu undak-undakan meditasi Goenawan. Ia yang telah menguak rahasia jiwa Landung nan adi Luhung yang bersemi di hutan jati Umbu Paranggi. Tapi sekali-kali, tak akan pernah aku lupakan kesaksian Wiji yang tumbuh dari tangisan sejarah masa lalu. Noda yang tertera pada luka Sambodja. Sekiranya masih ada petilasan senyap dari para pendahuluku. Cabuhan air mata pilu para martir dan tangis para santo. Seruan kelu di bibir para nabi dan kubangan darah para syuhada. Tak akan aku biarkan diriku terpedaya oleh muslihat para penebah jenawi purba, hujah para tukang fitnah, hasutan orator-orator lancung, gonggong penadah puisi kosong. Juga sumpah serapah dan tipu daya para kritikus-kritikus gagap. Igauan busuk plagiator mabuk. Bualan epigon-epigon palsu dan ocehan para dilettante buta. Di mana waktu mengharuskanku mesti belajar lagi.
Titon Rahmawan
Jkt 20/12/2012 Bulan ini bulan desember,spt juga desember thn2 sebelumnya pada bulan ini umat kristiani mempunyai hari besar semacam tradisi tahunan yaitu yg di sebut "Natal" atau Natale (italia) atau Christmas,dan sebagai penganut kirstiani sejak lahir saya selalu menikmati bulan2 desember spt ini tiap tiap tahunnya,saya selalu menikmatinya didalam hati saya,apalagi saat saya masih kanak kanak dulu,karena natal identik dengan hadiah untuk anak2,desember adalah menjadi bulan yg paling saya tunggu2 karena pada bulan itu akan ada sebuah kado yang menunggu saya pd bulan itu,akan ada gemerlap cahaya lampu pohon dan hiasan hiasan natal lainnya,saya akan memakai baju baru juga saya akan tampil dipanggung gereja memainkan fragmen dan drama natal bersama anak2 lainnya yang juga memakai baju baru yg menambah kesan natal semakin saya tunggu, Saya lahir di Indonesia saya tinggal di Indonesia saya bersekolah di Indonesia,negara yg mempunyai beragam agama yg mana agama2 itupun mempunyai Hari besar nya masing2,sejak masih kanak2 saya selalu terharu ketika melihat org lain berdoa entah dengan memakai tata cara agama apa mereka berdoa yg jelas saya selalu merasa ada suatu hal yg berbeda dlm hati saya ketika melihat org berdoa itu,saya bersahabat dgn beberapa teman saya orang2 keturunan yg beragama Budha,sy juga punya beberapa sahabat org Bali dan keturunan India yg beragama Hindu,walaupun jumlah mereka tidak sebanyak sahabat2 saya dari kaum Muslim,Muslim adalah mayoritas di negri ini otomatis muslimlah yg hampir 90% dari mereka setiap harinya berinteraksi dengan saya, lebih dalam lagi saya pun mempunyai banyak family sedarah dari kakek saya yg beragama muslim,tidak heran kalau sy pun menikmati hari raya Idul fitri,dan tidak jauh berbeda dengan natal momen Lebaran adalah menjadi hari yg saya tunggu2 juga, karena setiap tahunnya saya akan berkumpul dgn sanak family dan kerabat merasakan ketupat lebaran dan opor ayamnya juga saya bisa meminta maaf dan bersalaman dengan orang yg pernah bertengkar dengan saya dengan ucapan minal aidin walfaidzin,luar biasa hubungan batin saya dengan muslim sepertinya suatu hal yg tidak bisa terpisahkan,tetapi diluar daripada itu semua terjadi dilema dalam hidup saya ketika saya menyaksikan hal2 lain yg "mengusik mesranya hubungan saya dengan muslim,di saat yg sama berita di media masa sebegitu hebatnya memberitakan hal yang menumbuhkan opini2 perpecahan yang semakin hari semakin jauh dari kata "damai" dimana pandangan yg berbeda tentang Tuhan adalah menjadi alasan untuk pendidikan perang! sehingga seolah olah memaksa manusia siaga satu dan siap untuk membenci saat ada kaum yg berbeda dengan mereka,saya muak dengan ini, Keperdulian saya dgn keharmonisan keduanya Membuat saya tertarik utk "mencari tau tentang isi dari kedua agama ini,dgn hati yg bertanya tanya ada apa sebenarnya yg terjadi di dalamnya?,dengan segala keterbatasan saya bertahun tahun saya mencoba mencari titik temu antara perbedaan dan persamaan antara kristen dan islam,rasa ingin tau saya yg membuat saya sedikit demi sedikit menggali keduanya mulai dari sisi sejarah,segi terminologi,sisi tafsir2 atau doktrin (aqidah) nya,dgn mencari sumber2 yg akurat atau dengan cara bertanya,berdiskusi dll,sy tidak terlalu tau apa tujuan dan visi saya tapi yg jelas saya tertarik untuk mengetahuinya dan kadang saya lelah!saya merasa terlalu jauh memikirkan ini semua,saya merasa agama yg seharusnya memproduksi kedamaian dan cinta thd sesama malah membuat saya pusing dan muak karna saya koq malah pusing memikirkan konflik2 dan benturan2 yg justru disebabkan oleh agama itu sendiri Seiring berjalannya waktu pemahaman saya terhadap natal dan bulan desember itupun mulai terpisah,saya sudah mempunyai pemahaman sendiri mengenai natal,Desember hanyalah salah satu bulan dari 12 bulan yg ada,tetapi damai natal itu sendiri harus berada dalam sanubari dan jiwa dan roh saya setiap hari, "Selamat Natal Damai Selalu Beserta Kita Semua" Amien.........
Louis Ray Michael
Song for Glenda Nak, bolehkah aku duduk di sini menemanimu, di antara meja dan kursi yang dingin dan senyap ini? Aku tak hendak memulai percakapan tentang hujan, melainkan akan aku ceritakan padamu sebuah mimpi; Adalah seekor tukik yang terpuruk di dalam pasir di sebuah pantai yang tersembunyi. Dia tengah merindukan sebuah rumah nan indah, serupa bayangan laut yang dulu pernah ia tinggali bersama ayah dan ibunya. Tetapi ia lupa di mana. Rumah itu berasa jauh dan tak tergapai dari dalam ingatannya. Jadi, pergilah ia masuk ke dalam sebuah mimpi. Saat ia menggigil kedinginan karena demam dan ayahnya datang mengunjunginya, membawa selembar selimut dari lumut dan terbang bersama angin puting beliung yang berhembus entah dari mana. Ia tahu, ia merindukan semua peristiwa yang mengekalkan ingatannya pada arti kebahagiaan. Ia tidak ingin lagi merasa sedih atau sendirian. Tapi ia tak menemukan apapun di masa lalunya, selain sebuah ceruk berupa lobang menganga yang tidak menawarkan apa apa selain kegelapan. Ia tidak bisa melihat wajahnya sendiri. Bukan seulas senyum atau bahkan mata yang bening menerawang yang tergambar dalam mimpinya. Cuma bayangan muram dari hati yang pedih, rasa sakit dan mungkin juga amarah. Entah mengapa, ia tak ingin lagi menoleh ke belakang, tapi ia tak sanggup melakukannya. Tiap kali ia memalingkan muka, yang ia lihat adalah sebuah bandul jam yang bergerak dari kanan ke kiri dan penunjuk waktu yang berjalan mundur selangkah demi selangkah. Ia jadi ingin menyakiti dirinya sendiri, dengan hunjaman pecahan batu karang dan jarum jarum tajam serupa duri duri bulu babi. Ia kehilangan semua kosa kata cinta yang pernah diajarkan oleh ibunya dulu. Semua kalimat doa yang seakan terpaksa ia panjatkan hanya untuk memahami apa arti keberadaan dirinya sendiri. Mengapa semua makhluk harus hidup, hanya untuk menyelami makna penderitaan? Ia hanya seekor tukik yang tak tahu bagaimana mesti menyikapi alam liar di luar sana. Tak tahu menafsir rasa khawatir di balik ancaman teriakan burung camar, atau barangkali juga resah gersik pasir yang tak mengisyaratkan apa apa selain sunyi. O dunia yang centang perenang ini, mengapa kini jadi begitu menakutkan dan tidak bersahabat. Namun demikianlah, mimpi itu mesti berakhir. Saat ditemuinya senyap mencumbu tepian laut dan ombak yang bergelora tak henti hentinya bernyanyi. Tiba tiba saja, ia tak lagi merasa sendirian. Tiba tiba saja, ia merasa belaian tangan Tuhan menyentuh tempurung rentan di punggungnya. Dan kemudian ia melihat, matahari angslup perlahan, saat Tuhan membelah lautan hanya dengan sebuah senyum.
Titon Rahmawan
Biografi tubuh inilah yang terasa dalam 40 sajak di kumpulan puisi Pandora ini. Lihatlah bagaimana ia mengurutkan sajak-sajak di buku ini. Dari mulai Ulat, Kepompong, Kupu-kupu, 1967, dan sajak-sajak yang mengeksplorasi tema anak (Embrio, Schipol, Pasha, Den Haag), hingga Rahib dan Jejak. Deretan sajak itu tampak seperti sebuah metamorfosis tubuh. Tubuh, di tangan penyair kelahiran ini, keluar dan bahkan meloncat dari bentuk estetiknya. Ia memperlakukan tubuh bagai sebuah menu santapan (Di meja makan kusantap tubuhku, kuteguk air mataku—sajak “Kepompong”). Inilah ketangkasan seorang Oka. Ia menulis, memendam Bali, mencangkul masa lalu, membenturkan tradisi, meringkus pengalaman hidup, dan dengan tanpa sungkan menggasak tubuhnya sendiri demi memperoleh sebuah ars poetica. Inilah “sayap kuat” sajak-sajak Oka, penulis yang menurut saya, menjadi salah satu wakil terpenting penyair Indonesia mutakhir. (Yos Rizal Suriaji- “Sebuah Menu Bernama Tubuh”-2008)
Oka Rusmini (Pandora)
Ibu-lah yang telah menyuruhmu tinggal di tempat jauh. Ibu-lah yang mengirimimu tinggal di kota pada usia muda, jauh dari kampung halamanmu. Ibu pada masa-masa itu - dengan pedih kau sadari bahwa Ibu seusia dengan dirimu saat ini, sewaktu dia membawamu ke kota, lalu pulang dengan naik kereta api malam. Seorang perempuan... hanya sendirian. Dan sosok perempuan itu lenyap, sedikit demi sedikit, setelah melupakan rasa suka cita karena telah dilahirkan, melupakan masa kanak-kanaknya serta impian-impiannya, menikah sebelum mendapatkan menstruasi pertamanya, lalu melahirkan lima orang anak dan membesarkannya. Perempuan yang - setidaknya kalau mengenai anak-anaknya - tidak merasa terkejut atau bingung akan apa pun. Perempuan yang hidupnya ditandai dengan pengorbanan sampai saat dia menghilang. Kau membandingkan dirimu dengan Ibu, akan tetapi Ibu sungguh tak bisa dibandingkan dengan apa pun. Seandainya kau berada dalam posisi Ibu, kau tidak akan melarikan diri seperti ini, lari dari rasa takut.
Shin Kyung-Sook (Please Look After Mom)
Di tahun terakhir masa putih abu-abu, aku terpaksa ikut melakukan hal yang nyaris mustahil. Belajar siang malam demi mendapat bangku universitas padahal sedang sayang-sayangnya pada masa SMA
Lucia Priandarini (Posesif)
Jangan bicara tentang kesucian padaku, sebagaimana cinta yang kauelu-elukan bakal abadi. Sebab tak ada cinta yang serupa itu di sini, di atas papan pertempuran ini. Sang raja tak menitahkan sang menteri untuk takluk melainkan sembunyi dari rasa jerinya sendiri. Sebab, pion-pion itu terlalu tergesa untuk mengejar sebuah kemenangan. Di atas papan inilah kita beradu, antara kau dan aku, serta sejuta varian pembukaan yang akan menuntaskan seluruh rindu dendammu padaku. Aku tak akan menyerah begitu saja, meski gelar grandmaster telah kausandang sejak seabad yang lalu. Adalah pada dua kuda hitam aku menggantungkan pertahananku untuk merobohkan angkuh benteng putih kesombonganmu. Sekalipun bertubi-tubi kaumantrai aku dengan tembang yang ujarmu kaukutip dari serat tantrayana. Di mana kaukenalkan aku pada enam langkah suci untuk mewujudkan kebahagiaan sejati. Pada langkah pertama, kaulantunkan Asmaranala, yang bermakna kedua insan yang bercinta sebaiknya dilandasi rasa cinta kasih dari lubuk hati masing-masing. Engkau berhujah, bahwa kumbang tak sekadar menyalurkan hasrat birahi pada kembang yang ia incar, melainkan bagaimana ia merendahkan dirinya untuk melayani demi penyatuan dua hati yang saling menghormati. Kemudian pada Asmaratura-lah, engkau menyuratkan maksudmu. Melukis rembulan pada mataku dan bias cahayanya engkau sapukan pada permukaan bibirku. Hingga aku akan mengerti, bahwa cinta harus menumbuhkan rasa saling memiliki sebagai kebanggaan di dalam hati masing masing. Bukan semata pada kejantananmu hatiku tertambat, dan bukan pada kemolekan tubuhku hatimu takluk. Melainkan pada penghargaan atas apa yang kita berikan sebagai persembahan yang tulus dan dengan demikian maka kita akan saling memahami. Suratan tanganmu telah kau goreskan di permukaan kulitku dan kecupanmu telah kau terakan di puncak dadaku. Maka pada Asmaraturida aku merasa tersanjung oleh kegigihan dan kesabaranmu untuk menguasai ranjang pertempuran ini. Gairah yang mengisyaratkan, bahwa sekalipun kita bukan pasangan yang ditakdirkan untuk menyatu dalam kehidupan di masa lampau, kini dan masa depan. Namun itu tak mengurangi kegembiraan yang kita ciptakan di antara piring sukacita. Saat kautuang emosi ke dalam gelas canda dan gelak tawa yang mengiringi perebutan kekuasaan di antara terjangan pisau dan tusukan garpu yang berkelebat di depan mata.
Titon Rahmawan
Hiduplah di masa kini demi kebahagiaan yang ada. Nantikanlah masa depan demi kebahagiaan yang masih belum ditemui. Renungkanlah masa lalu demi kebahagiaan yang baru disadari saat telah berlalu.
Lee Miye (Dallergut: Toko Penjual Mimpi 2)
Dari “Di Hadapan Babylon” pun kita belajar bahwa maut tak selalu datang dengan sabit berkilat dan jubah hitam yang kerap menyembunyikan muka. Maut bisa saja datang dengan berondongan timah panas, tendangan sepatu lars, pucuk bayonet, pisau belati, atau anggaran subsidi beras miskin yang mesti dipangkas demi pembelanjaan Alutsista yang lebih mutakhir.
Fajar Nugraha (C-45 Demi Masa, Kapsul Waktu, dan Nostalgia Radikal)
Ingin rasanya mempercepat waktu, membagi diagonal-diagonal sisi dekade ke dalam batas-batas simetri satuan hari, menciptakan dimensi-dimensi cahaya yang bergerak cepat dalam mengarungi lautan mimpi yang terukir indah dalam lamunan ilusi, memancarkan gelombang fantasi yang merambat dengan frekuensi tinggi, mampu menembus tebalnya dinding piramida bahagia. Kesemuanya, hanya demi satu tujuan, mempersingkat daya jelajah ke titik klimaks, menuju kondisi real di masa depan
Ikhsan Hee
Ia adalah seorang pemburu yang tidak ingin bersembunyi di balik kecurigaan orang lain. Akan tetapi, ia tak ingin dihakimi oleh apa yang orang tidak pahami tentang dirinya. Ketika nilai dan moral bertumpang tindih dengan akal sehat dan naluri kejantanan seorang laki laki. Bagaimana ia bisa menghindar dari rayuan Calypso? Godaan hasrat adalah sulur sulur pikiran yang merambat di dinding yang retak. Dari lobang di tembok itulah ia terlahir sebagai telur. Embrio pusat pembuktian ontologis manusia. Kerasnya kehidupan yang kemudian memaksa dirinya harus berjuang. Bersusah payah tumbuh dalam sebuah kontradiksi. Berusaha eksis sebagai pemangsa. Predator yang merangkak di tanah mengincar sasaran. Melihat dirinya sendiri sebagai seekor Scylla yang siap menerkam. Ia adalah seorang pemburu dengan tatapan mematikan dan siap menguji keberanian. Mengintai mangsa, mengarahkan senapan berlaras dua simbol dari identitas dan idealitas yang bisa meledak sewaktu waktu. Namun kebimbangan memaksa ia berlari di antara pohon pohon yang menyembunyikan bayang bayangnya dari kejaran rasa jeri dan kecemasannya sendiri. Hantu moralitas dan norma yang masih ingin ia perdebatkan keberadaannya. Karena baginya, manusia bisa bertindak lebih keji dari seekor ular. Makhluk menjijikkan dengan mulut yang mampu menelan apa saja dan lidah tak bertulang yang sanggup menyemburkan racun berbisa mematikan. Baginya, hasrat adalah benih yang mesti ditanam agar ia tumbuh. Akan tetapi ia adalah biji buah diospyros. Buah para dewa yang memabukkan dan tak bisa  disingkirkan dari perdu yang telanjur menyemak dalam benaknya. Ada masa di mana hidup harus merasai kesenangan dan kedamaian lebih dari permainan hidup dan mati. Lebih dari sekedar petualangan demi menemukan makna kebenaran sejati. Kemenangan sudah menjadi obsesi yang menguasai pikiran semua orang, sebagaimana dulu sebuah kuda kayu raksasa menaklukkan kota Troya. Begitulah, ia adalah titisan Odisseus yang malang, yang dikutuk karena tak mengindahkan keberadaan para dewa. Bagaimana ia menerima dirinya sendiri sebagai seekor kuda liar yang tak ingin dikendalikan oleh siapa pun. Tetapi nafsu adalah juga ibarat ular berbisa yang bisa mematuk ekornya sendiri. Dan ia tahu, senapan bukan cuma senjata yang bisa mematikan seekor buruan. Di tangan seorang pemburu ia bisa membunuh monster bermata satu.  Hutan itu adalah tempat perlindungan para peri. Hasrat purba yang tak terjamah oleh topeng kemunafikan. Ia rumit seperti labirin dan ia tak mewakili keindahan taman taman surgawi. Ia keramat. Sanctuary yang memiliki pesonanya sendiri yang tak terjabarkan dalam ungkapan yang sederhana. Sebuah godaan kecil, nyanyian Sirens yang mematikan. Ia tak ingin tersesat di dalam rimba yang gelap gulita itu. Tapi ada rasa lapar dan haus yang tak mampu ia tolak. Rasa pahit yang pekat berasa mencekik lehernya. Seperti ramuan Circe yang mengubah orang menjadi babi. Ia telah meninggalkan rumahnya di Itacha demi menaklukkan hasrat di dalam dirinya sendiri. Dan demi kerinduan abadi atas kesadaran diri sebagai manusia leta, ia rela dikutuk. Pergi jauh mengembara dan siap mati demi nilai yang ia perjuangkan.
Titon Rahmawan
Kadang, kita hanya perlu kalem pada masa-masa kelam bukan tenggelam. Demikianlah masa! demi kita.
roki j
riwayat Calon Arang, dikisahkan kini sebagai perempuan korban patriarki, mungkin memang ada peristiwa nyata di Kerajaan Erlangga abad kesebelasan, lalu mengalami berbagai distorsi kemudian mengalami Bali-nisasi. Sementara persepsi masa kini mendudukkannya tanpa pretensi kebenaran sejarah hanya demi rehabilitasi dan empati dalam rentang waktu dan keabadian: secuil kebenaran dan keadilan.
Toeti Heraty (Calon arang: Kisah perempuan korban patriarki : prosa lirik)
Kauikat kedua tanganku pada simbol warna biru tato naga itu. Apakah telah kaucuri rahasiaku yang paling dalam, sehingga engkau bisa menyelam jauh ke dasarnya? Jangan kau pecahkan gelas itu! Biar kusesap dulu nektar manis madu itu dengan lidahku. Dahaga yang selama berabad-abad telah menghantuiku dengan trauma masa lalu. Apakah engkau telah melihat wajahku yang sesungguhnya? Pada temaram ungu bayang-bayangmu aku menemukan kekuatan, keberanian dan kelembutan. Serupa akar liat merambat pada lenganmu yang berbulu atau telanjang dadamu yang menaungi diriku dengan perasaan yang tak terlukiskan. Ijinkan aku menyadap merah getah dari tegas lekuk bibirmu atau biarkan aku menetak batang lehermu yang sekeras pokok Misutirutein itu. Lalu ijinkan aku mengikatkan shimenawa tali simpul keramat ini demi untuk menghormatimu, agar tak kaukutuk aku dengan mantra sucimu. Sebab aku ingin sembunyi selamanya di dalam lembayung biji matamu. Sekiranya engkau adalah penjelmaan ruh pohon yang tumbuh di tengah hutan yang hadir dalam mimpiku. Bukankah engkau adalah kodama yang tengah jatuh cinta? Bola cahaya redup di kejauhan. Lukisan lembut pegunungan dan rimbun hijau dedaunan di rimba raya. Wajahmu serupa samar bayang-bayang. Datang seperti kabut di senja hari dan pergi seperti cahaya lilin yang pudar saat pagi menjelang. Namun mengapa, tajam teluh matamu masih juga sedingin pisau sang penjagal?
Titon Rahmawan