Cium Quotes

We've searched our database for all the quotes and captions related to Cium. Here they are! All 15 of them:

Di bawah alismu hujan berteduh. Di merah matamu senja berlabuh.
Joko Pinurbo (Kepada Cium)
Uang, berilah aku rumah yang murah saja, yang cukup nyaman buat berteduh senja-senjaku, yang jendelanya hijau menganga seperti jendela mataku.
Joko Pinurbo (Kepada Cium)
Yang ada di antara kita hanya sentuh, bukan rasa hanya cium, bukan kata-kata hanya saat ini, bukan selamanya.
Fenny Wong (Lapis Lazuli)
Anda boleh menulis puisi untuk atau kepada siapa saja asal jangan sampai lupa menulis untuk atau kepada saya. Siapakan saya? Saya adalah Kata.
Joko Pinurbo (Kepada Cium)
Dengan ini kukirimkan pula kerinduanku padamu, dengan cium, peluk, dan bisikan terhangat, dari sebuah tempat yang paling sunyi di dunia.
Seno Gumira Ajidarma (Sepotong Senja untuk Pacarku)
Mengapa bulan di jendela makin lama makin redup sinarnya? Karena kehabisan minyak dan energi. Mimpi semakin mahal, hari esok semakin tak terbeli. Di bawah jendela bocah itu sedang suntuk belajar matematika. Ia menangis tanpa suara: butiran bensin meleleh dari kelopak matanya. Bapaknya belum dapat duit buat bayar sekolah. Ibunya terbaring sakit di rumah. Malu pada guru dan teman-temannya, coba ia serahkan tubuhnya ke tali gantungan. Dadah Ayah, dadah Ibu.. Ibucinta terlonjak bangkit dari sakitnya. Diraihnya tubuh kecil itu dan didekapnya. Berilah kami rejeki pada hari ini dan ampunilah kemiskinan kami.
Joko Pinurbo (Kepada Cium)
Segala sesuatu punya prosesnya sendiri. Ada waktunya sendiri. Dan di waktu tertentu kata2 juga tetap punya momen 'kosong'-nya. Jadi biar aku isi kekosongan itu dengan berjuta peluk dan cium.
Mel (no last name)
Saat berpisah, mata berasa ingin basah. Lalu rindu tiba tiba menyeruak begitu saja. Peluk kian diketatkan, waktu belum lagi beranjak pergi, dan cium seperti habis kesempatan. Tak mau dilepas.
Titon Rahmawan
— O ciúme é o zelo do senhor pela coisa que lhe pertence. — Ou pessoa! acrescentou Aurélia com maldade.
José de Alencar (Senhora)
Tahukah kamu, ada momen di mana tak ada kata kata yang dapat mewakili apa yang kita rasakan? Bahkan ketika perasaan itu hadir berusaha menyapa keseharian kita, dan masih saja belum kita temukan kata kata yang tepat.  Kalaupun hari ini aku ingin menyapamu lewat cerah matahari pagi, dan derum kesibukan di jalan yang bakal menunggumu sebentar lagi, atau celoteh tetangga sebelah yang lagi asyik ngobrol di depan rumah meningkah suara pompa air yang tak putus putusnya. Ingatkah kamu, mata hati kecintaanku, kalau semestinya hari ini adalah hari yang istimewa bagimu? dan aku ingin memberimu sebuah ciuman. Tentu saja kalau engkau tak keberatan. Walau, aku masih saja belum menemukan satu kata yang tepat. Tapi biarlah tanda mata ini cukup untuk mengenang hari di mana dulu engkau hadir ke dunia ini dan aku masih mengingat, betapa bahagianya diriku saat itu. Bayi mungil tampan, yang tak puas puas aku cium dengan gemas. Dan kemudian waktu jalan bergegas meninggalkan jejak masa lalu di belakang kita. Lihatlah kini, kita telah sama sama beranjak menua. Aku mungkin, tapi engkau tidak. Engkau masih saja seperti bocah kecil itu dulu yang kugendong dan kubawa kemana mana. Karena aku tak pernah mampu menepis apa yang aku rasa kepadamu. Walau aku tak kunjung jua menemukan sebuah ungkapan yang tepat. Tapi biarlah ini cukup untuk melipur lara di hatiku, karena aku tahu entah bagaimana engkau akan mengerti. Betapa aku sungguh menyayangimu. Sekiranya ada satu hal yang bisa aku beri, di hari yang sungguh teristimewa ini, maka katakanlah. Katakan apa saja yang engkau mau. Karena itu akan jadi doaku, betapa aku ingin melihatmu selalu sehat, senantiasa tersenyum dan berbahagia. Lebih dari apapun. Lebih dari apa yang dapat engkau mengerti.
Titon Rahmawan
No dia em que eu precisasse justificar-me, estaria divorciada, pois se teria extinguido a confiança, que é o primeiro vínculo do amor, e a verdadeira graça do casamento.
José de Alencar (Senhora)
O ciúme não nasce do amor, e sim do orgulho. O que dói neste sentimento, creia-me, não é a privação do prazer que outrem goza, quando também nós podemos gozá-lo e mais. É unicamente o desgosto de ver o rival possuir um bem que nos pertence ao cobiçarmos, ao qual nos julgamos com direito exclusivo, e em que não admitimos partilha. Há mais ardente ciúme do que o do avaro por seu ouro, do ministro por sua pasta, do ambicioso por sua glória? Pode-se ter ciúme de um amigo, como de um traste de estimação, ou de um animal favorito. Eu quando era criança tinha-o de minhas bonecas.
José de Alencar (Senhora)
Mama, Mama pernah berbahagia?" "Biar pun pendek dan sedikit setiap orang pernah, Ann." "Berbahagia juga Mama sekarang?" "Yang sekarang ini aku tak tahu. Yang ada hanya kekuatiran, hanya ada satu keinginan. Tak ada sangkut-paut dengan kebahagiaan yang kau tanyakan. Apa peduli diri ini berbahagia atau tidak? Kau yang kukuatirkan. Aku ingin lihat kau berbahagia." Aku menjadi begitu terharu mendengar itu. Aku peluk Mama dan aku cium dalam kegelapan itu. Ia selalu begitu baik padaku. Rasa-rasanya takkan ada orang lebih baik. "Kau sayang pada Mama, Ann?" Pertanyaan, untuk pertama kali itu diucapkan, membikin aku berkaca-kaca, Mas. Nampaknya saja ia terlalu keras. "Ya, Mama ingin melihat kau berbahagia untuk selama-lamanya. Tidak mengalami kesakitan seperti aku dulu. Tak mengalami kesunyian seperti sekarang ini: tak punya teman, tak punya kawan, apalagi sahabat. Mengapa tiba-tiba datang membawa kebahagiaan?" "Jangan tanyai aku, Ma, ceritalah." "Ann, Annelies, mungkin kau tak merasa, tapi memang aku didik kau secara keras untuk bisa bekerja, biar kelak tidak harus tergantung kepada suami, kalau ya, moga-moga tidak, kalau-kalau suamimu semacam ayahmu itu." Aku tahu Mama telah kehilangan penghargaannya terhadap Papa. Aku dapat memahami sikapnya, maka tak perlu bertanya tentangnya. Yang kuharap memang bukan omongan tentang itu. Aku ingin mengetahui adakah ia pernah merasai apa yang kurasai sekarang. "Kapan Mama merasa sangat, sangat berbahagia?" "Ada banyak tahun setelah aku ikut Tuan Mallema, ayahmu." "Lantas, Ma?" "Kau masih ingat waktu kau kukeluarkan dari sekolah. Itulah akhir kebahagiaan itu. Kau sudah besar sekarang, sudah harus tahu memang. Harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sudah beberapa minggu ini aku bermaksud menceritakan. Kesempatan tak kunjung tiba juga. Kau mengantuk?" "Mendengarkan, Ma." "Pernah Papamu bilang dulu, waktu kau masih sangat, sangat kecil, seorang ibu harus menyampaikan kepada anak perempuannya semua yang harus dia ketahui." "Pada waktu itu..." "Pada waktu itu segala dari Papamu aku hormati, aku ingat-ingat, aku jadikan pegangan. Kemudian ia berubah, jadi berlawanan dengan segala yang pernah diajarkannya. Ya, waktu itu mulai hilang kepercayaan dan hormatku padanya." "Ma, pandai dulu Papa, Ma?" "Bukan saja pandai, tapi juga baik hati. Dia yang mengajari aku segala tentang pertanian, perusahaan, pemeliharaan hewan, pekerjaan kantor. Mula-mula diajari aku bahasa Melayu, kemudian membaca dan menulis, setelah itu juga bahasa Belanda. Papamu bukan hanya mengajar, dengan sabar juga menguji semua yang telah diajarkannya. Ia haruskan aku berbahasa Belanda dengannya. Kemudian diajarinya aku berurusan dengan bank, ahli-ahli hukum, aturan dagang, semua yang sekarang mulai kuajarkan juga kepadamu." "Mengapa Papa bisa berubah begitu Ma?" "Ada, Ann, ada sebabnya. Sesuatu telah terjadi. Hanya sekali, kemudian ia kehilangan seluruh kebaikan, kepandaian, kecerdasan, keterampilannya. Rusak, Ann, binasa karena kejadian yang satu itu. Ia berubah jadi orang lain, jadi hewan yang tak kenal anak dan istri lagi." "Kasihan Papa." "Ya. Tak tahu diurus, lebih suka menggembara tak menentu.
Pramoedya Ananta Toer
Mengapa kau tinggalkan aku sebelum sempat kurapikan lagi waktu? Betapa lekas cium menjadi bekas. Betapa curangnya rindu. Awas, akan kupeluk habis kau esok hari.
Joko Pinurbo (Baju Bulan: Seuntai Puisi Pilihan)
Cuvântul "ciumă" fusese rostit pentru întâia oară. În acest punct al povestirii, care-l lasă pe Bernard Rieux stând în spatele ferestrei sale, i se va permite povestitorului să explice nesiguranţa şi surpriza medicului, deoarece, cu unele nuanţe, el a reacţionat la fel ca şi cei mai mulţi dintre concetăţenii noştri. Epidemiile, într-adevăr, sunt ceva obişnuit, dar crezi cu greu în ele când îţi cad pe cap. Au fost pe lume tot atâtea ciume câte războaie. Şi totuşi, ciume şi războaie îi găsesc pe oameni întotdeauna la fel de nepregătiţi.
Albert Camus (The Plague)