Cium Quotes

We've searched our database for all the quotes and captions related to Cium. Here they are! All 9 of them:

β€œ
Di bawah alismu hujan berteduh. Di merah matamu senja berlabuh.
”
”
Joko Pinurbo (Kepada Cium)
β€œ
Uang, berilah aku rumah yang murah saja, yang cukup nyaman buat berteduh senja-senjaku, yang jendelanya hijau menganga seperti jendela mataku.
”
”
Joko Pinurbo (Kepada Cium)
β€œ
Yang ada di antara kita hanya sentuh, bukan rasa hanya cium, bukan kata-kata hanya saat ini, bukan selamanya.
”
”
Fenny Wong (Lapis Lazuli)
β€œ
Anda boleh menulis puisi untuk atau kepada siapa saja asal jangan sampai lupa menulis untuk atau kepada saya. Siapakan saya? Saya adalah Kata.
”
”
Joko Pinurbo (Kepada Cium)
β€œ
Dengan ini kukirimkan pula kerinduanku padamu, dengan cium, peluk, dan bisikan terhangat, dari sebuah tempat yang paling sunyi di dunia.
”
”
Seno Gumira Ajidarma (Sepotong Senja untuk Pacarku)
β€œ
Mengapa bulan di jendela makin lama makin redup sinarnya? Karena kehabisan minyak dan energi. Mimpi semakin mahal, hari esok semakin tak terbeli. Di bawah jendela bocah itu sedang suntuk belajar matematika. Ia menangis tanpa suara: butiran bensin meleleh dari kelopak matanya. Bapaknya belum dapat duit buat bayar sekolah. Ibunya terbaring sakit di rumah. Malu pada guru dan teman-temannya, coba ia serahkan tubuhnya ke tali gantungan. Dadah Ayah, dadah Ibu.. Ibucinta terlonjak bangkit dari sakitnya. Diraihnya tubuh kecil itu dan didekapnya. Berilah kami rejeki pada hari ini dan ampunilah kemiskinan kami.
”
”
Joko Pinurbo (Kepada Cium)
β€œ
Segala sesuatu punya prosesnya sendiri. Ada waktunya sendiri. Dan di waktu tertentu kata2 juga tetap punya momen 'kosong'-nya. Jadi biar aku isi kekosongan itu dengan berjuta peluk dan cium.
”
”
Mel (no last name)
β€œ
β€” O ciΓΊme Γ© o zelo do senhor pela coisa que lhe pertence. β€” Ou pessoa! acrescentou AurΓ©lia com maldade.
”
”
JosΓ© de Alencar (Senhora)
β€œ
Mama, Mama pernah berbahagia?" "Biar pun pendek dan sedikit setiap orang pernah, Ann." "Berbahagia juga Mama sekarang?" "Yang sekarang ini aku tak tahu. Yang ada hanya kekuatiran, hanya ada satu keinginan. Tak ada sangkut-paut dengan kebahagiaan yang kau tanyakan. Apa peduli diri ini berbahagia atau tidak? Kau yang kukuatirkan. Aku ingin lihat kau berbahagia." Aku menjadi begitu terharu mendengar itu. Aku peluk Mama dan aku cium dalam kegelapan itu. Ia selalu begitu baik padaku. Rasa-rasanya takkan ada orang lebih baik. "Kau sayang pada Mama, Ann?" Pertanyaan, untuk pertama kali itu diucapkan, membikin aku berkaca-kaca, Mas. Nampaknya saja ia terlalu keras. "Ya, Mama ingin melihat kau berbahagia untuk selama-lamanya. Tidak mengalami kesakitan seperti aku dulu. Tak mengalami kesunyian seperti sekarang ini: tak punya teman, tak punya kawan, apalagi sahabat. Mengapa tiba-tiba datang membawa kebahagiaan?" "Jangan tanyai aku, Ma, ceritalah." "Ann, Annelies, mungkin kau tak merasa, tapi memang aku didik kau secara keras untuk bisa bekerja, biar kelak tidak harus tergantung kepada suami, kalau ya, moga-moga tidak, kalau-kalau suamimu semacam ayahmu itu." Aku tahu Mama telah kehilangan penghargaannya terhadap Papa. Aku dapat memahami sikapnya, maka tak perlu bertanya tentangnya. Yang kuharap memang bukan omongan tentang itu. Aku ingin mengetahui adakah ia pernah merasai apa yang kurasai sekarang. "Kapan Mama merasa sangat, sangat berbahagia?" "Ada banyak tahun setelah aku ikut Tuan Mallema, ayahmu." "Lantas, Ma?" "Kau masih ingat waktu kau kukeluarkan dari sekolah. Itulah akhir kebahagiaan itu. Kau sudah besar sekarang, sudah harus tahu memang. Harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sudah beberapa minggu ini aku bermaksud menceritakan. Kesempatan tak kunjung tiba juga. Kau mengantuk?" "Mendengarkan, Ma." "Pernah Papamu bilang dulu, waktu kau masih sangat, sangat kecil, seorang ibu harus menyampaikan kepada anak perempuannya semua yang harus dia ketahui." "Pada waktu itu..." "Pada waktu itu segala dari Papamu aku hormati, aku ingat-ingat, aku jadikan pegangan. Kemudian ia berubah, jadi berlawanan dengan segala yang pernah diajarkannya. Ya, waktu itu mulai hilang kepercayaan dan hormatku padanya." "Ma, pandai dulu Papa, Ma?" "Bukan saja pandai, tapi juga baik hati. Dia yang mengajari aku segala tentang pertanian, perusahaan, pemeliharaan hewan, pekerjaan kantor. Mula-mula diajari aku bahasa Melayu, kemudian membaca dan menulis, setelah itu juga bahasa Belanda. Papamu bukan hanya mengajar, dengan sabar juga menguji semua yang telah diajarkannya. Ia haruskan aku berbahasa Belanda dengannya. Kemudian diajarinya aku berurusan dengan bank, ahli-ahli hukum, aturan dagang, semua yang sekarang mulai kuajarkan juga kepadamu." "Mengapa Papa bisa berubah begitu Ma?" "Ada, Ann, ada sebabnya. Sesuatu telah terjadi. Hanya sekali, kemudian ia kehilangan seluruh kebaikan, kepandaian, kecerdasan, keterampilannya. Rusak, Ann, binasa karena kejadian yang satu itu. Ia berubah jadi orang lain, jadi hewan yang tak kenal anak dan istri lagi." "Kasihan Papa." "Ya. Tak tahu diurus, lebih suka menggembara tak menentu.
”
”
Pramoedya Ananta Toer