“
Cinta Ayah & Cinta Ibu
Cinta ayah tak pernah selembut cinta ibu.
Cinta ibu sering digambarkan seperti matahari:
terang, hangat, selalu tampak berseri.
Ia memberi tanpa henti,
mengasuh, mendidik, memeluk dengan sabar,
hingga anak-anak tahu—kasih itu punya wajah perempuan.
Tapi cinta ayah?
Ia seperti akar pohon: diam dan tersembunyi di dalam tanah,
tidak terlihat, sering dilupakan,
namun tanpanya batang takkan pernah berdiri,
daun takkan pernah hijau, buah takkan pernah ranum.
Ayah rela jadi bayangan,
agar ibumu bisa menjadi cahaya.
Ia rela jadi garam,
tak terlihat di meja makan,
tapi tanpa dirinya masakan akan berasa hambar.
Seringkali, anak-anak hanya tahu cerita ibu—
tentang sakit melahirkan,
tentang malam-malam panjang penuh tangisan.
Mereka lupa ada ayah yang menahan kantuk di luar rumah,
berpeluh sepanjang hari,
agar air susu bisa terus mengalir di rumah kecil itu.
Ada ibu yang, karena luka hatinya,
menyebut ayah tak berguna di telinga anak-anaknya.
Dan kata-kata itu tertanam seperti duri,
membuat anak memandang ayahnya dengan mata curiga.
Padahal, ayah itulah yang senantiasa paling siaga
setiap kali keluarga diancam bahaya.
Cinta ayah tidak selalu manis,
ia sering kaku, dingin, bahkan terasa jauh.
Ia mungkin pernah memukulmu bila kau khilaf, tapi melarangmu untuk menangis.
Bukan karena ia tak peduli,
tapi karena ia memikul beban yang tak pernah ia bagi.
Ia lebih banyak diam,
karena di balik diamnya ada seribu doa yang tak terdengar telinga.
Ibu mungkin pernah berkata, “Jangan cari suami seperti ayahmu.”
Tapi ayah, meski sering diremehkan,
masih bisa berkata dengan rendah hati:
“Berbaktilah pada ibumu.
Karena surga ada di telapak kakinya.”
Betapa ironisnya:
ayah yang disalahkan,
tetap mengajarkan anaknya untuk tetap mencintai ibunya.
Dan dari situ kita tahu,
cinta ayah bukan sekadar tentang dirinya,
melainkan tentang keluarga—baginya, keluarga adalah segalanya.
Mungkin kau tidak akan pernah melihatnya menangis di hadapanmu,
tapi lututnya bisa gemetar saat tak mampu lagi bekerja.
Ia mungkin tak pandai berkata manis,
tapi ia adalah tameng pertama ketika badai menerjang.
Ia mungkin jarang di rumah,
tapi tiap rupiah yang ia bawa pulang adalah cara bagaimana ia berkata:
“Aku ingin kau bahagia, dan hidupmu jauh lebih baik dariku.”
Ayah adalah hujan yang datang malam-malam,
mengisi sumur tanpa disadari.
Ayah adalah batu pijakan di sungai deras,
yang kau injak untuk menyeberang,
meski batu itu sendiri tenggelam di dalam derasnya arus.
Maka bila kau mencintai ibumu,
jangan lupa untuk menghormati ayahmu.
Karena di balik masakan lezat ibumu,
ada tetes keringat ayahmu.
Di balik rumah yang melindungimu dari panas dan hujan,
ada tulang punggung ayahmu yang menahan beban.
Ayah bukanlah dewa,
ia bisa rapuh, bisa sakit, bisa salah, bisa jatuh.
Namun justru karena itu,
cinta ayah adalah cinta yang paling manusiawi:
tak sempurna, tapi tetap setia.
Tak tampak, tapi sungguh nyata.
”
”