“
REKONSTRUKSI ATHALIA DARI 6 ABSTRAKSI
5. NYANYIAN GELAS YANG PECAH (Abstraksi Teatrikal)
Malam ini angin membawa kabar pahit.
Seperti suara kampung yang kehilangan lampu,
sepotong gelas kristal pecah
di tengah rumah hatiku.
Ah, Athalia…
namamu seperti burung kecil
yang dulu hinggap di jemariku
dengan percaya.
Kini bulunya rontok satu per satu
dan aku hanya bisa menatap,
tak mampu menangkapnya kembali.
Aku pernah menjaga harapanmu
seperti petani memeluk benih
di dada tanah yang tandus.
Tetapi hujan tak datang.
Dan tanganku sendiri
tanpa sengaja
menggugurkan musim itu.
Darah menetes pelan—
bukan dari luka yang kau buat,
tetapi dari marah yang lama kubiarkan
mengeras seperti batu sungai.
Aku merasa sangkakala kesunyian
menderu di ruang dada.
Ada pertarungan antara percaya dan putus asa:
dua kuda liar saling berkejaran
meninggalkan jejak debu di tenggorokan.
Namun, wahai diri…
siapa yang dapat melawan nasib
ketika ia mengetuk pintu
seperti tamu tak diundang?
Maka kuterima kepedihan
dengan langkah pelan
seperti aktor tua
yang masih menghafal naskah yang tak selesai.
Gelas itu pecah.
Harapan itu retak.
Tapi dari serpih kepingannya
aku melihat langit kecil
yang masih mau memantulkan cahaya.
Dan itulah sebabnya
meski dada ini bergetar
seperti genderang perang,
aku tetap menulis,
menamai luka,
melagukan sepi.
Karena hanya dengan begitu
aku tahu aku masih hidup.
6. RUMAH KECIL TEMPAT KENANGAN BERISTIRAHAT
(Abstraksi Keintiman Psikologis)
Athalia,
aku menulis namamu pelan-pelan
seperti seseorang yang menyalakan lilin
di ruangan yang ingin ia lupakan
tapi tak pernah benar-benar
ia tinggalkan.
Ada saat-saat tertentu
di mana kenangan berjalan kembali
seperti tamu yang tahu letak gelas
dan di mana aku menyembunyikan kerapuhan.
Mereka mengetuk pintu,
masuk tanpa kuundang,
duduk di kursi yang pernah kau pilih
sambil menanyaiku hal-hal
yang tak sanggup kujawab.
Aku ingin berkata
semua baik-baik saja.
Tapi aku tahu kata-kata itu
adalah jembatan rapuh
yang dibangun dari cuaca yang serba tak menentu.
Ketika gelas kristal itu pecah,
tak ada doa yang sanggup memperbaikinya.
Tetapi serpihannya
masih menyimpan pantulan wajahmu—
pelan, nyaris kabur,
tapi tetap membuatku berhenti bernapas.
Aku marah pada diriku sendiri
karena tidak cukup baik
menjadi seseorang yang bisa kau percayai.
Marah pada waktu
karena selalu melangkah lebih cepat
dari yang bisa kuikuti.
Marah pada nasib
karena sering memotong jalan
tanpa memperingatkan.
Namun paling sering,
aku hanya diam.
Diam yang panjang.
Diam yang mengendap,
berat seperti hujan
yang enggan jatuh ke tanah.
Aku belajar memahami
bahwa beberapa luka
tidak ingin sembuh.
Mereka hanya ingin ditemani.
Dan jika ada satu hal
yang tak sanggup kuhapus,
itu adalah cara kau menatap dunia
yang membuatku ingin menjadi versi terbaik
dari seseorang yang bahkan belum kukenal dalam diriku.
Athalia,
ruangan itu masih terbuka.
Tidak untukmu kembali,
tidak pula untukku berharap.
Hanya untuk membiarkan cahaya
masuk sedikit lebih jauh
agar aku bisa melihat jelas
bahwa mencintaimu
adalah cara paling lembut
untuk belajar tentang luka.
Desember 2025
”
”